Minggu, 14 Juli 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                “Jika kau ingin belahan jiwamu menerimamu apa adanya dan percaya padamu, maka yang perlu kau lakukan adalah membuat dia tak menyesal telah menerimamu dan mempermudah dia mempercayaimu.”


Entahlah kenapa tiba-tiba jadi kepikiran ini. Mungkin karena sekarang sedang liburan, bulan puasa, dan lutut cedera membuat saya memiliki lebih banyak waktu untuk merenung-atau kalau dilihat sepintas seperti melamun-di pinggir kolam sambil melihat tingkah kura-kura saya. Dan apa yang saya pikirkan itu?

                Dulu, pada awal-awal semester 3 ada event yang mengharuskan saya berfoto kosan dengan teman-teman sejurusan. Yang punya kos di foto dengan temannya yang sedang datang berkunjung. Niatnya baik, agar kita tahu tempat tinggal teman sehingga jika ada apa-apa lebih mudah untuk membantu. Tidak masalah, karena jurusan saya sebagian besar lelaki.


                Kemudian, terjadi perbincangan dengan seorang kawan. Intinya, di jurusan lain ada seorang mahasiswa yang mendapat tugas seperti itu. Foto berdua dengan teman-teman sejurusannya, dan aku tak tahu ini keuntungan atau kesialan baginya, jumlah wanitanya hampir sama dengan jumlah prianya(Never happen in mechanical engineering ITB -_- ). Namun dia benar-benar merasa keberatan dengan tugas tersebut. Alasannya,”saya mungkin nanti juga cemburu kalau lihat foto istri saya berdua dengan pria lain, makanya saya juga berusaha tidak melakukan itu”. Pada awalnya saat dengar berita itu, saya terheran-heran dengan sikapnya. Lah, ini foto kan tugas kenapa dipermasalahin coba. Kalau kata anak muda jaman sekarang: lebay!

Fase Pertama

                Sok rapi banget ya dibikin fase-fase. Tapi, ya sudahlah. Saya SEDANG punya banyaK waktu. Pada fase pertama ini pemikiran saya seperti yang saya yang saya utarakan tadi. Bahwa mempermasalahkan foto berdua itu lebay. Apanya yang salah?

                Pemikiran ini berlangsung terus hingga suatu saat aku mengalami perubahan pola pikir. Bukan pencerahan, kupikir bukan. Jika fase pertama bisa kusebut sebagai fase “pengokohan ke-abai-an”, maka fase kedua mungkin akan kusebut fase “pengokohan ke-egois-an”.

Fase Kedua

                Pada fase ini, saya mulai berpikir. Lebih tepatnya sedang menempatkan diri saya jika nanti-ehem-menikah. Lalu suatu ketika buka-buka media social, dan wow, di sanalah terpampang foto-ehem-istri saya sedang berfoto dengan seorang pria. Kok rasanya males juga ya, lihat dia bersama pria lain.

                Apalagi ini bukan karena tuntutan tugas atau apa, hanya karena mereka sedang jalan-jalan dan tentu butuh tempat untuk mengabadikan momen. Tapi kenapa berdua??

                Mungkin ada yang bilang,”Lha, itu kan masa lalu dia. Kamu waktu itu bukan siapa-siapa dia, ya dia berhak dong gak ikut aturanmu.” Atau perkataan lain,”Katanya cinta? Harusnya kamu bisa menerima dia apa adanya dan percaya sama dia. Tataplah ke depan, jangan malah mengorek-ngorek kekurangannya di masa lalu!”   

                Dan saya cuma bisa menjawab,”Oh gitu ya??!!” -_-

Fase Ketiga
                Sekarang aku jadi berpikir. Bukankah sungguh egois JIKA saya hanya menyalah-nyalahkan-ehem-istri sedangkan tingkah saya sendiri juga tak lebih baik darinya. Apakah saya lalu akan ikut berkata,” Lha, itu kan masa laluku. Kamu waktu itu bukan siapa-siapaku, ya aku berhak dong gak ikut aturanmu.” Atau, ”Katanya cinta? Harusnya kamu bisa menerima aku apa adanya dan percaya sama aku. Tataplah ke depan, jangan malah mengorek-ngorek kekuranganku di masa lalu!”

                Dan dia akan bilang,” Oh gitu ya??!! Kok kamu egois banget?? Kamu katanya males lihat masa laluku, tapi waktu aku mengomentari masa lalumu kamu marah!! Huh, dasar! Pria memang egois!!!”

                Tahukah kalian apa yang saya pikirkan? Saya berpikir,”Crap!! Bener bangetlah aku ini sebagai pria sangat egois!!” Memang begitulah kupikir, saya begitu egois karena saya males melihat masa lalu dia tapi saya MARAH waktu dia melihat masa lalu saya. Bukankah ini sebuah ketidak adilan?

                Saya mau bersembunyi di belakang kata-kata “itu masa lalu”? Bukankah masa kini itu akan menjadi masa lalu di masa depan? Jika saya tidak mau masa lalu saya tidak baik, kenapa tidak saya pikirkan waktu itu. Kenapa saya malah sembunyi di balik fakta bahwa masa lalu tak bisa diubah jika kita di waktu yang lalu tak berusaha menghiasnya? Analoginya adalah saya tidak belajar saat akan ujian Elemen Mesin, lalu nilai saya E, dan saya bilang,”Ya sudahlah, wong sudah berlalu kok.” Tahu tidak,saya merasa GOBLOK sekali jika berkata seperti itu.

                Kecuali saya sudah belajar mati-matian, lalu pas ujian salah hitung, dapat nilai C, baru saya pantas bilang,” Ya sudahlah, wong sudah berlalu kok.”  
  
                Saya mau bersembunyi di belakang kata-kata,” Kamu waktu itu bukan siapa-siapaku, ya aku berhak dong gak ikut aturanmu”? Ya okelaaaaah, mungkin waktu itu aku belum berpikir ke depan. Aku hanya merasa senang melakukan sesuatu yang juga dilakukan pemuda lainnya. Namun sekarang, ketika saya pikir lagi, baru terasa betapa egosinya kata-kata ini. Jika saya tidak suka dibegitukan, ya saya jangan berlaku seperti itu. Itu baru adil!

                Kata-kata yang,” Katanya cinta? Harusnya kamu bisa menerima aku apa adanya dan percaya sama aku. Tataplah ke depan, jangan malah mengorek-ngorek kekuranganku di masa lalu!” sebenarnya juga sangat tidak logis. Dan jawabannya menurutku kurang lebih sama dengan pernyataan,”itu masa lalu”.

                Lalu mungkin banyak yang bertanya kepada saya,”Jika saya sudah melakukan hal-hal buruk di masa lalu bagaiamana?” Tenang, tidak ada manusia yang bersih dari kesalahan. Yang perlu kita lakukan hanya menyadarinya, lalu tidak melakukannya lagi. Karena jika kita analogikan bahwa kesalahan di masa lalu adalah investasi keburukan, maka perbaikan yang kita lakukan  adalah investasi kebaikan di masa depan. Dan semoga saat investasi itu dilihat, nilai keburukan kita tak menutupi nilai kebaikan kita. Dan saya rasa kita bisa berharap sedikit pada kata-kata “Keajaiban Cinta” hahaha.

                Oke, jadi saya simpulkan di fase ketiga ini saya mulai sadar diri bahwa saya harus adil. Jika saya nanti tak mau merasa males karena yang dilakukan belahan jiwa saya maka saya tak ingin pula melakukan sesuatu yang nantinya akan menyakitinya. Sesimpel itu. Dan mungkin itu bisa diwakili oleh kata-kata yang dicetak miring pada awal tulisan saya ini.

                Namun saya tak ingin berhenti sampai di sini. Pernah ada seorang ikhwan yang menurut saya telah mencapai fase keempat. Apa itu?

Fase Keempat

                Fase ini secara tindakan sama seperti pada fase ketiga, yaitu berusaha berhati-hati di masa kini agar tak tercatat sebagai masa lalu yang tak nyaman untuk dilihat. Namun secara motivasi dia sungguh berbeda. Dia sungguh melakukan ini bukan karena takut tentang apa yang akan dia dapat sebagai karma. Tetapi karena dia begitu menghormati dan menghargai wanita.

                Dia tak ingin, jika tindakannya pada seorang wanita dapat menurunkan kehormatan wanita itu. Dia tak mau jika tindakannya dapat membuat pria lain yang nantinya menjadi suami wanita itu cemburu padanya. Benar, dia melakukan penjagaan ini bukan untuk dirinya, namun demi saudaranya. Untuk menjaga perasaan saudaranya dalam bingkai iman dan islam-pria dan wanita. Dan dialah yang mengajariku,
Manusia dinilai bukan oleh pencapaian akhirnya. Namun oleh delta(perubahan) kondisi yang dia lakukan. Sehingga seseorang yang tak pernah sholat wajib lalu besoknya sholat sekali bisa jadi lebih baik daripada seseorang yang biasanya sholat lima waktu lalu besoknya tidak sholat sekali.

                Ah, andai semua orang berada di fase keempat. Atau lebih tepatnya, andai aku di fase keempat. Di mana semua berfokus pada pembaikan diri karena pembaikan diri itu sendiri, bukan karena ingin mendapat yang sepadan. Dan aku benar-benar bisa menerima masa lalu seseorang, untuk kemudian memandang ke depan bersama di mana sang Imam membimbing makmumnya meniti jalan ke surga.


                 

0 komentar:

Posting Komentar