“Jika
kau ingin belahan jiwamu menerimamu apa adanya dan percaya padamu, maka yang
perlu kau lakukan adalah membuat dia tak menyesal telah menerimamu dan mempermudah
dia mempercayaimu.”
Entahlah
kenapa tiba-tiba jadi kepikiran ini. Mungkin karena sekarang sedang liburan,
bulan puasa, dan lutut cedera membuat saya memiliki lebih banyak waktu untuk
merenung-atau kalau dilihat sepintas seperti melamun-di pinggir kolam sambil
melihat tingkah kura-kura saya. Dan apa yang saya pikirkan itu?
Dulu, pada awal-awal semester 3
ada event yang mengharuskan saya berfoto kosan dengan teman-teman
sejurusan. Yang punya kos di foto dengan temannya yang sedang datang
berkunjung. Niatnya baik, agar kita tahu tempat tinggal teman sehingga jika ada
apa-apa lebih mudah untuk membantu. Tidak masalah, karena jurusan saya sebagian
besar lelaki.
Kemudian, terjadi perbincangan
dengan seorang kawan. Intinya, di jurusan lain ada seorang mahasiswa yang
mendapat tugas seperti itu. Foto berdua dengan teman-teman sejurusannya, dan
aku tak tahu ini keuntungan atau kesialan baginya, jumlah wanitanya hampir sama
dengan jumlah prianya(Never happen in
mechanical engineering ITB -_- ). Namun dia benar-benar merasa keberatan
dengan tugas tersebut. Alasannya,”saya mungkin nanti juga cemburu kalau lihat
foto istri saya berdua dengan pria lain, makanya saya juga berusaha tidak
melakukan itu”. Pada awalnya saat dengar berita itu, saya terheran-heran dengan
sikapnya. Lah, ini foto kan tugas kenapa dipermasalahin coba. Kalau kata anak
muda jaman sekarang: lebay!
Fase Pertama
Sok
rapi banget ya dibikin fase-fase. Tapi, ya sudahlah. Saya SEDANG punya banyaK
waktu. Pada fase pertama ini pemikiran saya seperti yang saya yang saya
utarakan tadi. Bahwa mempermasalahkan foto berdua itu lebay. Apanya yang salah?
Pemikiran ini berlangsung terus
hingga suatu saat aku mengalami perubahan pola pikir. Bukan pencerahan, kupikir
bukan. Jika fase pertama bisa kusebut sebagai fase “pengokohan ke-abai-an”,
maka fase kedua mungkin akan kusebut fase “pengokohan ke-egois-an”.
Fase Kedua
Pada
fase ini, saya mulai berpikir. Lebih tepatnya sedang menempatkan diri saya jika
nanti-ehem-menikah. Lalu suatu ketika buka-buka media social, dan wow, di
sanalah terpampang foto-ehem-istri saya sedang berfoto dengan seorang pria. Kok
rasanya males juga ya, lihat dia bersama pria lain.
Apalagi ini bukan karena
tuntutan tugas atau apa, hanya karena mereka sedang jalan-jalan dan tentu butuh
tempat untuk mengabadikan momen. Tapi kenapa berdua??
Mungkin ada yang bilang,”Lha,
itu kan masa lalu dia. Kamu waktu itu bukan siapa-siapa dia, ya dia berhak dong
gak ikut aturanmu.” Atau perkataan lain,”Katanya cinta? Harusnya kamu bisa
menerima dia apa adanya dan percaya sama dia. Tataplah ke depan, jangan malah
mengorek-ngorek kekurangannya di masa lalu!”
Dan saya cuma bisa menjawab,”Oh
gitu ya??!!” -_-
Fase Ketiga
Sekarang
aku jadi berpikir. Bukankah sungguh egois JIKA saya hanya menyalah-nyalahkan-ehem-istri
sedangkan tingkah saya sendiri juga tak lebih baik darinya. Apakah saya lalu
akan ikut berkata,” Lha, itu kan masa laluku. Kamu waktu itu bukan
siapa-siapaku, ya aku berhak dong gak ikut aturanmu.” Atau, ”Katanya cinta?
Harusnya kamu bisa menerima aku apa adanya dan percaya sama aku. Tataplah ke depan,
jangan malah mengorek-ngorek kekuranganku di masa lalu!”
Dan
dia akan bilang,” Oh gitu ya??!! Kok kamu egois banget?? Kamu katanya males
lihat masa laluku, tapi waktu aku mengomentari masa lalumu kamu marah!! Huh,
dasar! Pria memang egois!!!”
Tahukah
kalian apa yang saya pikirkan? Saya berpikir,”Crap!! Bener bangetlah aku ini sebagai pria sangat egois!!” Memang
begitulah kupikir, saya begitu egois karena saya males melihat masa lalu dia
tapi saya MARAH waktu dia melihat masa lalu saya. Bukankah ini sebuah ketidak
adilan?
Saya mau bersembunyi di belakang
kata-kata “itu masa lalu”? Bukankah masa kini itu akan menjadi masa lalu di
masa depan? Jika saya tidak mau masa lalu saya tidak baik, kenapa tidak saya
pikirkan waktu itu. Kenapa saya malah sembunyi di balik fakta bahwa masa lalu
tak bisa diubah jika kita di waktu yang lalu tak berusaha menghiasnya? Analoginya
adalah saya tidak belajar saat akan ujian Elemen Mesin, lalu nilai saya E, dan
saya bilang,”Ya sudahlah, wong sudah berlalu kok.” Tahu tidak,saya merasa
GOBLOK sekali jika berkata seperti itu.
Kecuali saya sudah belajar
mati-matian, lalu pas ujian salah hitung, dapat nilai C, baru saya pantas
bilang,” Ya sudahlah, wong sudah berlalu kok.”
Saya mau bersembunyi di belakang
kata-kata,” Kamu waktu itu bukan siapa-siapaku, ya aku berhak dong gak ikut
aturanmu”? Ya okelaaaaah, mungkin waktu itu aku belum berpikir ke depan. Aku hanya
merasa senang melakukan sesuatu yang juga dilakukan pemuda lainnya. Namun sekarang,
ketika saya pikir lagi, baru terasa betapa egosinya kata-kata ini. Jika saya
tidak suka dibegitukan, ya saya jangan berlaku seperti itu. Itu baru adil!
Kata-kata yang,” Katanya cinta?
Harusnya kamu bisa menerima aku apa adanya dan percaya sama aku. Tataplah ke depan,
jangan malah mengorek-ngorek kekuranganku di masa lalu!” sebenarnya juga sangat
tidak logis. Dan jawabannya menurutku kurang lebih sama dengan pernyataan,”itu
masa lalu”.
Lalu mungkin banyak yang
bertanya kepada saya,”Jika saya sudah melakukan hal-hal buruk di masa lalu
bagaiamana?” Tenang, tidak ada manusia yang bersih dari kesalahan. Yang perlu
kita lakukan hanya menyadarinya, lalu tidak melakukannya lagi. Karena jika kita
analogikan bahwa kesalahan di masa lalu adalah investasi keburukan, maka perbaikan
yang kita lakukan adalah investasi
kebaikan di masa depan. Dan semoga saat investasi itu dilihat, nilai keburukan
kita tak menutupi nilai kebaikan kita. Dan saya rasa kita bisa berharap sedikit
pada kata-kata “Keajaiban Cinta” hahaha.
Oke, jadi saya simpulkan di fase
ketiga ini saya mulai sadar diri bahwa saya harus adil. Jika saya nanti tak mau
merasa males karena yang dilakukan belahan jiwa saya maka saya tak ingin pula
melakukan sesuatu yang nantinya akan menyakitinya. Sesimpel itu. Dan mungkin
itu bisa diwakili oleh kata-kata yang dicetak miring pada awal tulisan saya
ini.
Namun saya tak ingin berhenti
sampai di sini. Pernah ada seorang ikhwan yang menurut saya telah mencapai fase
keempat. Apa itu?
Fase Keempat
Fase
ini secara tindakan sama seperti pada fase ketiga, yaitu berusaha berhati-hati
di masa kini agar tak tercatat sebagai masa lalu yang tak nyaman untuk dilihat.
Namun secara motivasi dia sungguh berbeda. Dia sungguh melakukan ini bukan
karena takut tentang apa yang akan dia dapat sebagai karma. Tetapi karena dia
begitu menghormati dan menghargai wanita.
Dia tak ingin, jika tindakannya
pada seorang wanita dapat menurunkan kehormatan wanita itu. Dia tak mau jika
tindakannya dapat membuat pria lain yang nantinya menjadi suami wanita itu
cemburu padanya. Benar, dia melakukan penjagaan ini bukan untuk dirinya, namun
demi saudaranya. Untuk menjaga perasaan saudaranya dalam bingkai iman dan islam-pria
dan wanita. Dan dialah yang mengajariku,
”Manusia dinilai bukan oleh
pencapaian akhirnya. Namun oleh delta(perubahan)
kondisi yang dia lakukan. Sehingga seseorang yang tak pernah sholat wajib lalu
besoknya sholat sekali bisa jadi lebih baik daripada seseorang yang biasanya
sholat lima waktu lalu besoknya tidak sholat sekali.”
Ah, andai semua orang berada di
fase keempat. Atau lebih tepatnya, andai aku di fase keempat. Di mana semua
berfokus pada pembaikan diri karena pembaikan diri itu sendiri, bukan karena
ingin mendapat yang sepadan. Dan aku benar-benar bisa menerima masa lalu
seseorang, untuk kemudian memandang ke depan bersama di mana sang Imam
membimbing makmumnya meniti jalan ke surga.
0 komentar:
Posting Komentar