beserta kelima anaknya dalam
naungan kerajaan Fir’aun. Sang suami adalah orang dekat sang raja, sebagaimana
ia sebagai pengasuh puteri-puteri Fir’aun. Allah Ta’ala mengaruniakan keimanan
kepada keluarga tersebut, sebuah karunia terbesar dan paling mereka syukuri.
Namun, sang
suami tidak sabar mengumumkan keimanannya sehingga ia mati di tangan algojo
kerajaan. Sang istri, yang masih menyembunyikan keimanannya masih bekerja
sebagai pelayan dan pengasuh puteri-puteri Fir’aun. Hingga saat itu tiba.
Suatu hari ,
ketika ia menyisir rambut seorang puteri Fir’aun, terjatuhlah sisir dari
genggamannya.
“Bismillah,” ucapnya.
“Allah? Kenapa tidak ayahku?” tanya sang
puteri dan terkejut.
“Tidak! Tetapi
Allah! Rabb-ku, Rabb-mu, dan Rabb ayahmu,” jawab sang pengasuh.
Namun puteri
Fir’aun tidak terima apabila selain ayahnya yang disembah. Dan segera ia
kabarkan hal itu pada ayahnya. Fir’aun merasa heran ada orang di dalam
istananya yang menyembah selain dirinya. Dan dipanggillah sang pengasuh.
“Siapa
Rabb-mu?” tanyanya.
“Rabb-ku dan
Rabb-mu adalah Allah,” jawabnya.
Dia pun
menyuruhnya untuk segera murtad dari agamanya, Islam(dari Nabi Adam
‘alaihissalam sampai Rasulullah Muhammad salallahu ‘alaihi wasalam agama tauhid
hanya Islam). Dia pun mengurung dan memukuli si penyisir rambut, tetapi
usahanya itu tak juga membuatnya murtad. Fir’aun lalu minta disediakan panic
dari tembaga yang dipenuhi minyak lalu dibakar hingga mendidih.
Wanita
tersebut diberdirikan di hadapan panic panas. Melihat siksaan itu, ia malah
yakin bahwa dirinya hanyalah sebuah jiwa yang ketika keluar, ia pun akan
segera menjumpai Allah Ta’ala. Fir’aun
la’natullah tahu, insane terkasih wanita itu adalah kelima anaknya-anak yatim yang
ia perjuangkan dan nafkahi. Dia hendak menambah siksaannya dengan menghadirkan
kelima anaknya yang masih belia.
Mata mereka
tampak kebingungan, mereka tidak tahu hendak digiring ke mana. Ketika melihat
sang Ibu, mereka langsung mendekap erat sambil menangis. Sang Ibu tertunduk,
memeluk dan mencium anak-anaknya berkali-kali. Ia raih yang terkecil dan ia
dekap ke dadanya untuk disusui. Meskipun ia wanita tegar, namun air mata tetap
mengalir deras membasahi pipinya.
Melihat
pemandangan ini, Fir’aun memerintahkan tentaranya untuk mengambil anak
sulungnya. Para tentara itu segera menyeret untuk menceburkannya ke dalam
minyak yang tengah mendidih. Sang anak memanggil-memanggil ibunya. Ia meminta
tolong sambil memels di hadapan para tentara dan mengiba kepada Fir’aun. Ia
terus meronta, berusaha melepaskan dan melarikan diri.
Ia
memanggil-manggil adik-adiknya, ia pukuli para tentara dengan kedua tangan
mungilnya. Para tentara pun menampar dan mendorongnya sang ibu hanya bisa
memandangnya dan melepas kepergiannya. Tak lama berselang anak kecil itu pun
dilempar ke dalam minyak. Sang ibu hanya bisa menangis sambil memandanginya,
sedangkan saudara-saudaranya menutup mata mereka dengan tangan-tangan mungil
mereka. Hingga, tatkala daging tubuh bagian atasnya yang ringkih meleleh dan tulang belulangnya yang putih mengambang
di atas minyak, Fir’aun memalingkan pandangannya kepada sang Ibu dan
menyuruhnya kufur kepada Allah. Namun, sang Ibu menolak…
Fir’aun
bertambah murka, ia menyuruh untuk mengambil anak keduanya. Ia ditarik paksa
dari sang Ibu. Ia meraung-raung meminta tolong. Hanya beberpa saat, ia pun
dilempar ke dalam minyak. Lagi-lagi, sang Ibu hanya bisa memandanginya. Hingga
tulang belulangnya yang putih mengapung dan bercampur dengan tulang saudaranya.
Sang ibu tetap tegar dalam agamanya.ia yakin akan perjumpaan dengan Rabb-nya.
Fir’aun
kembali menyuruh untuk mengambil anak ketiga. Ia langsung diseret dan
didekatkan ke panic yang tengah mendidih itu. Ia segera diangkat dan diceburkan
ke dalam minyak tadi. ia pun mengalami nasib yang sama dengan kedua kakaknya.
Tetapi sang
Ibu tetap kokoh dalam agamanya…
Fir’aun
kemudian menyuruh untuk melempar anak keempat ke dalam minyak. Para tentara
segera mendatanginya. Ia masih kecil. Ia bergelayut di baju ibunya. Ketika para
tentara menariknya, ia menjerit sambil memegangi kedua kaki ibunya. Air matanya
membasahi kedua kaki sang Ibu, sedangkan sang Ibu berusaha menggendongnya
bersama adiknya.
Ia berusaha
melepas kepergiannya, mencium, dan mengecupnya sebelum berpisah. Para tentara
itu pun memisahkan keduanya. Mereka raih kedua tangan mungil itu lalu
menyeretnya, sementara ia terus dan terus menangis meminta tolong. Ia merajuk
dengan kata-kata yang belum dapat dimengerti. Akan tetapi, mereka tidak juga
mengasihaninya.
Beberapa saat
kemudian ia pun ditenggelamkan ke dalam minyak yang mendidih. Jasadnya lenyap
dan suaranya hilang, lalu sang ibu mencium aroma daging. Tulang-belulangnya
yang kecil nan putih naik ke permukaan minyak yang menyemburkannya. Sang ibu
memandangi tulang-belulang itu. Sang anak telah meninggalkannya ke negeri lain.
Ia hanya bisa menangis, tercacah oleh perpisahan dengan si buah hati.
Teringatlah,
betapa ia dahulu mendekapnya ke dada dan menyusukan ke putingnya. Dan seringkali
terjaga di malam hari ketika si buah hati terjaga dari tidurnya dan menangis
karena tangisannya. Entah, berapa malam yang telah ia habiskan di pangkuan sang
ibu sambil memain-mainkan rambutnya. Entah berapa kali sang ibu harus ambilkan
mainan-mainannya dan ia kenakan pakaiannya.
Namun, ia
paksakan dirinya untuk tetap tegar dan terus bertahan.
Para tentara
itu memandangi dan segera mendatanginya. Mereka renggut anak kelima yang masih
menyusu itu dari kedua tangannya, padahal ia sedang mengulum putting ibunya…
Terlepas
dari ibunya, si kecil pun menjerit dan menangislah wanita malang itu. Tatkala Allah
Ta’ala melihat penghinaan terhadapnya, juga kesedihan dan kehilangan akan sang
anak, Dia membuat si bayi yang masih dalam buaian itu berbicara.
“Wahai Ibu,
bersabarlah. Kaena sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.”
Suara itu
tak terdengar lagi olehnya. Bayi malang itu segera menyusul kakak-kakaknya
menuju alam keabadian. Di mulutnya masih tersisa air susu, di tangannya
tersangkut beberapa helai rambut sang ibu, dan bajunya juga masih basah oleh
air mata.
Tatkala semua
anak wanita itu telah habis, para tentara mulai memandang sang ibu. Ketika tubuhnya
diangkat untuk dilemparkan, ia palingkan pandangannya pada Fir’aun.
"Aku
minta kau kabulkan permintaanku,” ucapnya.
“ Apa
permintaanmu?” teriak Fir’aun.
“Kumpulkan
tulangku dengan tulang anak-anakku dalam satu kuburan!” pintanya.
Dan ia pun
segera dilemparkan, hingga jasadnya terpanggang dan tulang belulangnya
mengambang.
Pada malam
Isra’, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah melihat sebagian kenikmatan yang
diraihnya. Maka beliau ceritakan hal tersebut pada para Shahabat:
“Ketika aku di-isra’-kan,
terhembuslah padaku aroma yang harum semerbak. Aku bertanya,’Aroma apa ini?’
Maka dikatakan kepadaku,’Ini adalah wanita penyisir rambut Puteri Fir’aun dan
anak-anaknya.’”(HR. Al-Baihaqi)
#Diketik ulang dari buku "Kemuliaan Muslimah Penggenggam Bara Api" buah karya DR. Muhammad Bin 'Abdurrahman Al-'Arifi(2008).
0 komentar:
Posting Komentar