Kamis, 17 Oktober 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Ada yang berbeda pada Hari Raya Qurban saya kali ini. Bukan karena sekarang saya ada di tanah haram(suatu saat nanti, berangkatnya dari Syam aaminn) atau karena saya berkurban seekor unta. Namun karena saat malam takbiran, masih harus menembus jalanan puncak dengan kabut yang indah pada pukul sepuluh malam dalam perjalanan ke Bandung. Lho, ngapain?

Latar Belakang

                Sore itu sedang rapat terbatas dengan ketua unit—ini pun jika bisa disebut rapat. Tiba-tiba beliau nyeletuk,”Korlapku dibacok geng motor ndes!” Tentu saya kaget dan langsung bilang,”He? *****? Jare sapa? Kapan?               

                Iki mau aku entes entuk kabar, nembe mau isuk jarene,” sambungnya. Dan akhirnya selama beberapa saat kami mengalihkan agenda rapat yang sebenarnya sudah tak jelas menuju pembicaraan mengenai musibah yang menimpa kawan kami ini. Akhirnya dari pembicaraan tersebut didapat konklusi bahwa kami berdua mewakili PD ITB akan menjenguknya pada hari Minggu. Nah, masalah transportasi saat itu belum dibahas terlalu detil dan bagaimana persiapan akomodasi di sana.

Hari Minggu
14.06 WIB

                Setelah segala persiapan singkat termasuk mengambil ponco di sekre PD ITB, mulailah trip gila ini kami lakukan. Memang iya kami pernah ke Jakarta sebelumnya, namun biasanya dengan mobil atau travel dan melewati jalan tol. Kalau dengan sepeda motor baru ini, dan praktis perjalanan kami hanya dituntun oleh referensi kawan atau penanda jalan. Dari Bandung hingga Cianjur jalanan masih normal meski kemacetan mulai menimpakan rasa tak nyaman. Oh ya, ketika di Padalarang, hujan turun dengan lebat pun. Sang rider di depan pun bergegas memakai ponco—dan maaaaan—ini ponco kayak udah luluran lumpur aja. Saya, yang saat ini masih sebagai pembonceng selain mulai merasakan ketidaknyamanan di pantat karena terlalu lama duduk juga berjaket basah karena lebih memilih untuk tidak melewatkan pemandangan di jalanan meskipun hujan.

                Perjalanan lebih banyak kami habiskan dalam diam, karena sang rider sendiri memang dasarnya pendiam dan saya dibisukan oleh pemandangan yang ada sepanjang jalan. Apalagi ketika mendekati puncak, yang ijo-ijo sungguh menyegarkan batin dan ini adalah kali pertama saya melewati puncak dengan kondisi awan mendung tebal yang menggantung. Akhirnya, menjelang maghrib kami memutuskan untuk berhenti sembari mengecek persediaan bensin karena indicator bahan bakar harus secara manual—yaitu mata melihat langsung ke isi tanki. Karena pantat saya sudah benar-benar pedas dan ingin merasakan sensasi berkendara, saya menawarkan diri untuk bergantian melayani Red Devil(julukan buat motor yang kami tumpangi). Dan sebagai salam perkenalan, Red Devil sempat mati pada percobaan tanjakan yang pertama :P. Namun setelah itu, lancar jaya.

                Jalanan puncak yang berkelok-kelok, naik turun, dan macet kami sikat dengan apik. Red Devil sungguh menunjukkan performanya untuk menyelip di antara mobil plat B yang menyemut. Dan kondisi masih saja hujan rintik-rintik mengharuskan saya akhirnya memakai ponco yang ada. Perjalanan panjang ini memang mengesankan ketika di puncak apalagi ditambah bahwa kami benar-benar buta jalan sehingga setiap belokan bagai misteri yang mengasyikkan. Ekspektasi awal bahwa kami akan sampai sekitar maghrib atau isya’ pun kandas karena pada waktu itu masih terjebak di puncak. Dan akhirnya, sampailah kami di Bogor…

                Ah Bogor, kota sejuk ini mengingatkan saya pada kota Wonosobo yang pernah saya kunjungi. Entahlah kenapa tiba-tiba teringat, padahal secara kondisi sangat berbeda. Saya yang kini memegang kemudi harus benar-benar jeli. Dan tak ada yang lebih ampuh selain mengikuti motor-motor plat B. Kondisi yang semakin malam justru membuat saya makin bersemangat untuk memutar gas lebih ke belakang. Saya merasa kemampuan saya mengenderai sepeda motor tidak berkurang meski selama kuliah sangat jarang menggunakannya(nyombong dikit). Bahkan saya mengira bahwa sang empunya motor cukup was-was juga, apalagi seringkali angkot dari arah berlawanan tiba-tiba masuk ke jalur saya—atau saya yang masuk ke jalur mereka hahaha. Kecepatan tertinggi saya capai ketika sepanjang jalan antara perbatasan Bogor(atau Depok?) sampai Jakarta.

                Sekitar pukul setengah sembilan malam barulah kami sampai di Jalan Raya Bogor. Saya sih mengira ini sudah masuk Jakarta karena UI telah terlewat dan udara semakin panas. Di sini, Red Devil melakukan suplai logistic kembali di Pom Bensin terdekat. Kesempatan ini, bersama setiap kesempatan ketika lampu merah tidak kami sia-siakan untuk sekedar melemaskan pantat. Meski orang-orang di sekitar melihat kami dengan tatapan aneh, apalagi mengingat plat motor yang bertuliskan huruf H.

Setelah tanya-tanya entah ke berapa kalinya hari itu, kami pun meluncur ke tempat yang akan menampung dua gelandangan ini setidaknya selama semalam. Dan orang yang tidak beruntung itu adalah kawan kami anak Teknik Sipil ITB: Adhi, Kadiv Eksternal PD ITB.

                Setelah beberapa kali sms, akhirnya kami pun “ditemukan” olehnya dan langsung di bawa ke rumahnya. Sungguh lega rasanya bahwa malam ini kami tak perlu tidur di Masjid. Sesampainya di rumahnya, ditraktir nasi goreng, salaman sama Ibunya, kami pun ke kamar karena punggung benar-benar ingin diluruskan. Setelah mandi dan menjamak sholat, saya pun langsung terkapar sedang sang Kadiv Eksternal masih bermain DotA ditemani oleh sang Ketua Unit.

Hari Senin
10.30 WIB

                Setelah pengisian logistic(sarapan dan lain-lain), kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk misi utama kami: Menjenguk seorang kawan.  Sekali lagi kami ucapkan terimakasih yang sangat besar kepada Adhi sekeluarga yang telah menerima tamu tak diundang ini :)

Dan kini, perjalanan baru mengarungi Jakarta dengan hanya bermodalkan hasil briefing sang tuan rumah menggunakan google maps pun dimulai. Red Devil, kembali ditangani oleh pemiliknya. Selama perjalanan sekali lagi saya merasakan sesuatu yang familiar. Entah kenapa jalanannya sangat mirip dengan jalanan di kota saya, Semarang. Tepatnya daerah Pedurungan hehe. Saya pun hanya mengandalkan ingatan sekilas ketika briefing tadi, tapi ternyata realita tak semudah menarik kursor di laptop. Setelah berputar-putar dan seksama mengawasi penanda jalan, sampailah kami pada keputusan untuk mengeluarkan senjata pamungkas: tanya orang. Eh, kebetulah yang ditanya orang jawa hahaha.

Sekitar sejam berputar-putar, sampai jua di tujuan. Wah, ternyata kawan kami ini sudah bisa tertawa-tawa. Sudah sehat nampaknya. Yaaah, meski perban masih menempel di sana-sini. Karena kami tahu bahwa sangat membosankan untuk selalu menceritakan kronologi, jadinya kami tak menanyakannya.  Yang menarik justru ucapan Bapak kawan kami itu,”Om sendiri bingung sama aparat kita. Kok katanya kejadian ini memang sudah sering dan seharusnya si ***** jangan lewat daerah itu karena sepi dan rawan. Kalau sudah tahu sudah sering kok tidak ditertibkan? Apa perlu ditembakin satu-satu seperti geng motor di Jakarta ini? Saya sampai sempat bilang,’Pak, ini kalau lebaran haji orang sembelih kambing, sini biar saya kurban orang aja!’ Kalau begini terus kan lama-lama orang pada takut buat kuliah di Bandung.”

Dan memang layak beliau berucap demikian, karena selain sebagai Ayah dari korban penganiayaan para maho-alay-tak-bermoral yang waktu mengeroyok berjumlah 12 orang dengan senjata tajam beliau juga berucap sebagai petinggi intelejen TNI AL. Yaaah, jujur saja sih saya mendukung adanya “petrus”(penembakan misterius, proses “penertiban” preman pada zaman orde baru oleh tentara) biar ada efek jeranya.

Kami tak terlalu lama di Rumah Sakit, biar kawan kami bisa istirahat lagi. Selain itu karena kami ada 2 misi lagi: Mengambil gambar Red Devil di Monas dan sowan ke rumah pelatih silat saya: Kang Adams. Di monas, seperti wisatawan lain sajalah kami. Satu yang paling menarik buat saya: Rusa tutul hahaha. Dan misi pengambilan gambar pun terpenuhi. Misi berikutnya, mencari rumah pelatih.


Sang ketua sekaligus yang punya Red Devil

Rusa Tutul di Monas

Red Devil





Nah, pada waktu mencari tersebut kami malah berpapasan dengan polisi. Cerita tentang akan saya ceritakan lain waktu. Singkat cerita, sampailah kami di rumah pelatih.

Woooo, seneng bangetlah kami. Semua misi tercapai. Tak terlalu lama, cukup sejam saja kami di sana. Bercerita segala macam hal, mulai dari kisah kawan kami korban geng motor sampai ke masalah para bankir yahudi yang menguasai keuangan dunia. Dari teknik silat sampai teknik mengerti hati,ehem, perempuan. Dari freeport sampai klasifikasi kapal perang(korvet, frigate, destroyer, cruiser, submarine). Dan akhirnya, saat berpamitan saya mendapat oleh-oleh sebuah CD installer game kapal perang World War II: Battle Stations, Mid Way.
Bersama pelatih di teras rumah beliau
Setengah lima sore, kami memulai long journey kami: Ke Bandung!
Hari Senin          
17.45 WIB

Awalnya perjalanan menyenangkan. Namun satu yang mengkhawatirkan saya adalah bahwa hari sudah gelap sedang keluar dari Jakarta pun belum. Namun, saya diam saja karena bukan saya yang sekarang di depan. Lebih baik saya simpan tenaga karena ada firasat bahwa perjalanan kali ini akan sedikit menantang. Dan itu semua, benar…

Di Bogor, hujan pun turun dengan sangat deras. Tetapi bukan itu yang menghentikan kami, melainkan laju motor yang mulai bergoyang-goyang. Dan benarlah, ada masalah dengan bannya. Saya langsung turun dan bertanya pada satpam yang sedang berjaga di suatu dealer motor di mana ada tambal ban. Alhamdulillah tidak jauh. Setelah menitipkan tas pada ketua biar tidak kehujananan karena beliau memakai ponco, saya pun berjalan ke arah yang ditunjukkan satpam tersebut. Mungkin karena memakai jahim(jaket himpunan jurusan) yang berslogan “tahan segala cuaca” jadi tidak terlalu ambil pusing saya dengan hujan.

Wah, lama juga ternyata karena bukan bocor melainkan dop(entah apa namanya yang benar, tempat buat memasukkan udara yang dari logam itu lho)-nya lepas. Oleh sang penambal ban, beliau berijtihad untuk mengganti dop­-nya alih-alih mengganti bannya. Sambil menunggu selesai kami pun mulai memikirkan opsi jika hujan masih lebat lebih baik mencari kontak dengan kawan di sekitar Bogor untuk numpang tidur lagi. Tetapi Alhamdulillah, hujan pun mereda. Dan perjalanan pun dilanjutkan kembali setelah semangkuk indomie rebus menjadi reload logistic bagi perut kami.

Hujan masih saja mengguyur meski rintik-rintik. Dan entah mengapa, jika kita telah melewati suatu jalan untuk kedua kalinya akan terasa lebih pendek. Sekali lagi, saya menikmati pemandangan di sekitar jalanan. Hingga pada tanjakan di puncak, ketua kembali menepikan Red Devil. Sambil melihat ke belakang, saya tahu bahwa ban motor kembali mengempis. “Duh, bocor halus!” begitu pikir saya. Akhirnya setelah berdiskusi singkat, diambil opsi untuk mengganti ban saja sekalian. Memang, ketua menepikan motornya ketika melihat tambal ban di pinggir jalan.

Sekitar 30 menit waktu kami yang berharga kembali hilang karena harus menunggu pemasangan ban. Yaaah, hikmahnya baik Red Devil maupun kami bisa istirahat. Lalu, saat semua beres saya berkata,”Switch?” Dan ketua menjawab,”Boleh.” Dan jadilah saya yang kini melayani Red Devil.

Kondisi masih saja hujan sehingga membuat puncak semakin gelap. Apalagi ada suatu daerah di mana kabut mulai turun menyebabkan jarak pandang menyusut. Duh gusti, jadi teringat perjalanan setelah hiking dulu. Namun yang saya lihat kabut ini sungguh indah. Dengan kanan kiri berupa rumpun bambu dan kabut yang ada membuat sebuah pertunjukkan yang unik. Terasa sedang menyeberang ke gerbang dimensi lain hehehe. Saya, tentu semakin berkonsentrasi. Saya mengandalkan bagian tengah jalan yang di pasang semacam logam yang akan menghasilkan cahaya jika terkena lampu depan sepeda motor. Itulah pemandu saya karena melihat jalanan tidak mudah. Untungnya, di puncak tidak hujan, hanya gerimis saja. Namun pernah pada satu kesempatan koefisien gesek antara ban dengan jalanan berubah dari statis ke kinetic yang menyebabkan slip ketika pada turunan tajam. Langsung saja saya lepas rem demi membuat koefisien gesek kembali ke statis. Alhamdulillah lagi, kami tidak terjadi apa-apa.

Di Cianjur, kembali terjadi hujan yang sangat deras. Karena haus sekalian saja saya buka mulut hehe. Lumayan bisa minum tanpa harus menepikan sepeda motor. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Saya pun berpesan kepada ketua agar jika sampai jam sebelas belum sampai memberitahu saya untuk mencari mushola terdekat supaya bisa menjamak sholat maghrib dan isya’. Dan memang benar, pukul sebelas kami masih saja di jalanan Cianjur bahkan belum masuk ke Padalarang. Sembari melemaskan pantat yang tepos kami pun sholat. Sepatu saya sungguh basah, hingga saat wudhu saya sempat berpikir untuk tak perlu melepas sepatu hahaha.

Setelah itu perjalanan relative lebih lancar dan Red Devil bisa saya ajak berlari kencang lagi. Jalanan Padalarang yang berkelak kelok namun kering sungguh mengasyikkan untuk diarungi. Sayangnya, debu yang ada membuat sudut mata saya  menghasilkan kotoran mata yang berwarna hitam. Agak pedas sih, tapi jika helm ditutup yang ada jalan tidak kelihatan -_-

Sampai di Bandung dengan selamat juga akhirnya—pukul 00.30 WIB hari Selasa. Allahuakbar, walhamdulillah. Takbiran kami lakukan di perjalanan yang mengasyikkan. Sungguh perjalanan yang mengesankan meski tak bisa dibilang tidak melelahkan. Dan dalam suasana Hari Raya Haji ini saya berucap: Selamat Hari Idul Adha 1434 H. Selamat makan sate :D

Yeah, semua misi tercapai meski beberapa beberapa target pada saat yang bersamaan harus berubah.

NB: Say No to geng motor tak bermoral!

           NB(lagi): entah koneksi yang secepat keong atau kendala lain, gambar-gambar belum bisa saya publikasikan :(

0 komentar:

Posting Komentar