Ada yang berbeda pada Hari Raya
Qurban saya kali ini. Bukan karena sekarang saya ada di tanah haram(suatu saat
nanti, berangkatnya dari Syam aaminn) atau karena saya berkurban seekor unta.
Namun karena saat malam takbiran, masih harus menembus jalanan puncak dengan
kabut yang indah pada pukul sepuluh malam dalam perjalanan ke Bandung. Lho,
ngapain?
Latar Belakang
Sore
itu sedang rapat terbatas dengan ketua unit—ini pun jika bisa disebut rapat.
Tiba-tiba beliau nyeletuk,”Korlapku
dibacok geng motor ndes!” Tentu saya kaget dan langsung bilang,”He? *****? Jare sapa? Kapan?”
“Iki mau aku entes entuk kabar, nembe mau isuk jarene,” sambungnya. Dan akhirnya selama beberapa saat kami mengalihkan agenda rapat yang sebenarnya sudah tak jelas menuju pembicaraan mengenai musibah yang menimpa kawan kami ini. Akhirnya dari pembicaraan tersebut didapat konklusi bahwa kami berdua mewakili PD ITB akan menjenguknya pada hari Minggu. Nah, masalah transportasi saat itu belum dibahas terlalu detil dan bagaimana persiapan akomodasi di sana.
Hari Minggu
14.06 WIB
Setelah
segala persiapan singkat termasuk mengambil ponco di sekre PD ITB, mulailah
trip gila ini kami lakukan. Memang iya kami pernah ke Jakarta sebelumnya, namun
biasanya dengan mobil atau travel dan melewati jalan tol. Kalau dengan sepeda
motor baru ini, dan praktis perjalanan kami hanya dituntun oleh referensi kawan
atau penanda jalan. Dari Bandung hingga Cianjur jalanan masih normal meski
kemacetan mulai menimpakan rasa tak nyaman. Oh ya, ketika di Padalarang, hujan
turun dengan lebat pun. Sang rider di depan pun bergegas memakai ponco—dan
maaaaan—ini ponco kayak udah luluran lumpur aja. Saya, yang saat ini masih
sebagai pembonceng selain mulai merasakan ketidaknyamanan di pantat karena
terlalu lama duduk juga berjaket basah karena lebih memilih untuk tidak
melewatkan pemandangan di jalanan meskipun hujan.
Perjalanan lebih banyak kami
habiskan dalam diam, karena sang rider sendiri memang dasarnya pendiam dan saya
dibisukan oleh pemandangan yang ada sepanjang jalan. Apalagi ketika mendekati
puncak, yang ijo-ijo sungguh menyegarkan batin dan ini adalah kali pertama saya
melewati puncak dengan kondisi awan mendung tebal yang menggantung. Akhirnya,
menjelang maghrib kami memutuskan untuk berhenti sembari mengecek persediaan
bensin karena indicator bahan bakar harus secara manual—yaitu mata melihat
langsung ke isi tanki. Karena pantat saya sudah benar-benar pedas dan ingin
merasakan sensasi berkendara, saya menawarkan diri untuk bergantian melayani
Red Devil(julukan buat motor yang kami tumpangi). Dan sebagai salam perkenalan,
Red Devil sempat mati pada percobaan tanjakan yang pertama :P. Namun setelah
itu, lancar jaya.
Jalanan puncak yang
berkelok-kelok, naik turun, dan macet kami sikat dengan apik. Red Devil sungguh
menunjukkan performanya untuk menyelip di antara mobil plat B yang menyemut. Dan
kondisi masih saja hujan rintik-rintik mengharuskan saya akhirnya memakai ponco
yang ada. Perjalanan panjang ini memang mengesankan ketika di puncak apalagi
ditambah bahwa kami benar-benar buta jalan sehingga setiap belokan bagai
misteri yang mengasyikkan. Ekspektasi awal bahwa kami akan sampai sekitar
maghrib atau isya’ pun kandas karena pada waktu itu masih terjebak di puncak. Dan
akhirnya, sampailah kami di Bogor…
Ah Bogor, kota sejuk ini
mengingatkan saya pada kota Wonosobo yang pernah saya kunjungi. Entahlah kenapa
tiba-tiba teringat, padahal secara kondisi sangat berbeda. Saya yang kini
memegang kemudi harus benar-benar jeli. Dan tak ada yang lebih ampuh selain
mengikuti motor-motor plat B. Kondisi yang semakin malam justru membuat saya makin
bersemangat untuk memutar gas lebih ke belakang. Saya merasa kemampuan saya
mengenderai sepeda motor tidak berkurang meski selama kuliah sangat jarang
menggunakannya(nyombong dikit). Bahkan saya mengira bahwa sang empunya motor
cukup was-was juga, apalagi seringkali angkot dari arah berlawanan tiba-tiba
masuk ke jalur saya—atau saya yang masuk ke jalur mereka hahaha. Kecepatan tertinggi
saya capai ketika sepanjang jalan antara perbatasan Bogor(atau Depok?) sampai
Jakarta.
Sekitar pukul setengah sembilan malam
barulah kami sampai di Jalan Raya Bogor. Saya sih mengira ini sudah masuk
Jakarta karena UI telah terlewat dan udara semakin panas. Di sini, Red Devil
melakukan suplai logistic kembali di Pom Bensin terdekat. Kesempatan ini,
bersama setiap kesempatan ketika lampu merah tidak kami sia-siakan untuk
sekedar melemaskan pantat. Meski orang-orang di sekitar melihat kami dengan
tatapan aneh, apalagi mengingat plat motor yang bertuliskan huruf H.
Setelah
tanya-tanya entah ke berapa kalinya hari itu, kami pun meluncur ke tempat yang
akan menampung dua gelandangan ini setidaknya selama semalam. Dan orang yang
tidak beruntung itu adalah kawan kami anak Teknik Sipil ITB: Adhi, Kadiv Eksternal
PD ITB.
Setelah beberapa kali sms,
akhirnya kami pun “ditemukan” olehnya dan langsung di bawa ke rumahnya. Sungguh
lega rasanya bahwa malam ini kami tak perlu tidur di Masjid. Sesampainya di
rumahnya, ditraktir nasi goreng, salaman sama Ibunya, kami pun ke kamar karena
punggung benar-benar ingin diluruskan. Setelah mandi dan menjamak sholat, saya
pun langsung terkapar sedang sang Kadiv Eksternal masih bermain DotA ditemani
oleh sang Ketua Unit.
Hari Senin
10.30 WIB
Setelah pengisian logistic(sarapan
dan lain-lain), kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk misi utama kami:
Menjenguk seorang kawan. Sekali lagi
kami ucapkan terimakasih yang sangat besar kepada Adhi sekeluarga yang telah
menerima tamu tak diundang ini :)
Dan
kini, perjalanan baru mengarungi Jakarta dengan hanya bermodalkan hasil
briefing sang tuan rumah menggunakan google maps pun dimulai. Red Devil,
kembali ditangani oleh pemiliknya. Selama perjalanan sekali lagi saya merasakan
sesuatu yang familiar. Entah kenapa jalanannya sangat mirip dengan jalanan di
kota saya, Semarang. Tepatnya daerah Pedurungan hehe. Saya pun hanya
mengandalkan ingatan sekilas ketika briefing tadi, tapi ternyata realita tak
semudah menarik kursor di laptop. Setelah berputar-putar dan seksama mengawasi
penanda jalan, sampailah kami pada keputusan untuk mengeluarkan senjata
pamungkas: tanya orang. Eh, kebetulah yang ditanya orang jawa hahaha.
Sekitar
sejam berputar-putar, sampai jua di tujuan. Wah, ternyata kawan kami ini sudah
bisa tertawa-tawa. Sudah sehat nampaknya. Yaaah, meski perban masih menempel di
sana-sini. Karena kami tahu bahwa sangat membosankan untuk selalu menceritakan
kronologi, jadinya kami tak menanyakannya. Yang menarik justru ucapan Bapak kawan kami
itu,”Om sendiri bingung sama aparat kita. Kok katanya kejadian ini memang sudah
sering dan seharusnya si ***** jangan lewat daerah itu karena sepi dan rawan. Kalau
sudah tahu sudah sering kok tidak ditertibkan? Apa perlu ditembakin satu-satu
seperti geng motor di Jakarta ini? Saya sampai sempat bilang,’Pak, ini kalau
lebaran haji orang sembelih kambing, sini biar saya kurban orang aja!’ Kalau
begini terus kan lama-lama orang pada takut buat kuliah di Bandung.”
Dan
memang layak beliau berucap demikian, karena selain sebagai Ayah dari korban
penganiayaan para maho-alay-tak-bermoral yang waktu mengeroyok berjumlah 12
orang dengan senjata tajam beliau juga berucap sebagai petinggi intelejen TNI
AL. Yaaah, jujur saja sih saya mendukung adanya “petrus”(penembakan misterius,
proses “penertiban” preman pada zaman orde baru oleh tentara) biar ada efek
jeranya.
Kami
tak terlalu lama di Rumah Sakit, biar kawan kami bisa istirahat lagi. Selain itu
karena kami ada 2 misi lagi: Mengambil gambar Red Devil di Monas dan sowan ke
rumah pelatih silat saya: Kang Adams. Di monas, seperti wisatawan lain sajalah
kami. Satu yang paling menarik buat saya: Rusa tutul hahaha. Dan misi
pengambilan gambar pun terpenuhi. Misi berikutnya, mencari rumah pelatih.
Sang ketua sekaligus yang punya Red Devil |
Rusa Tutul di Monas |
Red Devil |
Nah,
pada waktu mencari tersebut kami malah berpapasan dengan polisi. Cerita tentang
akan saya ceritakan lain waktu. Singkat cerita, sampailah kami di rumah
pelatih.
Woooo,
seneng bangetlah kami. Semua misi tercapai. Tak terlalu lama, cukup sejam saja
kami di sana. Bercerita segala macam hal, mulai dari kisah kawan kami korban
geng motor sampai ke masalah para bankir yahudi yang menguasai keuangan dunia. Dari
teknik silat sampai teknik mengerti hati,ehem, perempuan. Dari freeport sampai
klasifikasi kapal perang(korvet, frigate, destroyer, cruiser, submarine). Dan akhirnya,
saat berpamitan saya mendapat oleh-oleh sebuah CD installer game kapal perang
World War II: Battle Stations, Mid Way.
Setengah
lima sore, kami memulai long journey kami: Ke Bandung!
Hari Senin
17.45 WIB
Awalnya
perjalanan menyenangkan. Namun satu yang mengkhawatirkan saya adalah bahwa hari
sudah gelap sedang keluar dari Jakarta pun belum. Namun, saya diam saja karena
bukan saya yang sekarang di depan. Lebih baik saya simpan tenaga karena ada
firasat bahwa perjalanan kali ini akan sedikit menantang. Dan itu semua, benar…
Di
Bogor, hujan pun turun dengan sangat deras. Tetapi bukan itu yang menghentikan
kami, melainkan laju motor yang mulai bergoyang-goyang. Dan benarlah, ada
masalah dengan bannya. Saya langsung turun dan bertanya pada satpam yang sedang
berjaga di suatu dealer motor di mana ada tambal ban. Alhamdulillah tidak jauh.
Setelah menitipkan tas pada ketua biar tidak kehujananan karena beliau memakai
ponco, saya pun berjalan ke arah yang ditunjukkan satpam tersebut. Mungkin karena
memakai jahim(jaket himpunan jurusan) yang berslogan “tahan segala cuaca” jadi
tidak terlalu ambil pusing saya dengan hujan.
Wah,
lama juga ternyata karena bukan bocor melainkan dop(entah apa namanya yang benar, tempat buat memasukkan udara yang
dari logam itu lho)-nya lepas. Oleh sang penambal ban, beliau berijtihad untuk
mengganti dop-nya alih-alih
mengganti bannya. Sambil menunggu selesai kami pun mulai memikirkan opsi jika
hujan masih lebat lebih baik mencari kontak dengan kawan di sekitar Bogor untuk
numpang tidur lagi. Tetapi Alhamdulillah, hujan pun mereda. Dan perjalanan pun
dilanjutkan kembali setelah semangkuk indomie rebus menjadi reload logistic
bagi perut kami.
Hujan
masih saja mengguyur meski rintik-rintik. Dan entah mengapa, jika kita telah
melewati suatu jalan untuk kedua kalinya akan terasa lebih pendek. Sekali lagi,
saya menikmati pemandangan di sekitar jalanan. Hingga pada tanjakan di puncak,
ketua kembali menepikan Red Devil. Sambil melihat ke belakang, saya tahu bahwa
ban motor kembali mengempis. “Duh, bocor halus!” begitu pikir saya. Akhirnya setelah
berdiskusi singkat, diambil opsi untuk mengganti ban saja sekalian. Memang,
ketua menepikan motornya ketika melihat tambal ban di pinggir jalan.
Sekitar
30 menit waktu kami yang berharga kembali hilang karena harus menunggu
pemasangan ban. Yaaah, hikmahnya baik Red Devil maupun kami bisa istirahat. Lalu,
saat semua beres saya berkata,”Switch?” Dan ketua menjawab,”Boleh.” Dan jadilah
saya yang kini melayani Red Devil.
Kondisi
masih saja hujan sehingga membuat puncak semakin gelap. Apalagi ada suatu
daerah di mana kabut mulai turun menyebabkan jarak pandang menyusut. Duh gusti,
jadi teringat perjalanan setelah hiking dulu. Namun yang saya lihat kabut ini sungguh
indah. Dengan kanan kiri berupa rumpun bambu dan kabut yang ada membuat sebuah
pertunjukkan yang unik. Terasa sedang menyeberang ke gerbang dimensi lain
hehehe. Saya, tentu semakin berkonsentrasi. Saya mengandalkan bagian tengah
jalan yang di pasang semacam logam yang akan menghasilkan cahaya jika terkena
lampu depan sepeda motor. Itulah pemandu saya karena melihat jalanan tidak
mudah. Untungnya, di puncak tidak hujan, hanya gerimis saja. Namun pernah pada
satu kesempatan koefisien gesek antara ban dengan jalanan berubah dari statis
ke kinetic yang menyebabkan slip ketika pada turunan tajam. Langsung saja saya
lepas rem demi membuat koefisien gesek kembali ke statis. Alhamdulillah lagi, kami
tidak terjadi apa-apa.
Di
Cianjur, kembali terjadi hujan yang sangat deras. Karena haus sekalian saja
saya buka mulut hehe. Lumayan bisa minum tanpa harus menepikan sepeda motor. Waktu
sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Saya pun berpesan kepada ketua
agar jika sampai jam sebelas belum sampai memberitahu saya untuk mencari
mushola terdekat supaya bisa menjamak sholat maghrib dan isya’. Dan memang
benar, pukul sebelas kami masih saja di jalanan Cianjur bahkan belum masuk ke
Padalarang. Sembari melemaskan pantat yang tepos kami pun sholat. Sepatu saya
sungguh basah, hingga saat wudhu saya sempat berpikir untuk tak perlu melepas
sepatu hahaha.
Setelah
itu perjalanan relative lebih lancar dan Red Devil bisa saya ajak berlari
kencang lagi. Jalanan Padalarang yang berkelak kelok namun kering sungguh
mengasyikkan untuk diarungi. Sayangnya, debu yang ada membuat sudut mata
saya menghasilkan kotoran mata yang
berwarna hitam. Agak pedas sih, tapi jika helm ditutup yang ada jalan tidak
kelihatan -_-
Sampai
di Bandung dengan selamat juga akhirnya—pukul 00.30 WIB hari Selasa. Allahuakbar,
walhamdulillah. Takbiran kami lakukan di perjalanan yang mengasyikkan. Sungguh perjalanan
yang mengesankan meski tak bisa dibilang tidak melelahkan. Dan dalam suasana
Hari Raya Haji ini saya berucap: Selamat Hari Idul Adha 1434 H. Selamat makan
sate :D
Yeah,
semua misi tercapai meski beberapa beberapa target pada saat yang bersamaan
harus berubah.
NB: Say No to geng motor tak bermoral!
NB(lagi): entah koneksi yang secepat keong atau kendala lain, gambar-gambar belum bisa saya publikasikan :(
NB: Say No to geng motor tak bermoral!
NB(lagi): entah koneksi yang secepat keong atau kendala lain, gambar-gambar belum bisa saya publikasikan :(
0 komentar:
Posting Komentar