Bismillah…
Sepertinya sekarang saya akan
punya(sekali lagi: sepertinya) minimal satu tulisan untuk tiap minggunya. Dan
semoga tulisan jenis ini cukup bemanfaat. Karena pada tulisan ini pada hakikatnya saya
hanya mencatat apa yang terjadi, atau lebih tepatnya sekedar catatan saja. Tak
ada andil saya di dalam materi tulisan kecuali sedikit. Juga tak ada maksud
untuk mem-publish hal ini kecuali
karena alasan antara saya dengan Rabb saya, kemudian agar kawan-kawan yang
tidak berangkat tidak ketinggalan materi. Juga untuk antum semua yang berkenan
mampir ke blog saya.
Oke, cukup intronya. Sekarang masuk
ke pembahasan. Seorang ikhwan yang baru datang bertanya,”Materinya tentang apa
Ustadz?” Maka beliau pun menjawab,
“Tentang Ilmu”
Pembagian Ilmu
Para ‘ulama membagi ilmu(biasanya
ilmu syar’i) menjadi 2, yaitu ilmu pokok (ushul)
dan ilmu cabang (furu’). Ilmu pokok biasanya mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan ‘aqidah sedangkan
ilmu cabang sebagian besar berbicara tentang ‘ibadah dan mu’amalah. Namun
tak mesti begitu, karena persoalan ‘aqidah
pun ada yang termasuk ilmu furu’.
Begitu pula ‘ibadah, ada yang
merupakan ilmu ushul. Dalam persoalan
ushul tak boleh ada ikhtilaf
sedangkan dalam masalah cabang diperbolehkan. Di antara masalah ‘aqidah yang furu’ :
-Keyakinan tentang
apakah ketika Rasul Isra Mi'raj itu ruhnya saja atau ruh dan jasadnya.
-Keyakinan tentang
apakah mayit yang telah dikubur bisa mendengar pembicaraan orang hidup atau tidak.
Di antara
masalah fiqih/’ibadah tapi ushul :
-Jumlah rakaat
dalam shalat fardhu.
-Tempat
dilaksanakannya ibadah haji.
[OOT: Misal jika
ada yang berpendapat Tuhan itu ada 3. Nah, pendapat ini sesat dan menyesatkan.
Namun mengenai pendapat tentang do’a qunut
dalam sholat, maka memang para ulama pun berbeda pendapat. Nah, jika
mengenai perbedaan yang ini kita harus saling menghormati. Silahkan baca
tentang ikhtilaf di sini. Inilah pentingnya menuntut ilmu, agar kita tak seenak
jidat meneriakkan ini bid’ah itu bid’ah atau ini kafir itu sesat. Juga agar
kita juga tak ragu untuk menyatakan syi’ah itu murtad]
Namun ingat, tak sepatutnya kita
memilah-milah ilmu. Apalagi memilah-milah amalan. Seperti jika ulama mengatakan
sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Karena pemilihan ini akan
membuat kita mempunyai perasaan yang tak patut. Seperti misalnya,”Halah, toh cuma
sunnah kok” Padahal, Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu
pernah berkata,
Ilmu
itu sedikit. Namun menjadi banyak karena manusia banyak yang jahil.
Maksudnya, ilmu itu sebenarnya
hanya cukup 2: Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun menjadi banyak karena manusia
sekarang semakin bodoh. Seperti misal untuk mempelajari Al-Qur’an tentu perlu
belajar bahasa arab, nahwu, sharaf, dan
teman-temannya. Maka fix, jenis ilmu pun semakin banyak. Seperti kita jika
ingin belajar termodinamika dari buku Pak Moran Shapiro, maka bahasa Inggris
mutlak perlu tahu. Begitu pula ilmu matematika, fisika, dan kimia dasar. Atau
lebih dasar lagi, kita harus bisa membaca. Jika buta huruf bagaimana antum akan
mengerti persamaan berikut?
Dan sekali lagi, sumber segala
ilmu adalah Al-Qur’an. Baik itu ilmu syar’I maupun ilmu kauni. Karena nama lain dari Al-Qur’an sendiri adalah Ummul Kitab. Dan syari’at pun telah
mengatur bahwa tidak semua orang mesti menjadi ‘ulama di bidang ilmu syar’I, sebagaimana
tak semua orang mesti paham cara kerja dan meknisme pembuatan radial engine. Namun syari’at tetap
mengatur bahwa setiap muslim wajib mengerti minimal tentang Rukun Islam dan
Rukun Iman. Ingat, mengerti. Tak hanya hapal. Dan ini pun perlu belajar. Sebagaimana
setiap orang juga wajib tahu caranya makan. Tak bisa terbayangkan jika
seseorang sholat maghrib 3,5 rakaat seumur hidupnya sedang dia tak mau mencari
tahu. Karena ketidaktahuan tentang sistem kerja motor bakar pada hukum asalnya
tak akan membuat kita berdosa sedangkan ketidaktahuan pembatal syahadat akan
menjadikan kita murtad.
“Manusia sangat berhajat pada ilmu lebih daripada hajat
mereka pada makanan dan minuman, karena manusia berhajat pada makanan dan
minuman sehari sekali atau dua kali akan tetapi manusia berhajat pada ilmu
sebanyak bilangan nafasnya”.(Imam Ahmad bin Hambal)
Dalam pandangan syar’I, tak
peduli apa gelar atau pangkatnya dia akan dianggap bodoh jika bermaksiat kepada
Allah. Dalilnya adalah
Yusuf berkata, “Wahai Tuhan-ku! Penjara
lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau
Hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi
keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.”(QS. Yusuf: 33)
Inti Ilmu
Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa
dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di
antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. **
Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.(QS Fathir:28)
------------------------------------------------------------------
**Orang-orang yang mengetahui ilmu kebesaran
dan kekuasaan Allah.
“ خشيةلا لعلم ا صلأ “
“Pokok dari ilmu adalah rasa takut”
Imam
Ahmad bin Hanbal
Ternyata inti dari segala ilmu
yang kita pelajari ini semata-mata hanya agar kita semakin takut dan tunduk
kepada Allah. Bahkan, ilmu kauni (ilmu alam atau eksak) itu jika diperdalam
akan membuat kita semakin dekat kepada Allah, dan konsekuensinya, semakin
membuat tunduk.
“Jika seseorang
ingin beriman, maka cukup ia perhatikan dirinya. Wilayah yang hanya seluas ibu
jari ini ternyata bisa menjadi special. Coba pikir, berapa milyar manusia namun
sidik jari mereka tetap berbeda? (Maka saya berandai-andai, apakah benar ‘tak-hingga
factorial’ itu ada?) Atau coba antum pikir, benda segede lidah ini, bisa
merasakan berapa rasa? Dulu ada saudara tetangga ana kecelakaan, syaraf indra
perasanya putus maka dia gak bisa merasakan lagi makanan(Para ikhwan bergidik,
tapi saya malah makin tertarik. Sepertinya ada yang tak beres juga dengan saya
-_-). Kalau kita kan beli makanan mahal itu karena sensasi rasanya kan? Kemudian,
jika tak bisa merasakan lalu bagaiamana hidup antum? Jadi hemat kali ya?”
sambung Ustadz Husni.
Dan ini ada
sedikit copasan dari status Ustadz Fadhli:
Menuntut ilmu syar'iy
merupakan pekerjaan yang mulia, bahkan ia adalah kewajiban bagi setiap muslim
mukallaf. Namun, tidak semua para penuntut ilmu akan mendapatkan kebaikan,
karena Rasulullah pernah bersabda :
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka”.
[Shahiih, HR. Tirmidzi no. 2654 dari Ka’ab bin Malik]
Juga sabdanya yang lain :
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ , لا يَتَعَلَّمُهُ إِلا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’iy yang semestinya ia lakukan untuk mencari Wajah Allah, namun ia tidak melakukannya melainkan hanya mencari keutungan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya aroma surga pada hari kiamat.
[Hasan Shahiih, HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Maajah, dan Ibnu Hibban]
Maka saudaraku, perhatikan kembali niat kita dalam menuntut ilmu. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan-Nya. Aamiin.
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka”.
[Shahiih, HR. Tirmidzi no. 2654 dari Ka’ab bin Malik]
Juga sabdanya yang lain :
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ , لا يَتَعَلَّمُهُ إِلا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang menuntut ilmu syar’iy yang semestinya ia lakukan untuk mencari Wajah Allah, namun ia tidak melakukannya melainkan hanya mencari keutungan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya aroma surga pada hari kiamat.
[Hasan Shahiih, HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Maajah, dan Ibnu Hibban]
Maka saudaraku, perhatikan kembali niat kita dalam menuntut ilmu. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan-Nya. Aamiin.
Sekedar Transfer Ilmu?
Sekarang, sering kita lihat ilmu
hanyalah sebagai ajang gagah-gagahan. Ada yang sekedar ingin mendapat gelar,
atau parahnya demi akhwat yang dikejar. Kalau begini, bagaimana bisa ilmu
membuat kita semakin takut pada Allah?
Meminjam kata ustadz, pendidikan
pada zaman ini hanya transfer ilmu pengetahuan saja dari satu otak ke otak yang
lain. Tak ada transfer kebijaksanaan. Seperti misalnya, pernahkah kita
bertanya,”Pak Dosen sholat tidak?” Dalam ilmu kauni memang tak terlalu masalah,
namun akan sangat bermasalah jika menyangkut ilmu dien. Karena tujuan ilmu dien—sekali
lagi—semata-mata untuk menambah ketundukan kepada Allah.
Sekarang, mari kita instropeksi
diri. Katanya ingin berbagi ilmu syar’I, berda’wah, namun tak memiliki ruhiyah
yang baik. Jika begini, tidakkah ilmu agama nantinya hanya mengendap sebagai
ilmu pengetahuan alih-alih sebuah amalan keseharian?
“Orang yang tidak memiliki, dia tidak akan
bisa memberi”
Pepatah
Arab
Sekulerisme Pendidikan
Dan
satu hal yang patut kita soroti, ternyata sekulerisme juga mencengkeram erat
pendidikan. Bahkan seorang kawan saya pernah berkata,”Gue gak suka orang yang
suka nyocokin ayat-ayat sama sebuah kejadian atau teknologi atau alam semesta. Biarin
agama dengan ranahnya sendiri, dan sains dengan wilayahnya sendiri pula.”
Wallahi, sakit hati saya melihat seorang kawan sudah tenggelam dalam racun
sekulerisme.
Dan bahkan kami sempat
mendiskusikan sesuatu yang akhirnya membuat kami terpana. Kita sudah sekolah 12
tahun, namun apa yang kita dapat? Membaca, menulis, dan berhitung. Yang
kesemuanya itu belum tentu berguna. Jika saya ingin menjadi seorang muslim yang
ahli dibidang mechanical engineering, kenapa
pula saya harus belajar bagian-bagian daun?
“12 tahun itu
tidak sebentar. Sekarang antum merasa gimana? Bahasa Inggris juga gak fasih,
apalagi Bahasa Arab. Kalau demikian, bukankah ini tandanya ada yang salah
dengan sistem pendidikan yang ada. Sistem yang ada telah membatasi seseorang
dengan potensi cemerlang untuk melejit karena harus mengikuti jenjang dan
menunggu teman-temannya. Sistem pula yang membuat seseorang stress karena
belajar sesuatu yang tidak wajib secara syar’I dan tidak menarik hati. Sekarang
mari kita lihat shahabat. Usmah bin Zaid, pada waktu berusia 18 tahun ketika
menjadi panglima perang yang memimpin para shahabat dalam proses penakhlukkan Persia.
Kalau antum, sudah memimpin apa?” Dan kami pun hanya bisa tertunduk
mendengarnya. Mau menjawab,”Pernah jadi ketua kelas ustadz” juga malah
kelihatan makin cupu.
“Jadi dalam
Islam itu tidak ada dikotomi antara usia dan pendidikan. Seperti kisah Umar
dengan anak kecil yang menjadi juru bicara bagi kaumnya. Sehingga QS. Al
Mujadilah ayat 11 benar-benar teraplikasikan dengan indahnya,” sambung ustadz.
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan Memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan Mengangkat (derajat) orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan
Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadilah: 11)
Ibnu Mas’ud berkata: Orang mukmin yang berilmu
memiliki tingkatan 700 derajat di atas orang mukmin. Jarak satu derajat dengan
derajat lainnya sama dengan500 tahun perjalanan.
Saya
jadi berpikir, Imam Syafi’I juga telah hapal Al-Qur’an pada usia 7 tahun. Namun
apakah beliau kehilangan kebahagiaan dan kemampuan fisiknya? Oh tidak, beliau
adalah ulama sekaligus pemanah dan penunggang kuda yang hebat. Beliau pun
pernah merasakan malam-malam ribath. Jadi, jika anak-anak sekarang yang kutu
buku biasanya lemah fisik itu tak ditemui dalam generasi awal Islam. Karena
Islam itu adil, sehingga tak pernah membatasi kemampuan umatnya. Mereka yang
memang berpotensi akan semakin cemerlang, dan yang kurang potensinya juga akan semakin
merasa tertantang.
Sarana Ilmu
Dan
Allah Mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia Memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu
bersyukur.(QS An-Nahl: 78)
Simpulan:
1. Ilmu
(syar’I) itu dibagi dua: Ushul & Furu’
2. Pokok
dari ilmu adalah untuk membuat semakin takut kepada Allah
3. Ilmu
Kauni seharusnya juga demikian
4. Sekulerisasi
pendidikan membuat umur terbuang sia-sia
5. Tiga
sarana lewatnya ilmu adalah telinga, mata, dan hati. Dan agar llmu mudah masuk,
maka kebersihan tiga organ ini mutlak harus dijaga
Wallahu’alam…
0 komentar:
Posting Komentar