“Apakah momen besar dalam hidup
antum semua?” tanya Ustadz. Materi pun dibuka dengan pertanyaan tersebut,
seolah tahu ‘penyakit’ mahasiswa sekarang yang gampang mengantuk jika
malam-malam begini perlu diajak sedikit berpikir(Wong di kelas siang hari saja sudah banyak yang terkapar dengan
alasan habis makan blablabla). Ketika saya hendak menyebut kematian, dari depan
terdengar…
“Menikah Ustadz!”
sahut seorang ikhwan.
Demi mendengar jawaban tersebut
Ustadz pun tersenyum(kami juga hehe), lalu tanpa menyalahkan beliau berdiri dan
mulai membuat sebuah garis yang membentuk suatu grafik. Di mana di ujung
kanan(dengan tulisan arab) beliau tuliskan hayaat(hidup/lahir)
dan ujung kirinya mamaat(mati). Beliau
berkata, bahwa ada dua momen yang sangat besar dalam kehidupan kita sebagai
manusia—atau minimal dua. Yaitu LAHIR dan MATI.
Kemudian beliau mengutip suatu
hadits, Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda:
أَعْمَارُ
أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ
يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur
umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.”
(Dihasankan
sanadnya oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 11/240)
Maksudnya, rata-rata umur
manusia pada zaman kita ini rata-rata di kisaran angka tersebut. Lalu beliau
bertanya lagi,”Siapa yang umurnya sudah 30 tahun?” Alhamdulillah yang para
mahasiswa tidak ada yang mengangkat tangan. Yang bapak-bapak pada mengangkat
tangannya. “Wah, antum yang sudah tiga puluhan tinggal setengah ini jatah
hidupnya,” sambung beliau. Setelah itu di sumbu-Y sebelah kanan—di atas kata
hayaat—beliau tuliskan kata lemah dho’iif(lemah)
dan ujung kirinya pun kata yang sama, sedang di tengah-tengahnya dibuat sumbu-Y
baru dan diberi tulisan quwwah(kuat).
Nih grafiknya :) |
Beliau
melanjutkan, jika pada usia tiga puluhan sebagai pertengahan “jatah” hidup
rata-rata manusia merupakan puncak produktivitas manusia. Dan produktif di sini
bukan hanya produktif bikin anak saja(menanggapi celetukan ikhwan yang sudah
menikah di sebelah kanan). Namun lebih dari itu, di sinilah usia di mana
kematangan seorang manusia dan saat paling tepat untuk berinvestasi. Investasi yang
akan menunjukkan kualitas kita sebagai seorang mukmin. Dan sedikit OOT, saya
jadi teringat perkataan salah satu pelatih saya,”Usia puncak orang beladiri itu
usia tiga puluhan awal. Di mana kekuatan fisik bertemu kematangan teknik dan
dikendalikan oleh kedewasaan emosi.”
Lalu dikutipkan kembali sebuah
hadits yang tentu sudah sangat familiar untuk kita dengar:
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا،
قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ
أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
Hadits dihasankan oleh al-Albani di
dalam Shahihul Jami’ (no. 3289).
Hubungan hadits di atas dengan
hadits sebelumnya adalah mengenai bagaimana kita harus memaksimalkan potensi
kita untuk selalu berbuat yang terbaik bagi orang lain—bagi umat. Atau lebih
besar lagi bagi aqidah keislaman kita. Karena maksud investasi seperti tersebut
di atas adalah tentang menjadi sebaik-baik manusia dalam pandangan Allah
kemudian Rasul-Nya.
“Sesungguhnya
orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai
orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan
besar, serta tidak akan pernah mati kebaikannya,”
SAYYID
QUTHB
Sebagaimana bisa dilihat dari
perkataan Sayyid Quthb di atas, demikianlah hakikat kehidupan kita. Apakah kita
hanya ingin lahir, jadi anak kecil, remaja, sekolah, kuliah, kerja(atau nikah
dulu buat yang udah mampu waktu masih mahasiswa), nikah, punya anak, terus
mati? Jika demikian, memang benar umur kita hanya sekitar 60-70 taun. Dan meski
kita lihat itu cukup panjang namun sebenarnya sangat pendek apabila
dibandingkan dengan umur peradaban manusia itu sendiri. Akhirnya, setelah mati
mungkin hanya sampai cucu kita hidup(maksudnya ingatan akan diri kita).
Sekarang bandingkan dengan para ‘ulama,
seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, atau Imam Asy-Syafi’i. Sudah berapa ratus
tahun mereka wafat? Namun sampai sekarang mereka masih hidup. “Bahkan mungkin
di antara antum ada yang suka tidur bersama mereka. Namun sayangnya sekedar
tidur, tidak belajar dari mereka. Yaitu dengan kitab para ulama sebagai
pajangan saja. Keren kan, tidur bersama para ulama?” kata beliau. Ya, memang
begitulah hakikat mereka. Mereka telah tertulis dalam lembaran sejarah dan
mereka masih hidup hingga saat ini. Pahala pun mengalir deras disebabkan
ilmu-ilmu mereka masih diajarkan di setiap majelis ilmu. Namanya masih sering
disebut pada banyak halaqah keislaman. Meminjam istilah para ulama, mereka
mempunyai umur yang kedua.
Jasadnya sudah berkalang tanah,
namun pengaruhnya dalam hati masih
terasa.
Ali bin Abi Thalib
Sekali lagi begitulah mereka. Hingga
bahkan—contohnya—ketika Ibnu Taimiyyah dipenjara, orang-orang pun berkata,”Sekarang
ilmu sedang terpenjara. Siapapun yang menginginkan ilmu, hendaklah sekarang ia
masuk ke dalam penjara”. Dan waktu itu, berbondong-bondonglah manusia berusaha
masuk ke penjara hanya demi mengikuti majelis ilmu Ibnu Taimiyyah. Memang
begitulah kehidupan dan kesudahan orang yang selalu berkarya bagi umat. Sebagaimana
juga ungkapan shahabat yang mulia Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu— dan semoga la’nat Allah untuk Syi’ah yang
menghina beliau—terhadap shahabat Khalid bin Walid ketika memuji dan mengakui
kejeniusan Khalid bin Walid dalam strategi perang di Persia(moyangnya orang Syi’ah)
yang luar biasa:
“Wahai
sekalian kaum Quraisy, sesungguhnya ‘singa’ kalian telah mengalahkan singa yang
sesungguhnya, lalu ia merobek-robek dagingnya. Tak akan ada lagi wanita yang
mampu melahirkan sosok seperti Khalid bin Walid.”
Demikianlah
sejarah selalu menuliskan nama orang-orang besar. Dan orang yang besar adalah
orang-orang yang selalu berjuang untuk Islam, sebagaimana para shahabat dengan
julukannya masing-masing seperti Ash-shiddiq, Al-Faruq, Saifullah, dan
sebagainya. Tak pernah tertulis Fulan bin Fulan Sang Mahasiswa-Peraih-IPK-4-yang-Pandai-Main-Gitar-lalu-Bekerja-di-Perusahaan-Multinasional-Beristrikan-Akhwat-Cantik-Beranak-Dua-Karena-Patuh-pada-Program-KB-lalu-Meninggal-Dengan-Damai-di-Atas-Kasur-Empuk-lalu-di-Makamkan-di-Pemakaman-Umum.
Sejarah tak pernah menuliskan hal-hal remeh seperti itu. Karena sejarah
memiliki ciri khasnya.
Lembaran
sejarah itu sedikit.
Tidak
ditulis dalam lembarannya kecuali orang-orang yang pantas.
Syaikh
‘Abdullah Azzam.
“Untuk
menguji diri antum, coba antum ketik nama antum di google. Kira-kira yang
keluar apa? Yang baik-baik atau yang buruk? Kalau tiba-tiba ‘Wanted’ kan payah
juga. Mending kalau ‘wanted’-nya gara-gara dalam rangka iqomatuddin, lha kalau dicari KPK kan memalukan juga?
Sekarang bandingkan jika antum mengetikkan nama Ibnu Katsir. Wah, Wikipedia aja
pasti panjang kan?” begitu retorika ustadz kepada kami.
Dan
untuk berkarya bagi umat, jalan yang ditempuh tidaklah mudah. Sebagaimana
perkataan Ibnul Qayyim mengenai qaanuun
al-ladzah(Hukum Kenikmatan):
Kenikmatan adalah sesuatu yang dicari oleh manusia, bahkan oleh setiap
makhluk hidup. Kenikmatan ini secara asal tidaklah tercela. Namun, kenikmatan
menjadi tercela apabila ia menyebabkan hilangnya kenikmatan yang lebih besar
dan lebih sempurna. Atau, ketika mendapatkannya mengakibatkan derita yang lebih
besar dari pada derita ketika tidak mendapatkannya.Di sinilah akan tampak perbedaan antara orang yang berakal cerdas dan orang yang bodoh. Ketika orang yang cerdas mengetahui perbedaan antara dua kenikmatan ini, ia paham betul bahwa keduanya ini tidak bisa dibandingkan. Ia akan sangat ringan untuk meninggalkan kenikmatan yang lebih rendah untuk mendapatkan kenikmatan yang paling mulia. Ia juga akan rela menanggung derita yang lebih ringan untuk menghindari derita yang sangat berat.
Apabila kaidah ini kita pahami, maka kenikmatan akhirat itu lebih besar dan kekal. Adapun kenikmatan dunia itu rendah dan begitu sebentar. Demikian pula derita akhirat dan derita dunia.
Ini semua kembalinya kepada keimanan dan keyakinan. Apabila keimanan menancap kuat, qalbu akan memilih kenikmatan yang lebih tinggi dari pada yang lebih rendah. Dia sabar menanggung derita yang lebih ringan (derita dunia) untuk menghindari derita yang lebih besar (derita Akhirat).
Sumber: Al Fawaid karya
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Karena dalam sebuah hadits,
disebutkan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi
orang kafir. Jadi, memang di dunia seorang mukmin akan lebih sering menemui
hambatan-hambatan dalam menjalankan visi dan misinya. Lalu beliau mengutip
syair imam Asy-Syafi’i:
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan
kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh
menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak
ubahnya seperti kayu biasa
Jika didalam hutan.
(Syair
dari Imam Syafi’i)
“Salah dalam memandang
kehidupan, maka akan salah dalam menjalani kehidupan. Jangan hanya aspek
ilmiah, namun perhatikan juga aspek amaliyah,” begitu sambung ustadz.
“Orang yang bisa melampaui kebanyakan
manusia dalam persoalan ilmu, hendaklah ia juga bisa melampaui manusia dalam
persoalan amal”
Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri
Dan ta’lim semalam ditutup dengan
sebuah hadits diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Majah dari Umar,
“Ketika
kami sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba muncul seorang shahabat Anshar.
Setelah mengucap salam kepada beliau, ia bertanya, “Rasulullah, siapakah orang
mukmin yang terbaik itu?” Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya”. Ia
bertanya, “Siapakah orang mukmin yang paling pintar?” Beliau menjawab, “Yang paling sering ingat kematian dan yang
punya persiapan terbaik untuk menyambut apa yang terjadi sesudahnya. Mereka
itulah orang yang paling pintar”
Note: Bagi yang merasa ada kesalahan,
silahkan memberikan sarannya. Saya menuliskan ini semua berusaha tiada maksud
lain kecuali menyebarkan kebaikan. Jazakumullah Khair :)
:) dari segi bahasa bagus bingit daah :D
BalasHapusisinya juga berbobot..berarti bener2 dengerin ini pas ta'lim :D
terimakasih atas tanggapannya :)
Hapus