Jumat, 07 Maret 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , , , , ,


Bismillah…
               
Setelah halaqah ke-5 yang gagal hadir karena—ah sudahlah, tidak perlu dibahas. Kini, saya “haturkan” catatan halaqah ke-6 saya. Meskipun suram juga, karena baru bisa diketik sekarang.

Materi pada halaqah kali ini saya kira masih terkait dengan ilmu—hakikat ilmu. Dan pertemuan pun dibuka oleh ustadz dengan tanya jawab antara Syaikh Utsaimin dengan seseorang.

Q: “Bagaimanakah dengan keadaan seseorang yang menyadari bahwa ada penyakit ilmu (maksudnya lupa) dalam dirinya? Perkara apa saja yang dapat memberikan kita pertolongan untuk kuat dalam menghapal?”
A: “Di antara metode yang paling baik untuk membantu memiliki dan menjaa ilmu yang di dada adalah hendaklah manusia mengupayakan hidayah dengan ilmunya. Jika seorang yang alim mengamalkannnya maka Allah akan menambahkan baginya ilmu dan memberikan padanya ketaqwaan(lihat QS. Muhammad 47: 17 dan QS. Al-Baqarah 2: 282).

      [OOT, tentang hapal menghapal dan ingat mengingat saya jadi teringat sebuah kisah. Kisah ini terjadi pada seorang syaikh yang ditanya tentang sebuah persoalan. Seorang pemuda yang ingin bertaubat menemui Syaikh ‘Arifi. Pemuda itu taubat dari melakukan hubungan di luar mahram sebelum ada ikatan pernikahan, alias pacaran.


Ketika bertemu dengan syaikh dia berkata,”Wahai syaikh, Alhamdulillah… aku menyesal atas apa yang aku perbuat selama ini dan aku ingin taubat.” “Tapi ada satu hal yang sulit aku lupakan ya syaikh, aku sulit melupakan kekasihku yang selama ini aku pacari.” lanjutnya.

Syaikh ‘Arifi kemudian menasehatkan kepadanya untuk berdoa dengan sebuah doa yang insya Allah dapat menghapus ingatan tentang kekasihnya tadi.

Maka dikatakanlah kepada pemuda tadi,”Berdoalah dengan doa..!!! Ya Allah penuhilah iman di dalam hatiku, penuhi iman di dalam pendengaranku, penuhi iman di dalam penglihatanku, dan terangilah jalanku dengan iman.”

Pemuda itupun langsung terdiam. Lantas berkata kepada syaikh,”Ya syaikh, tahukah engkau, nama kekasihku itu “iman”. Mendengar itu, Syaikh ‘Arifi pun tertawa. Sumber: http://www.kiblat.net/2014/02/25/syaikh-arifi-pun-tertawa/ ]

Kemudian langkah-langkah untuk menghindari penyakit lupa adalah:

1.       Hendaklah seseorang berkomitmen dalam menghapal dan mengulang-ulang

2.       Hendaklah menghadirkan hukum dan dalil dalam setiap amalan. (maksudnya, ketika akan melakukan sesuatu coba ingat-ingat apa dalil atas perbuatan tersebut, dan bagaimana penyikapan ulama dalam menarik hukumnya. Adakah khilafiahnya, misal. Ini akan melatih kita untuk terus mengamalkan ilmu kita)


3.       Hendaklah membebani diri dengan menuntut ilmu, sehingga janganlah ia menjadikan menuntut ilmu pada sisa waktu saja. (JLEB!)”

Kemudian ustadz pun bercerita kisah seorang tabi’in yang bernama Atha’ bin Abi Rabah. Bagaimana kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu pada masa perbudakannya, lebih-lebih pada masa merdekanya. Hingga akhirnya beliau menjadi Mufti Masjidil Haram menggantikan Ibnu Abbas. Masyaa Allah…


“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum karena kitab ini (yakni Al-Quran)
dan merendahkan kaum lainnya dengannya.”

[H.R. Muslim no. 817 dari shahabat Umar bin Al-Khaththab radhiallahu’anhu)


Hadits di atas merupakan dikutip oleh ‘Umar ketika mengomentari Ibnu Abza’. Kisahnya sebagai berikut:

Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Al Khattab) di daerah ‘Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’).

Umar bertanya, “Siapa yang engkau jadikan penggantimu—sementara waktu—bagi penduduk Mekah?”

Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.”

Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”

Nafi’ menjawab, “Seorang budak.”

Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang budak [?]“

Nafi’ mengatakan, “Sesungguhnya budak tersebut adalah seorang hafizh Al-Qur’an dan sangat mengilmui faraidh (yakni hukum-hukum islam)”

Kemudian Umar berkata dengan mengutip hadits di atas.

Menurut suatu riwayat, Ibnu Abza membagi waktunya dalam sehari menjadi 3. Yang pertama untuk beribadah pada Allah. Yang kedua untuk bekerja pada majikannya(karena beliau seorang budak). Dan yang ketiga untuk menuntut ilmu.  

                Mungkin ustadz berpikir kami mulai mengantuk, maka dikutiplah oleh beliau perkataan ulama—masih tentang budak:

“Jadilah kalian para istri budak-budak bagi suami kalian,
maka kalian akan bisa memperbudak mereka”

Ternyata beliau tidak hanya sedang ingin bercanda, namun berkata,”Begitu pula dengan ilmu. Jadilah kalian budak ilmu pengetahuan agar kalian menguasainya Ya Akhi…”

“Bahkan saat Ibnu Taimiyyah sakit, ada seorang tabib yang datang. Oleh Syaikh ditanya,’Tabib, benarkah jika seorang yang mendapati dirinya sakit lalu bertemu dengan yang dicintainya maka akan sembuh(ringan) sakitnya?’. Dijawab oleh tabib,’Iya’ maka Ibnu Taimiyyah pun berkata,’Jika demikian maka sekarang aku akan belajar!’ Demikianlah kecintaan para ulama terdahulu akan ilmu. Kalau kita bagaimana Akh?” Kata ustad.

                Bahkan pernah seseorang bertanya kepada Syaikh Utsaimin,”Manakah yang lebih utama? Menuntut ilmu atau tidur agar malamnya dapat shalat malam?” Maka dijawab,”Menuntut ilmu itu lebih utama dari tidur agar bisa shalat malam. Karena kata Imam Ahmad: Ilmu itu keutamaannya tak ada yang bisa menyamai asal niatnya benar. Yaitu dia ingin mengangkat kebodohan yang ada pada dirinya dan orang lain dengan menuntut ilmu tersebut. Namun yang paling utama tetaplah engkau mengerjakan keduanya.

                Lalu ustadz menceritakan sebuah kisah tentang Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Pada waktu itu, secara structural Imam Syafi’I merupakan guru Imam Ahmad. Namun dasar akhlaq ulama, beliau ini sudi bertamu ke rumah salah seorang yang “hanya” muridnya yaitu Imam Ahmad. Anak Imam Ahmad pun berkata,”Oh, jadi ini ya ulama besar yang sering diceritakan oleh bapakku. Hmm, aku akan melihat seperti apa amalannya malam ini!”

                Semalaman anak Imam Ahmad memperhatikan amalan Imam Syafi’i. Namun betapa bingungnya saat pagi dia dapati Imam Syafi’I pada malam hari tidak shalat malam melainkan hanya berdiam di kamar, waktu shalat shubuh enak-enak tidak wudhu, dan waktu sarapan makannya buuuuaaaaanyaaaaak banget. Mengadulah ia pada bapaknya,”Ayahku, demikiankah amalan seorang Imam yang kata engkau berderajat tinggi?!” Dijawab oleh Imam Ahmada dengan tersenyum,”Anakku, kenapa tak kau tanyakan sendiri padanya?”

                Ternyata, inilah jawaban Imam Syafi’I,”Aku tadi malam tidak qiyamul lail karena aku sedang memikirkan seribu faidah akan hadits nu’man dan burungnya. Adapun aku tidak wudhu ketika shalat shubuh, karena aku memang belum batal semenjak isya’. Dan mengenai makanku, aku tahu ayahmu adalah orang terbaik yang ada di dunia ini. Bagaimana pula aku rela menyia-nyiakan berkahnya pada makanannya yang pasti thayyib dan halal anakku?” Dan putra Imam Ahmad pun tercengang atas jawaban dari seseorang yang ilmunya jauh di atasnya ini.

                “Kenapa kita harus mencari ilmu sedemikian rupa? Karena ilmu Ya Akhi, yang membedakan kita dengan orang lain. Seseorang itu akan tahu apa yang baik dan yang buruk dengan ilmu bukan?” tanya ustad retoris.

“Engkau tidak akan dapati yang haq pada orang per orang.
 Namun kenali dulu apa itu kebenaran maka engkau akan tahu orang-orang yang di atasnya”
Ali bin Abi Thalib

0 komentar:

Posting Komentar