Jumat, 21 Maret 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,


                Waktu saya masih SD, SMP, dan SMA buku tulis yang saya gunukan belumlah berbentuk binder. Namun buku tulis biasa dengan merk yang sudah sangat familiar di bumi nusantara ini: S*nar D*nia. Nah, sekarang jika Anda tak keberatan silahkan ambil buku tersebut, pegang dengan erat, dan mulai bersiap akan tulisan saya hari ini.

                Hal pertama yang perlu Anda adalah membukanya, dan melihat kalimat-kalimat bijak yang ada di bawahnya. Pada salah satu halaman (halaman kedua biasanya) akan tertulis:


sumber: http://triwahyudi.com/wp-content/uploads/experience-is-the-best-teacher-183x300.jpg




Betul kan? Betul, karena tidak pernah memberikan PR katanya.



Benarkah Seperti Itu?

                Kalimat di atas semakin terasa kebenarannya karena pada halaman berikutnya tertulis:


“You’ll never know till you have tried”


Lalu saya bertanya,”benarkah seperti itu?”

                Saya mulai bisa mengendarai sepeda motor ketika kelas 6 SD—dengan asistensi sepupu dan tanpa sepengetahuan orang tua tentunya. Semua berjalan dengan baik, hingga pada suatu Hari Minggu ketika saya kelas 1 SMP seperti biasa mendapat tugas untuk membeli koran di pinggir jalan. Biasanya saya jalani ini sekalian dengan bersepeda pagi. Namun melihat ada sepeda motor ibu saya terpakir di luar malah jadi pengen nyobain. Ya sudah, sukses. Orang tua yang melihat saya sudah bisa mengendarai sepeda motor tersebut akhirnya sedikit demi sedikit mulai membolehkan saya memakainya. Sampai di sini kalimat “You’ll never know till you have tried” terasa kesaktiannya.

                Hingga saat kelas 2 saya dipaksa orang tua untuk ikut les Bahasa Inggris (inilah les terakhir yang saya ikuti, eh sekarang malah kerja sambilan jadi guru les hehe). Karena les-nya malam hari, saya diijinkan untuk selalu memakai sepeda motor. Lucunya, entah kenapa saya dahulu begitu malas memakai helm padahal ibu sudah me-wanti-wanti. Mungkin takut wajah ganteng saya tidak kelihatan kali ya?

                Nah, suatu malam hujan turun dengan sangat lebat. Sudah di jalan, kepalang tanggung pula. Karena belum tahu bahwa hujan itu membawa rahmat—dalam artinya yang paling harfiah, hingga Rasul pernah sengaja hujan-hujanan demi mengambil berkahnya—dan doktrin dari orang terdahulu jika hujan membuat pilek, saya pun seolah menjadi Stoner dengan Ducati-nya. Padahal sepeda motor saya hanya 100 cc (belum punya yang 150 cc hehe). Hingga pada suatu tikungan, seperti motornya Kak Stoner yang ada masalah di belokan, begitu pula motor saya. Jika Kak Stoner gara-gara setingan motornya, maka saya gara-gara setingan jalan(berpasir) dan otak(masih tolol waktu itu). Jadilah saya terjatuh dengan keras—bahasa Semarangan-nya ngglangsar. Mesin sempat mati, dan ketika sampai di rumah ternyata saya baru tahu bahwa dahi saya keluar kecapnya, tentu dengan luka wajib di lutut, siku, dan bahu yang bahkan jaket saya sampai sobek.

Ibu saya sampai nangis melihatnya sedangkan bapak hanya bilang(dengan bahasa jawa dan agak cengengesan),”Anak laki-laki kan? Gara-gara tingkah laku sendiri kan? Kalau sampai nangis jangan pernah naik motor lagi ya.”

                Dengan cengengesan juga saya bilang,”Santai Pak hehehe…” Dan FYI, sepeda motor itulah yang kini menemani saya menerjang jalanan kota Bandung. Sudah 14 tahun usianya hehe.

                Nah, setelah itu saya jadi paham manfaat ber-helm. Saya sungguh jarang untuk mengendarai sepeda motor tanpa helm—kecuali waktu nebeng dadakan hehe. Di sini terlihat bahwa kata-kata Kaprodi saya lebih tepat:


“Pengalaman adalah guru yang paling kejam.
Karena ia memberikan ujian terlebih dahulu sebelum memberikan pelajaran.”


Apakah Harus Selalu Dicoba?

                Menurut Anda, baikkah jika kita mengkonsumsi narkoba? Baik? Wah, ya sudah deh.

                Ehm, begini saja deh. Andaikan Anda belum pernah belum pernah memakainya dan berkata bahwa itu buruk, maka saya tanyakan,”Darimana anda tahu?”

                Tentu Anda tak perlu menjawabnya. Hanya sekedar pertanyaan retoris saja kok. Jadi jika begitu kalimat yang You’ll blablabla di atas tidak benar dong? Ya, tidak benar.


Kenapa?

                Saya pernah mendapat mendapatkan kutipan sebagai berikut:


“Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mampu belajar dari pengalamannya.
Orang yang cerdas adalah orang yang mampu belajar dari pengalamannya.
Orang yang bijak adalah orang yang mampu belajar dari pengalaman orang lain.”

                Namun memang ada hal-hal di dunia ini yang sangat membutuhkan pengalaman. Salah satunya engineering. Anda tentu pernah menonton video tentang jembatan yang diterpa angin lalu meliuk-liuk dan akhirnya ambrol itu kan? Halah, yang di Amerika itu lho. Dalam perancangan jembatan itu, para perancangnya telah menghitung bahwa jembatan itu kuat untuk dilewati kendaraan. Jadi, secara scientific (saat itu) tak ada masalah dong? Namun, mereka melupakan satu aspek penting: resonansi.

 Resonansi terjadi ketika frekuensi sumber atau gaya eksitasi (dari luar gampangnya) sama dengan frekuensi pribadi sistem (dibawakan oleh rumus √(K/M) ).  Misal frekuensi pribadi Anda music dangdut, maka Anda tak akan bergoyang ketika mendengar music metal—atau paling ngangguk-ngangguk sedikit. Namun ketika saya putarkan music dangdut (sebagai gaya eksitasi, jika pada jembatan kalau tidak salah adalah frekuensi angin), Anda pun menggila. Begitu pula mechanical system. Agak OOT, susah banget lho ilmu tentang getaran ini apalagi jika komponennya juga bergerak hehe.

                Oleh karenanya pengalaman sangat penting dibidang engineering. Bagaimana penentuan safety factor untuk wire rope pada sistem katrol crane. Itu semua berdasarkan pengalaman. Mungkin ada sainsnya sebenarnya, namun belum ditemukan karena belum ada penelitiannya. Seperti tentang resonansi itu. Baru sangat terlihat gunanya ketika ternyata frekuensi pribadi begitu penting. Jadi memang sains dan teknik itu saling melengkapi.


“Engineering adalah kombinasi dari Science dan pengalaman.
Karena tidak semua masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan Science saja.”
-Pak Zainal-


                Intinya, ada hal-hal di dunia ini yang cukup layak untuk kita rasakan—juga tanggung akibatnya. Tetapi ada pula hal-hal lain yang cukup kita yakini—karena kita tidak siap untuk menanggungnya. Oleh karenanya itu kenapa kita diberi otak sepaket dengan logika, bukan hanya perasaan. Karena tidak semua hal harus kita rasakan untuk kita pahami, melainkan ada pula hal-hal tertentu yang cukup kita pikirkan untuk dapat memahaminya.

                Bukan begitu kawan? ;)

0 komentar:

Posting Komentar