Jeruk adalah mahasiswa baru di
suatu perguruan tinggi yang dianggap cukup bagus di Bandung: ITB. Sejak dahulu
dia hanya bisa bermimpi untuk bisa berjalan tanpa arah sepanjang Indonesia
Tenggelam dengan maksud cuci mata
melihat para mahasiswi fakultas sekitar sambil menikmati indahnya Gunung
Tangkuban Parahu. Melepas penat di selasar Masjid Salman sambil
terkantuk-kantuk. Atau sekedar mengagumi kata-kata dosen di kelas yang unik dan
artistic. Semua yang dulu hanya impian, kini benar-benar terjadi. Benar-benar
dialami.
Hingga tidak heran jika saat
pulang kampung ia begitu berbangga dengan kampusnya. Seluruh atribut yang
menampakkan ke-ITB-an ia pakai. Jeruk mencemooh teman-temannya yang memang
tidak memilih ITB. Ia berkata bahwa teman-temannya salah pilihan. Ia menganggap
bahwa ITB adalah perguruan tinggi terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Baginya,
ITB adalah segalanya.
Hingga suatu ketika ada
seseorang yang menunjukkan apa itu MIT, Harvard University, dan lainnya.
Berdasarkan fakta bahwa perguruan tinggi tersebut memang menempati urutan
tinggi di ranking internasional. Namun dia tetap keukeuh bahwa yang lain tetap jelek. Dia sudah buta bahwa di atas
langit selalu ada langit.
Lalu Apa?
Seringkali
hal di atas bisa diartikan secara harafiah. Bahwa ada anak-anak baru yang
merasa sudah menjadi pemuda terbaik dengan hanya bisa memakai Jas Almamater ITB
di Sabuga. Padahal dia belum membuktikan sedikit pun pada bangsanya, bahkan
pada kampusnya. Siapa yang menjamin euphoria tersebut akan bertahan ketika dia
tahu bahwa nilainya tak lebih dari C di setiap mata kuliah?
Namun sekarang, saya akan
mencoba menyoroti hal di atas sebagai analogi saja. Kita anggap bahwa kampus
sebagai harakah keislaman. Maka kecintaan dan kebanggaan berlebihan padanya
akan melahirkan petaka lebih besar daripada sekedar kebodohan dan kekonyolan Si
Jeruk: Ashobbiyah. Inilah penyakit
paling menjijikkan dari para aktivis dakwah.
Yang bahkan ketika diberitahu dengan dalil maupun logika bahwa
para qiyadahnya telah melakukan kesalahan dalam ijtihad tetap saja keukeh bahwa mereka yang benar. Jika
para aktivis itu orang-orang bodoh maka bolehlah, tapi seringkali corak kental
harakah tersebut mewarnai para aktivis yang telah mencecap pendidikan tinggi.
Karena sempitnya pergaulan akan menjadikan sempit pemikiran.
Bahkan menumpulkan timbangan kebenaran yang selalu digembar-gemborkan:
Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman manhaj salaf. Bahkan seringkali
seolah menjadikan harakah sebagai agama dan para qiyadah sebagai nabinya.
Note:
Tulisan di atas merupakan hasil obrolan dengan salah satu Ustadz saya. kemudian
beliau saya tanya,”Apakah Antum yakin bahwa harakah yang Antum tempati sekarang
merupakan yang terbaik?”
“Ana
tidak tahu. Yang ana yakini ada sebuah golongan yang disebut Tha’ifah Mansurah, merekalah yang
dijamin keselamatan manhajnya. Dan Antum kiranya sudah tahu siapa-siapa saja
mereka.”
“Lalu,
apakah Antum termasuk di antara mereka?”
“Ana
juga tidak tahu. Namun harus dipahami Akh, seringkali kita tidak bisa termasuk
suatu golongan bukan karena tidak mau, namun karena memang kita belum layak
masuk ke sana. Jadi ketika kita tidak termasuk suatu kelompok bukan berarti
kelompok kita yang lebih baik, tetapi lebih karena kita tidak mampu untuk masuk
ke kelompok tersebut. Seperti misal Antum mau masuk MIT mungkin dulunya?”
“Hahaha…”
saya hanya bisa tertawa karena saat SMA saya tidak tahu apa itu MIT. Taunya ya
UI, UGM, Undip, dan ITB.
“Menurut
ana, pemikiran seperti ini lebih selamat daripada terjebak dalam penyakit
ashobbiyah yang membuat bodoh.”
0 komentar:
Posting Komentar