Sabtu, 31 Mei 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


                Jeruk adalah mahasiswa baru di suatu perguruan tinggi yang dianggap cukup bagus di Bandung: ITB. Sejak dahulu dia hanya bisa bermimpi untuk bisa berjalan tanpa arah sepanjang Indonesia Tenggelam  dengan maksud cuci mata melihat para mahasiswi fakultas sekitar sambil menikmati indahnya Gunung Tangkuban Parahu. Melepas penat di selasar Masjid Salman sambil terkantuk-kantuk. Atau sekedar mengagumi kata-kata dosen di kelas yang unik dan artistic. Semua yang dulu hanya impian, kini benar-benar terjadi. Benar-benar dialami.

                Hingga tidak heran jika saat pulang kampung ia begitu berbangga dengan kampusnya. Seluruh atribut yang menampakkan ke-ITB-an ia pakai. Jeruk mencemooh teman-temannya yang memang tidak memilih ITB. Ia berkata bahwa teman-temannya salah pilihan. Ia menganggap bahwa ITB adalah perguruan tinggi terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Baginya, ITB adalah segalanya.

                Hingga suatu ketika ada seseorang yang menunjukkan apa itu MIT, Harvard University, dan lainnya. Berdasarkan fakta bahwa perguruan tinggi tersebut memang menempati urutan tinggi di ranking internasional. Namun dia tetap keukeuh bahwa yang lain tetap jelek. Dia sudah buta bahwa di atas langit selalu ada langit.


Lalu Apa?

                Seringkali hal di atas bisa diartikan secara harafiah. Bahwa ada anak-anak baru yang merasa sudah menjadi pemuda terbaik dengan hanya bisa memakai Jas Almamater ITB di Sabuga. Padahal dia belum membuktikan sedikit pun pada bangsanya, bahkan pada kampusnya. Siapa yang menjamin euphoria tersebut akan bertahan ketika dia tahu bahwa nilainya tak lebih dari C di setiap mata kuliah?

                Namun sekarang, saya akan mencoba menyoroti hal di atas sebagai analogi saja. Kita anggap bahwa kampus sebagai harakah keislaman. Maka kecintaan dan kebanggaan berlebihan padanya akan melahirkan petaka lebih besar daripada sekedar kebodohan dan kekonyolan Si Jeruk: Ashobbiyah. Inilah penyakit paling menjijikkan dari para aktivis dakwah.

Yang bahkan ketika diberitahu dengan dalil maupun logika bahwa para qiyadahnya telah melakukan kesalahan dalam ijtihad tetap saja keukeh bahwa mereka yang benar. Jika para aktivis itu orang-orang bodoh maka bolehlah, tapi seringkali corak kental harakah tersebut mewarnai para aktivis yang telah mencecap pendidikan tinggi.

Karena sempitnya pergaulan akan menjadikan sempit pemikiran. Bahkan menumpulkan timbangan kebenaran yang selalu digembar-gemborkan: Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman manhaj salaf. Bahkan seringkali seolah menjadikan harakah sebagai agama dan para qiyadah sebagai nabinya.


Note: Tulisan di atas merupakan hasil obrolan dengan salah satu Ustadz saya. kemudian beliau saya tanya,”Apakah Antum yakin bahwa harakah yang Antum tempati sekarang merupakan yang terbaik?”

“Ana tidak tahu. Yang ana yakini ada sebuah golongan yang disebut Tha’ifah Mansurah, merekalah yang dijamin keselamatan manhajnya. Dan Antum kiranya sudah tahu siapa-siapa saja mereka.”

“Lalu, apakah Antum termasuk di antara mereka?”

“Ana juga tidak tahu. Namun harus dipahami Akh, seringkali kita tidak bisa termasuk suatu golongan bukan karena tidak mau, namun karena memang kita belum layak masuk ke sana. Jadi ketika kita tidak termasuk suatu kelompok bukan berarti kelompok kita yang lebih baik, tetapi lebih karena kita tidak mampu untuk masuk ke kelompok tersebut. Seperti misal Antum mau masuk MIT mungkin dulunya?”


“Hahaha…” saya hanya bisa tertawa karena saat SMA saya tidak tahu apa itu MIT. Taunya ya UI, UGM, Undip, dan ITB.

“Menurut ana, pemikiran seperti ini lebih selamat daripada terjebak dalam penyakit ashobbiyah yang membuat bodoh.”

0 komentar:

Posting Komentar