Sabtu, 31 Mei 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


Alkisah di sebuah kampung antah berantah, air sangat sulit ditemukan. Kampung sulit air itu kebanyakan penduduknya orng baik, tetapi dikuasai oleh para pemabuk yang suka minum khamr. Mereka mendatangkan berpeti-peti khamr dari negeri yang jauh untuk memenuhi rasa haus sekaligus hobi mabuknya.


                Orang-orang baik berusaha tetap minum air. Mereka menggali sumur-sumur yang dalam namun tetap gagal memperoleh air. Mereka hanya bertahan hidup dengan menamung embun di dedaunan atau menampung air hujan yang sangat jarang turun. Tentu sangat minim, air yang mereka dapatkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.

                Para pemabuk yang berkuasa di kampung itu mengatur adat di sana dengan aturan mereka. Mirip Gengis Khan yang harus kesurupan dan setengah sadar sebelum menulis undang-undang. Para pemabuk harus pesta anggur beramai-ramai sampai teler sebelum menyusun aturan kampung.

                Ritual teler bersama itu disakralkan. Saking sucinya ritual itu sampai-sampai mereka mengutip ujar-ujar latin: In Vino Veritas, artinya “dalam (mabuk) anggur terdapat kebenaran.” Beberapa pemabuk sejati bahkan membuat pepatah baru yang lebih gila, vox madidus vox dei—suara pemabuk suara Tuhan.


                Para pemabuk pertama kali berkuasa di kampung dengan menipu orang-orang baik. Mereka mengajak orang baik bersama-sama membuat aturan adat. Pertamanya mereka menyepakati bahwa kebaikan menjadi sumber adat dan pemimpin kampung haruslah orang baik-baik.

                Namun, hanya sehari setelahnya mereka mendatangkan pemabuk licik yang tinggal di ujug timur kampung. Pemabuk licik itu mengancam, kalau pasal tentang kebaikan dan kepemimpinan orang baik tidak dihapus ia akan menjadi separatis—tak mau bergabung dengan kampung itu. Maka para pemabuk lainnya membujuk,”Ayolah, sementara kita hapus pasal itu. Toh hanya tujuh kata. Yang penting ujung timur kampung tak sampai lepas, persatuan harus kita dahulukan.”

                Salah satu orang baik bersikukuh tak mau mengubah kesepakatan itu. Baginya itu gentlemen agreement yang tak boleh seenaknya dicabut. Namun para pemabuk meloboi  dia melalui kerabatnya . Dengan janji kelak pasal kebaikan akan dicantumkan lagi setelah pemabuk licik tenang , akhirnya orang baik itu setuju tujuh kata bahwa kebaikan berlaku di kampung itu dihapus.

                    Setelah itu para pemabuk ingkar janji. Mereka berkuasa di kampung dan tak mengindahkan kebaikan. Tak cukup sekedar itu, mereka mulai menghalangi orang baik melakukan kebaikan. Mereka tak puas sebelum semua orang jadi suka mabuk.

Minum Sosial
               
                Orang-orang baik di kampung sulit air ada beberapa golongan. Ada yang teguh pendirian, tak mau mabuk atau bahkan sekedar menyentuh khamr. Namun ada juga yang sesekali mau ikut minum anggur, mereka berkilah bahwa mereka drink socially—minum sedikit untuk menghormati kalangan yang suka mabuk. Toh tidak sampai mabuk.

                Setelah dua generasi, golongan drink socially mulai menjadi pemabuk. Namun mereka masih mengaku sebagai orang baik-bik. Meski ayah dan kakek mereka tak pernah minum sampai mabuk, mereka dengan bangga menenggak wine atau wiski dan mengutip pepatah latin in vino veritas.

                Lalu datanglah saat pesta oplosan, momen terbesar dalam ritual para pemabuk. Kini para pemabuk tak perlu menipu atau memaksa orang-orang  baik untuk minum. Anak-anak mereka yang telah menjadi pemabuk menjalankan tugas itu.

                Tengoklah Moderatio, ia anak orang baik-baik dan terdidik hingga bangku tertinggi sekolah kebaikan. Namun ia belajar minum sedikit-sedikit hingga ia akhirnya jadi pemabuk berat. Ia mencela mereka yang tak mau minum meski hanya untuk menghormati pesta oplosan. “Nego bibo actio diaboli—Menolak minum adalah perbuatan setan” katanya.

Mabuk Perjuangan

                Lalu ada juga generasi yang lebih muda, terdidik juga meski tak setinggi Moderatio, namanya Scio Tutus. Tutus mengatakan bahwa mereka yang peduli pada kesejahteraan kampung hanyalah yang minum. Membantah seorang baik-baik yang mengingatkan kejadian di masa lalu bahwa para pemabuk selalu mengingkari janji dan siap menggusur orang baik yang memimpin. Tutus berkata,”Nego bibo merus custodis—orang yang tidak minum hanya jadi penonton.”

                Padahal kampung butuh pemimpin yang terlibat dalam mengatur adat. Ikut minum dalam pesta oplosan adalah jalan terbaik untuk berusaha merebut kepemimpinan dan mengisi kampung dengan kebaikan.

                Buat Tutus dan kawan-kawannya, mereka minum khamr dengan niat baik. Demi perjuangan mengembalikan kampung sulit air ke pangkuan orang baik. Ketika dikritik mengapa minum sampai mabuk, mereka berkilah bahwa itulah “Mabuk Perjuangan”.

                Maka anak-anak muda yang baik menjadi bingung. Di satu sisi ada kesadaran bahwa minum itu haram, tetapi di sisi lain ada kekhawatiran kalau tidak ikut minum maka kampung hanya diatur oleh par pemabuk.

                Dalam situasi yang membingungkan itu, banyak anak muda baik yang tadinya tak mau minum jadi tergoda. Mereka khawatir kena dosa membiarkan kampung dikuasai pemabuk. Agar orang baik bisa turut memimpin, maka rela “berkorban” dengan sedikit minum. Tak apalah minum sekali, yang penting bisa membendung kekuasaan para pemabuk.

                Mereka lupa bahwa para pemabuk pun memulainya dengan minum sedikit. Sececapan lidah sekedar mencicipi. Berlanjut seteguk lalu meningkat sesloki hingga akhirnya sebotol dan bergelimang khamr dalam hidupnya.

                Pesta oplosan berlangsung dua putaran. Putaran pertama untuk memilih para tetua kampung. Para tetua itu yang akan merumuskan adat dan aturan bersama. Tentu saja dalam majelis yang dijiwai semangat mabuk dan anggur. Sebagian orang baik yang ikut dicalonkan jadi tetua rela minum sedikit untuk mewarnai majelis itu.

                Putaran kedua adalah memilih Raja Mabuk. Sesuai namanya, dialah yang memimpin dan menentukan arah pembangunan kampung di masa depan. Para pemabuk ingin raja baru adalah pemabuk paling top yang paing kuat minum. Sementara orang baik yang minum sedikit ingin agar pemabuk paling waras yang memimpin.

                Pada pesta oplosan yang lalu-lalu, pernah terpilih pemabuk tulen yang darahnya semerah anggur merah. Namun dalam pesta oplosan terakhir, yang terpilih adalah pemabuk yang paling kompromis—bisa mabuk berat di kalangan pemabuk, namun bisa juga minum air di tengah-tengah orang baik.

                Lalu bisakah orang baik yang ikut mabuk merebut kekuasaan dalam majelis mabuk? Berkali-kali mereka mencoba namun selalu gagal. Sebabnya sederhana, setelah ikut minum mereka jadi teler dan kalah bersaing dengan pemabuk sejati yang berpengalaman. Ironis tapi mereka tak pernah kapok.

                Kisah di atas mungkin terdengar asing dan aneh. Mana ada kampung sekonyol itu? Tapi cobalah ganti air dengan kekuasaan, khamr dengan demokrasi, pemabuk dengan politikus sekuler dan orang baik dengan umat Islam. Tentu kisah ini akan menemukan relevansinya dalam realita kekinian.


Diketik ulang oleh Heri I. Wibowo dari majalah An-Najah edisi No.04/IX/Mei/2014 dengan judul yang sama.

0 komentar:

Posting Komentar