Sabtu, 31 Mei 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Dalam hiruk pikuk perjalanan, tak ada yang lebih membantu dibanding seorang kawan. Setidaknya untuk tidur bergantian, agar selalu terjaga barang bawaan. Ah, entahlah apa yang sebenarnya kini kutuliskan. Mungkin sekedar sebuah catatan, dalam perjalanan menuju perantauan. Dari tanah yang sudah sejak lama kuinginkan, merekam jejak kaki yang kutorehkan.  Dari sebuah provinsi yang juga kerajaan. Karena meski Semarang dan Yogyakarta tidaklah berjauhan, namun kesempatan belum dihadirkan.

                Mata pun seakan sulit terpejam. Ketika jendela menampilkan lukisan alam. Bahkan kehidupan orang-orang yang seolah bergumam. Namun hei! Lihatlah kawanku yang kini telah memejam.

                Kembali saja kuliskan kata-kata, untuk sebuah cerita. Cerita kesenangan hati akan nikmat yang tiada tara. Kesehatan dan kebebasan yang membuat merasa sungguh merdeka.


                Merbabu dan Merapi, seolah tak mau sendiri. Seakan ingin membuatku menyadari, bahwa lelaki sejati harus terus mendaki. Merbabu, Merapi, atau pun kehidupan ini. Dan pasangan muda suami-istri yang duduk di depan kami, di dalam kereta ekonomi ini. Mengingatkanku bahwa jodoh, rezeki, dan mati telah selesai dirancang bahkan sebelum penciptaan langit dan bumi.  Lalu, kenapa orang-orang suka galau sendiri? Atau lebih parah lagi, menjadikannya amal jama’i. Ah, semua takdir ini. Bahkan perjalanan ini, sepulang menghadiri muktamar kedua MPI.

                Kembali saja, kuingin bercerita tentangnya. Tentang alam yang kusuka sejak TK. Saat kehidupan dan kebahagiaan begitu sederhana.

                Lalu lihatlah ladang di sana. Penuh keajaiban rezeki untuk negeri kita. Para petani yang bekerja dengan ikhlas dan sederhana, tentunya sangat senang dengan sebuah sapa. Dan padi mungkin berdoa, mereka tak ingin ada rekayasa genetika.

                Lalu sungai tak lupa mengingatkanku, bahwa ada cerita dan hikmah di balik airnya yang menelisik sela-sela batu. Bahwa seringkali kita sungguh tak perlu, membuang tenaga dan waktu.  Hanya untuk terpaku, bahwa jalan cuma satu. Padahal sungguh tidak begitu. Seperti kata ustadz kemarin malam Sabtu. Tentang bagaimana menjual es krim di kutub utara supaya laku.

                Bahkan saat kupikiran, rel kereta pun memberikan pelajaran. Tak peduli bagaimana jalan kehidupan. Sesungguhnya kita sedang mengarah pada satu tujuan. Tuhan…

0 komentar:

Posting Komentar