Sabtu, 10 Mei 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , , ,

                Hari ini saya mengingat lagi sesuatu yang luar biasa, yang dulu sempat ingin saya tulis namun tidak terlaksana karena rasa malas menjadi musuh yang utama. Sebuah pelajaran yang universal, yang saya dapat dari salah satu pelatih saya: Kang Sunan Respati Dananjaya. Untuk pecandu—perhatikan tidak saya gunakan kata pecinta karena saking cintanya hehe, maaf Kang :P—beladiri daerah Bandung tentunya nama beliau sudah tidak asing lagi.

                Oke, jadi apa pelajarannya?


                Tentu buat mereka yang belum lupa-lupa amat dengan matematika dasar akan masih ingat grafik berikut:





                Yah gitulah ya haha. Anggap itu suatu fungsi kuadratik dengan kubah membuka ke bawah. Dan untuk sumbu x merepresentasikan teknik beladirinya—dalam hal ini sebut saja teknik Perisai Diri-nya, dan sumbu y merujuk kepada kebuasan, kebrutalan, atau mungkin lebih tepat adalah potensinya untuk melukai. Sok, mangga Aa’ dan Teteh lihat lagi grafiknya dan temukan artinya. Sudah?

                Pada masa-masa awal berlatih, seorang pesilat memiliki kebuasan atau kemampuan untuk melukai lawan yang rendah. Lalu, seiring berjalannya waktu kemampuannya tentu meningkat. Dan potensinya untuk melukai orang lain semakin besar. Kesombongan dan gaya berjalan yang semakin sulit dikontrol. Rasanya tiap menemukan orang yang kira-kira bikin sepet di mata mau dihajar saja. Rasa takut untuk memiliki masalah dengan pria lain semakin surut. Sehingga, sebenarnya pada saat yang sama dia sedang meningkatkan potensi dirinya terluka pula hahaha.

                Hingga suatu saat dia mencapai puncak potensi kebrutalan dan kebuasan, yaitu ketika menyentuh sumbu y. Menurut Kang Sunan, ini akan dialami pada mereka yang sedang mendalami Teknik Harimau dan Naga. Pada saat-saat inilah, rasa ingin cari ribut menjadi paling besar—teorinya. Tapi saya memang mengalami sih hehe. (Pahami tentang Teknik Asli Perisai Diri di sini)

                Hingga pada titik setelah ini, justru menurun kebrutalannya. Oleh karenanya sumbu y ini segaris dengan titik x=0. Artinya, terdapat suatu titik balik pada kondisi ini. Setelah Teknik Naga, masuklah orang itu ke Teknik Satria. Dia mulai resmi menjadi pelatih. Oleh karenanya, mental sebagai pelatih juga ditempa. Diajarkan tentang pengendalian diri lebih mendalam dan kesadaran lebih lanjut tentang makna Perisai Diri. Bahwa sesuai namanya, beladiri ini bukanlah senjata untuk melukai namun suatu alat untuk menangkis serangan—Perisai. Hingga akhirnya perlahan kebrutalan itu menurun. Bukan karena TIDAK MAMPU, namun karena TIDAK MAU.

                Memang itulah yang diajarkan oleh para pelatih. Saat latihan, serangan tidak boleh ditahan. Full power, full speed. Karena memang kemampuan juga masih cethek. Kalau bercandanya, belum saatnya untuk berbudi luhur. “Orang dengan kondisi serangan penuh tenaga saja kadang-kadang lawan juga masih ketawa kalau kena, kok sok-sok an buat menahan serangan,” begitu wejangan beliau-beliau ini.

                Nanti, jika memang diperlukan pelatih yang akan membisikkan,”Jangan terlalu lepas, dia tingkatannya dibawahmu.”

                Dari hasil obrolan ini saja saya melihat kebijaksanaan yang sangat besar. Sebuah kebijaksanaan yang sebenarnya sudah kita tahu dari dulu, tetapi lupa merupakan musuh yang utama.

TIDAK MAU, BUKAN TIDAK MAMPU

                 Ada beberapa hal yang cenderung aneh menurut saya. Betapa sering diri kita menjadikan alasan ”Saya nggak mau begitu kok”, “ah, itu gak akan terpakai”, dan kalimat-kalimat sejenis untuk malas melakukan sesuatu yang berguna.

                Contoh paling sinetronnya gini. Ada seorang anak yang disuruh belajar nyetir sama orang tuanya tetapi dia malah berkata,”Ah, tak perlu Ayah. Nanti toh saya akan jadi orang sukses, punya supir. Jadi buat apa belajar.”

                Atau yang agak nyerempet kesukaan saya nih.

                “Kamu belajar beladiri sana.”

                “Ah, buat apa? Kan saya tidak mau melukai orang lain.”

                See? Mereka memang tidak akan melakukan hal itu. Bukan karena tidak mau, namun karena memang tidak mampu. Pada hal yang lain pun sering kita melakukan penolakan dengan alasan sekonyol contoh-contoh abstrak saya di atas.

“Bukan sesuatu yang luar biasa jika kau tidak melakukan sesuatu karena tidak mampu,
bukan karena tidak mau.”


                Kalau bahasa mereka yang suka ngomongin tentang pacaran atau nikah:

“Gue jomblo karena prinsip, bukan karena nasib!”
(Baca hal terkait ini ada tulisan saya di sini)


Sampai di sini belum bosan kan? Nah, setelah ini saya akan sedikit mengkritisi pemikiran beberapa orang yang benar-benar ada di sekitar kita. Dan tidak main-main, ini tentang pilihan mereka menikah.

MENIKAH?

                Menikah? Wow, maksud kamu apa? Iya kamu, emh (Dengan gaya ngomong Dodit Mulyanto).

                Jadi begini, saya pernah melihat pada tulisan yang di-share ­oleh seseorang di jejaring sosial. Kurang lebih isinya begini:
                “Menikahlah saat engkau masih belum mapan, agar anakmu merasakan nilai-nilai perjuangan pada kesulitan yang mendera.”

                Wah, romantic sekali ya? Namun bolehkah saya melihat dari sudut pandang yang berbeda?

                Memang, kesulitan dan tantangan sangat dibutuhkan seorang anak agar menjadi dewasa. Kesulitan, pada kadar yang sesuai akan menjadikan seseorang lebih tangguh. Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan membuatmu lebih kuat, begitu kata Tuan Krab.

Sesuatu yang tidak membunuhmu hanya akan membuatmu lebih kuat.

                Sekarang, bayangkan jika kesulitan itu mengenai masalah hidup dan mati. Bukan hidup dan mati kita  dengan pasangan kita, namun bayi kita. Pada suatu ketika, karena kondisi ekonomi yang belum mapan—pada dosis yang parah—bisa membuat putra kita hanya sekejap merasakan udara dunia. Itu kondisi ekstrimnya dengan definisi belum mapan yang sangat ekstrim pula.  

                Selain itu, anak memang akan belajar tentang kesulitan-kesulitan hidup, tentang bagaimana menjadi seorang pribadi yang tangguh. Namun, sebatas itu. Dia akan kesulitan untuk mencari contoh riil menjadi seseorang yang zuhud.

                Sekarang bayangkan kondisi yang berbeda. Kita, secara kemampuan sangat mampu untuk memanjakan dan memberikan bermacam kemudahan kepada anak kita. Semuanya kelas satu. Namun kita tidak melakukannya. Karena kita TIDAK MAU. Kita sedang mengajarkan bagaimana untuk mengontrol kehidupan kita, kehidupan yang sebenarnya sangat mampu untuk berfoya-foya namun memilih cara hidup yang sederhana. Menurut saya, itu akan lebih terlihat keren di matanya. Orang tuanya sebenarnya SANGAT MAMPU, namun mereka TIDAK MAU untuk menjadi budak dunia. Orang tua tersebut akan lebih mudah untuk mengajarkan konsep zuhud, yaitu zuhud bukanlah membuang dunia dari tanganmu tapi dia ada di hatimu,  zuhud adalah mencampakan dunia dari hatimu tapi dia ada dalam genggamanmu.

“Zuhud itu bukanlah membuang dunia dari tanganmu tapi dia ada di hati. Zuhud adalah mencampakan dunia dari hatimu tapi dia ada dalam genggamanmu.”


(Jika ada yang bilang Rasul dan para shahabat itu miskin, kalian salah besar. Mereka adalah para saudagar kaya. Mereka memang memilih hidup demikian itu karena prinsip, bukan karena nasib. Karena kemauan, bukan mengenai kemampuan.)

                So, maaf jika saya mengambil contoh yang agak menyerempet “hal” ini. Maaf, sekali lagi maaf. Namun saya pikir ini akan lebih mengena hehe.

                Padahal, pada aplikasinya kebijaksanaan tentang “tidak melakukan bukan karena tidak mampu, namun karena tidak mampu” tersebut sangat luas aplikasinya. Silahkan kawan-kawan cari sendiri pada bagian kehidupan yang mana hal ini cocok diterapkan. Jika ada salah kata, saya mohon maaf :)

Contoh lagi:
1.       Tidak mau sombong meski kehebatannya bejibun karena dia tahu itu hal yang buruk. Bukan tidak sombong karena memang tidak ada yang dapat disombongkan.
2.       Tidak mau mencontek karena dia tahu itu suatu bentuk kecurangan yang hina. Bukan tidak mau mencontek karena teman sebelah sama cupu-nya dan ada pengawas yang galaknya gokil banget.
3.       Tidak membeli mobil bersilinder besar karena tahu itu hanya memboroskan bahan bakar dan tidak ramah lingkungan. Bukan karena duitnya buat beli sepeda saja perlu ngutang.
4.       Ada tambahan?

0 komentar:

Posting Komentar