Sabtu, 13 Desember 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Hari ini saya akan bercerita tentang seseorang yang sangat menginpirasi saya. Seseorang yang begitu saya hormati dan hargai, seseorang yang bahkan dalam beberapa kesempatan pernah saya “benci”. Salah satu manusia yang membentuk paradigma saya, bahkan mungkin ketika saya belum paham apa itu paradigma. Seseorang yang darahnya mengalir dalam darah saya, dan mungkin saya siap jika darah saya tertumpah untuknya. Orang ini: My Old Man, Bapak saya.

                Cerita ini sungguh ingin saya tumpahkan di blog ini, asalnya karena hal ‘sepele’. Saya sedang suntuk, ada kawan memberikan serial “Supernatural”, dan saya mendapat kutipan bagus ini:






“Son, you don’t like me? That’s fine. It’s not my job to be liked. It’s my job to raise you right.”

-John Winchester, dalam kenangan Dean & Sam Winchester ketika bercerita ke Castiel-
Supernatural season 10 episode 9,
“The Thing We Leave Behind”

                Entah kenapa saya langsung ingat, bahwa Bapak pernah berkata hal yang sama. PERSIS! Hanya tidak dalam Bahasa Inggris melainkan Bahasa Jawa.

                Saya paham, cerita yang isinya memuji pihak kita, atau milik kita, seringkali terasa memuakkan karena seolah sedang membanggakan diri dalam curhat. Biarlah, saya tak peduli. Anggap saja saya sedang membuat pernyataan terbuka betapa saya sangat merindukan Bapak, sudah satu semester tidak berjumpa.

Bapak Saya Membesarkan Saya Sebagai Laki-laki

                Mungkin ini hal yang sangat wajar. Saya anak pertama, dan kebetulan (sebenarnya tak ada yang namanya kebetulan, semua sudah ditakdirkan) saya laki-laki. Maka sangat wajar jika kebanggaan Bapak saya akan saya, membuatnya berusaha mengajari saya jadi laki-laki seutuhnya—menurut versinya, dan sekarang jadi versi saya juga.

                Ya, saya adalah produk coba-coba bapak saya. Setahu saya Bapak tak pernah ikut seminar atau baca buku tentang parenting, Bapak hanya membesarkan saya dengan cara terbaik yang dia pahami. Bapak saya juga bukanlah “ikhwan”, Bapak saya hanya laki-laki biasa sebagaimana anaknya sekarang. Bapak tak paham tentang perdebatan boleh tidaknya berkata “jangan” pada anak, Bapak hanya paham bahwa seorang anak laki-laki haruslah berpikir, bersikap, dan berbuat sebagaimana laki-laki—menurut versinya, dan sekarang jadi versi saya juga.

                Saya tak ingin membanding-bandingkan sebenarnya, namun saya pernah melihat ada seorang tetangga, karena ketiga kakaknya perempuan, dan bapaknya terlalu sibuk bekerja, maka ibunya yang total mendidiknya—sayang, ibunya terlalu pakem dengan cara pendidikan kakak-kakaknya. Bapak saya, tidak. Bahkan karena Bapak saya bukan PNS, pegawai, atau pekerja kantoran, “sekedar” pekerja untuk dirinya sendiri, maka banyak waktu untuk sekedar menemani saya.

                Salah satu peristiwa yang sangat membekas di hati saya, ketika kecil saya sering tinggal di Boyolali, rumah mertua Bapak. Bapak di Semarang, kuliah sambil cari uang. Nah, pada saat-saat dia ada, saya sering diletakkan di pundaknya, untuk kemudian diajak jalan-jalan pada malam hari. Seolah mengenalkan pada saya: Itu lho rasi bintang ini, itu lho pohon ini dengan burung hantu, ini lho malam, jangan jadi anak cemen. Dan soal mainan, Bapak saya sangatlah royal. Dengan penghasilan yang saat itu (sangat) pas-pasan, Bapak membelikan saya senapan angin yang isinya peluru warna-warni itu, pedang-pedangan, mobil-mobilan juga. Sampai sekarang masih misteri juga sih, itu mainan buat saya atau buat dia sendiri hehe.

                Yah, begitulah. Kenapa saya berani mengklaim hal ini? Kenapa saya dengan PD-nya berani bilang Bapak saya membesarkan saya sebagai laki-laki? Pertama, ini blog saya. Ya terserah saya dong. Kedua, ada perbedaan besar cara mendidik dengan adik saya yang perempuan. Karena Bapak saya paham, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Untuk ini, saya dan Bapak termasuk mereka yang MENOLAK KESETARAAN GENDER, kami PENDUKUNG KEADILAN GENDER.

                Sejak kecil, saya selalu melihat Bapak berusaha memperbaiki barang-barang yang ada di rumah sendiri. Yah, meski seringkali itu sekedar jadi pengisi waktu luang dan yang rusak kadang jadi tambah gak bener sih. Bapak itu manly sekali, mulai bongkar mobil sampai menyembelih kambing bisa. Mulai jahit baju sampai pertukangan oke. Namun, satu hal yang pasti, kalau Bapak sedang malas, mau disuruh sampai lidah keseleo buat angkat jemuran, walah!

                Dari sana, meski contohnya tak semua baik, saya belajar satu hal tentang laki-laki:
“Saat seorang laki-laki tak melakukan sesuatu, sebaiknya karena memang dia TIDAK MAU, bukan KARENA TIDAK MAMPU.”

Bapak Saya Mengajarkan Arti Mandiri

                Mungkin zaman kita dengan zaman bapak-bapak kita berbeda. Saat itu tak banyak kemudahan seperti sekarang, saat itu bahkan pangan pun langka. Sehingga seorang remaja yang bekerja adalah kewajaran, dan anak yang merantau adalah keharusan. Ya, Bapak memberikan saya pola pikir tentang menjadi mandiri tidak dengan berkata,”Sana, pakai baju sendiri. Pakai sepatu juga, udah gede kan? Katanya mau mandiri?”

                Tidak, Bapak tak pernah mengatakan hal seperti itu. Atau saya yang lupa? Ah, entahlah. Yang pasti, dalam mengajarkan kemandirian Bapak dengan cara yang lebih menekan atau melelahkan. Di saat teman-teman yang lain belajar ditungguin ortunya, saya, entah bagaimana malah tak nyaman jika diajari. Entah, saya bingung bagaimana cara Bapak membuat saya begitu.

Selain itu, dulu saat SMA saya suka ditelpon (Dengan Bahasa Jawa tentunya),”Mas Heri, main basketnya besok lagi. Cepet pulang, ganti baju. Kita mau buang brangkal (sisa tanah bekas pembangunan).” Itu di telpon sepulang sekolah. Dan tahukah kalian, yang sedang ada pembangunan adalah SMA 3 Semarang, sekolah saya. Biasanya sih di rumah orang, atau sekolah-sekolah lain, tapi waktu itu, maaan, kan malu juga ada kalau kepergok gebetan sedang angkat-angkat brangkal buat dimuat ke pick up butut. Belum sapaan dari kawan, duh.

Ya, Bapak saya jualan bahan bangunan. Tidak nyetok sih. Dan terkadang ada order buang brangkal juga.

                Dan FYI, sampai sekarang saya belum pernah bisa mengalahkan kekuatan Bapak. Cupu beneeeer -_-

                Ya, itulah definisi Bapak tentang mandiri. Dalam diskusi-diskusi aneh kami, beliau sering berkata bahwa seorang laki-laki sebelum bisa menghidupi anak orang, harus yakin bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak perlu ganteng atau bersih atau pintar bergitar (pembenaran sih, bapak mana bisa main music haha), yang penting mandiri. Tapi maaf Pak, saya ganteng kok hehehe. Cuma gak bisa main gitar doang.

Bapak Saya Selalu Out Of Prediction

                Bapak saya bukan tak pernah marah. Tapi seringkali, saat mengira saya akan dimarahi, bapak malah senyam-senyum saja. Saat berpikir Bapak akan memuji, justru mendapat kritik. Saat mengira akan mengundang iba, Bapak malah tertawa. Lah, ini orang!

                Saat itu saya masih SMP, saya sedang nakal-nakalnya (sampai sekarang sih). Nah, saat upacara bendera—saya dari dulu gak suka kegiatan ini, dan sekarang dapat alasan syar’i—saya sedang ramai dengan seorang sahabat. Enggak penting sih, karena mengomentari model sepatu yang sama dari cewek kelas sebelah. Yang satu cakep, satunya lagi ‘cakep’ (^^V). Waka Kesiswaan marah-marah, meminta siswa tenang. Kami masih saja asik ketawa. Jadilah kami dipanggil ke depan, dan kena skors. Dan harus bikin surat pernyataan yang ditandatangani orang tua. Siapa coba yang tidak takut kena marah Bapak? Tapi, My Old Man hanya tersenyum, lalu tandatangan tanpa bilang,”Jangan ulangi lagi ya.” Lah!

                Atau saat saya jatuh dari motor dengan dahi berdarah, Ibu saya sampai menangis, Bapak saya malah ketawa sambil bilang,”Nangis? Kapok? Lah, kan laki-laki. Kalau nangis gak usah lah naik motor lagi!”

                Ketika ramai kasus pemurtadan dan liberalisasi di Perguruan Tinggi Negeri, Bapak pernah saya tanya,”Kok masuk IA*N sih?” “Ya dulu orang desa berpikir kan kalau kuliah di sana keren. Istilahnya, tidak dapat dunianya ya dapat akhiratnya. Mau jadi dokter atau insinyur enggak boleh sama Mbahmu.” Lalu Ibu menyahut sambil bercanda,”Enggak cukup pinter kali Mas. Dan kalau pun bisa, duitnya juga susah.” Bapak hanya tersenyum saja, lalu saya lanjut bertanya,”Emang dapat akhiratnya? Kan katanya liberalisasi dan pemurtadan itu sudah ada dari dulu.” “Enggak dapat keduanya hahaha.”

                Lha kalau aku bebas kan?” tanya saya. “Bebas, anak laki-laki bebas. Yang penting jangan masuk IA*N. PNS aja.” “Enggak, gak akan jadi PNS. Swasta saja, bersih,” jawab saya (waktu itu, saat SMA awal). “Karepmu le,” jawab Bapak nglegani.

                Dan yang saya suka dari Bapak, Bapak bisa diajak debat selama ada data dan fakta yang kuat. Saya ingat saat pilihan kuliah, kenapa tidak PTN yang dekat saja, kenapa yang di Bandung yang uang gedungnya 55 juta?

“Biayanya gimana?”
“Kan ada beasiswa, nanti gampang lah cari kerja sambilan. Kayak situ enggak saja waktu kuliah dulu.”
“Kenapa harus jauh-jauh dari Semarang ke Bandung? Yang deket gak kalah bagusnya.”
“Kenapa Bapak dulu dari Boyolali ke Semarang?”
“Wong naruh handuk ke jemuran aja susah, yakin mau hidup sendiri?”
“Bapak juga susah kan balikin handuk ke jemuran? Susah juga kan ambil baju dengan rapi dari lemari? Hehe…”
“Yakin diterima?”
“Enggak.”
“Terus?”
“Namanya saja mencoba.”

                Setelah debat semalaman, maka kini Bapak bisa berkata,”Nih anak saya merantau, jauh, ke Bandung. Tanpa saudara di sana.”

                Satu lagi yang cukup membekas. Saat itu sedang rame-ramenya crush gear. Saya senang bukan kepalang saat bisa beli dari kumpulin uang jajan, main umbul, dan duit dari Ibu. Setiap hari, setiap waktu, saya bongkar, saya pasang, saya jalankan, saya bongkar lagi, saya pasang lagi, saya jalankan, terus begitu hingga lupa belajar. Ibu sudah ingatkan berkali-kali. Bapak ingatkan satu kali, saya bilang oke. Tapi omong tok haha.

                Ingatkan kedua kali, saya jawab,”Ntar!”. Akhirnya, setelah tiga kali itu mainan diambil Bapak dan dibanting. Man! Rusak deh dia! Saya nangis dong hahaha. Tapi ya gimana lagi, takut saya sama Bapak. Besoknya saat Bapak bantu ngelemin body yang pecah, beliau berkata,”Nih, gini aja gak bisa. Makanya belajar. Nanti bisa.” Mungkin inilah yang bikin saya pengen jadi Insinyur Mesin :p
               
                Wow!

Bapak Saya Memang Bukan…, Tapi…

                Bapak saya bukanlah Super Dad yang banyak senyum dan bercanda selayaknya ayah-ayah lain yang sering kalian lihat di sinetron atau film-film. Alih-alih tersenyum, Bapak saya lebih suka tertawa. Alih-alih bercanda, Bapak lebih suka adu ejekan dengan saya. Tapi, Bapak saya adalah orang yang bisa berkata tentang perjuangan dan sulitnya masa muda tanpa saya bisa mencemooh,”Halah, omong doang. Wong dari kecil dimanja kakek!”

                Bapak saya bukanlah ayah yang menang Daddy Award. Bahkan Bapak tak pernah belajar ilmu parenting. Bapak bukanlah ayah yang penuh perhatian mengajari anaknya, membimbing dengan lembut. Tapi percayalah, saya, sebagai hasil didikannya merasakan Bapak tak pernah main-main dalam mendidik. Dan saya merasa dididik menjadi seteguh batu karang, tentang kode etik tak tertulis menjadi laki-laki harus mandiri. Untunglah, Ibu saya mengimbanginya.

                Bapak bukanlah ahli agama yang lurus manhajnya semenjak awal. Bahkan Bapak tak asing dengan ilmu perbandingan agama, dan Bapak kuliah di tempat yang bahaya bagi keimanan. Namun, qadarullah, Bapak bukanlah orang saklek yang tak menerima kebenaran. Dan kini tahu, menjadi muslim tak bisa hanya dilihat dari KTP. Dan pernyataan bahwa semua agama sama bisa menjadikan kekafiran. Melakukan amalan pun tak hanya bisa asal kata orang-orang itu sudah budaya.

                Bapak saya bukanlah ayah manis yang menerima curahan rasa cinta saya. Bapak pernah saya “benci”, ketika memarahi dengan kata-kata keras dan pedas. Dengan kontak fisiknya. Namun saya kini sadar, dalam batas tertentu itu memang yang terbaik untuk saya yang nakalnya minta ampun ini.

                Bapak saya bukanlah orang yang perhatian, sehingga bisa jadi tempat curhat yang asyik. Bapak tak pernah menanggapi keluhan saya dengan lembut. Bapak justru memotongnya, mengajak saya adu argument. Dan sesi menye curhat akhirnya berubah menjadi diskusi panas, karena masing-masing memiliki kebenaran versinya masing-masing. Dulu saat kecil saya sering kalah, tapi semenjak jauh dari rumah, entah kenapa Bapak semakin menghargai saya sebagai seorang yang dewasa seutuhnya. Darinya saya percaya, seorang laki-laki tak boleh mengeluh sampai curhat sembarangan.

                Bapak saya bukanlah orang yang kaya. Bukanlah CEO perusahaan ini atau direktur perusahaan sana. Bahkan urusan finansial sedari kecil saya telah terbiasa merasakan dan memikirkan, dan ini memang batasan dari keluarga kami. Tapi Bapak menggantinya dengan yang lebih baik. Tentang pengajaran bahwa hidup selalu mulai dari bawah. Bahwa hidup itu tentang usaha. Bahwa dunia bukanlah tujuan, melainkan hanya sarana.

                Bapak saya bukanlah orang yang berilmu tinggi. Tak ada S2 apalagi S3. Tapi bagi saya, Bapak adalah pintu pertama saya dalam memahami dunia dalam paradigma sebagai laki-laki. Dan meski mungkin ada cara parenting­-nya yang kurang tepat, saya tetap menghormati dan mencintainya sepenuh saya bisa. Darinya saya belajar, dan darinya saya pula saya mengoreksi yang tidak benar.



                Bapak sekali lagi bukanlah tipe ayah yang suka mengatakan sesuatu dengan indah. Bapak tak pernah sekalipun berkata,”Mas Heri, Bapak sayang Mas. Bapak sayang bangeeeet.” Karena selain akan terasa aneh, itu juga terasa sungguh aneh, bahkan aneh sangat (dalam pandangan saya). Dan Bapak tak pernah sekedar memberi pelukan hangat ketika saya pulang atau saat melakukan sesuatu yang (saya rasa) membanggakannya. Paling banter hanya bilang,”Wah Mas, bisa juga kamu” beserta tepukan ringan di bahu. Tapi saya tahu, Bapaklah yang menunggui saya di RS ketika (secara harfiah) saya mau mati akibat DBD yang aneh saat SMP dulu. Bapaklah yang tidak tidur 2 hari lebih, meninggalkan semua pekerjaan, hanya untuk saya yang bahkan tak sadar saat itu saya sudah payah hingga perlu transfusi plasma darah. Dan saya tahu pula, bagaimana Bapak membanggakan saya di depan kawan-kawannya. Karena bagi saya, bahasa cinta seorang laki-laki bukan pada indahnya diksi, menyentuhnya puisi, atau umbaran kata sayang yang sambil lalu diucap saat pergi dan pulang kerja. Namun cinta adalah kata kerja, tindakan yang telah terealisasi.
 

                Bapak mungkin tak akan pernah membaca ini, karena itu memang tak penting. Yang penting, Bapak tidak menyesal telah memiliki anak seperti saya. Bapak tak menyesal telah menghabiskan separuh hidupnya untuk membesarkan saya.


                Dan saya, tak pernah malu memiliki mentor sepertinya :’)

NB: Search nama Bapak saya, eh keluar waktu Pak Bos kerja bakti :v


Tuh yang baju putih :p
sumber: http://hariansemarangbanget.blogspot.com/2012/06/warga-purwoyoso-bersihkan-semak-belukar.html








0 komentar:

Posting Komentar