Hari ini saya akan bercerita
tentang seseorang yang sangat menginpirasi saya. Seseorang yang begitu saya
hormati dan hargai, seseorang yang bahkan dalam beberapa kesempatan pernah saya
“benci”. Salah satu manusia yang membentuk paradigma saya, bahkan mungkin
ketika saya belum paham apa itu paradigma. Seseorang yang darahnya mengalir
dalam darah saya, dan mungkin saya siap jika darah saya tertumpah untuknya. Orang
ini: My Old Man, Bapak saya.
Cerita
ini sungguh ingin saya tumpahkan di blog ini, asalnya karena hal ‘sepele’. Saya
sedang suntuk, ada kawan memberikan serial “Supernatural”, dan saya mendapat
kutipan bagus ini:
“Son, you don’t like me? That’s fine. It’s not my job to be liked. It’s my job to raise you right.”
-John
Winchester, dalam kenangan Dean & Sam Winchester ketika bercerita ke Castiel-
Supernatural
season 10 episode 9,
“The
Thing We Leave Behind”
Entah
kenapa saya langsung ingat, bahwa Bapak pernah berkata hal yang sama. PERSIS! Hanya
tidak dalam Bahasa Inggris melainkan Bahasa Jawa.
Saya paham, cerita yang isinya
memuji pihak kita, atau milik kita, seringkali terasa memuakkan karena seolah
sedang membanggakan diri dalam curhat. Biarlah, saya tak peduli. Anggap saja
saya sedang membuat pernyataan terbuka betapa saya sangat merindukan Bapak,
sudah satu semester tidak berjumpa.
Bapak Saya Membesarkan Saya Sebagai
Laki-laki
Mungkin
ini hal yang sangat wajar. Saya anak pertama, dan kebetulan (sebenarnya tak ada
yang namanya kebetulan, semua sudah ditakdirkan) saya laki-laki. Maka sangat
wajar jika kebanggaan Bapak saya akan saya, membuatnya berusaha mengajari saya
jadi laki-laki seutuhnya—menurut versinya, dan sekarang jadi versi saya juga.
Ya, saya adalah produk coba-coba
bapak saya. Setahu saya Bapak tak pernah ikut seminar atau baca buku tentang parenting, Bapak hanya membesarkan saya
dengan cara terbaik yang dia pahami. Bapak saya juga bukanlah “ikhwan”, Bapak
saya hanya laki-laki biasa sebagaimana anaknya sekarang. Bapak tak paham
tentang perdebatan boleh tidaknya berkata “jangan” pada anak, Bapak hanya paham
bahwa seorang anak laki-laki haruslah berpikir, bersikap, dan berbuat
sebagaimana laki-laki—menurut versinya, dan sekarang jadi versi saya juga.
Saya tak ingin
membanding-bandingkan sebenarnya, namun saya pernah melihat ada seorang
tetangga, karena ketiga kakaknya perempuan, dan bapaknya terlalu sibuk bekerja,
maka ibunya yang total mendidiknya—sayang, ibunya terlalu pakem dengan cara
pendidikan kakak-kakaknya. Bapak saya, tidak. Bahkan karena Bapak saya bukan
PNS, pegawai, atau pekerja kantoran, “sekedar” pekerja untuk dirinya sendiri,
maka banyak waktu untuk sekedar menemani saya.
Salah satu peristiwa yang sangat
membekas di hati saya, ketika kecil saya sering tinggal di Boyolali, rumah
mertua Bapak. Bapak di Semarang, kuliah sambil cari uang. Nah, pada saat-saat
dia ada, saya sering diletakkan di pundaknya, untuk kemudian diajak jalan-jalan
pada malam hari. Seolah mengenalkan pada saya: Itu lho rasi bintang ini, itu
lho pohon ini dengan burung hantu, ini lho malam, jangan jadi anak cemen. Dan
soal mainan, Bapak saya sangatlah royal. Dengan penghasilan yang saat itu
(sangat) pas-pasan, Bapak membelikan saya senapan angin yang isinya peluru
warna-warni itu, pedang-pedangan, mobil-mobilan juga. Sampai sekarang masih
misteri juga sih, itu mainan buat saya atau buat dia sendiri hehe.
Yah, begitulah. Kenapa saya
berani mengklaim hal ini? Kenapa saya dengan PD-nya berani bilang Bapak saya
membesarkan saya sebagai laki-laki? Pertama, ini blog saya. Ya terserah saya
dong. Kedua, ada perbedaan besar cara mendidik dengan adik saya yang perempuan.
Karena Bapak saya paham, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Untuk
ini, saya dan Bapak termasuk mereka yang MENOLAK KESETARAAN GENDER, kami PENDUKUNG
KEADILAN GENDER.
Sejak kecil, saya selalu melihat
Bapak berusaha memperbaiki barang-barang yang ada di rumah sendiri. Yah, meski
seringkali itu sekedar jadi pengisi waktu luang dan yang rusak kadang jadi
tambah gak bener sih. Bapak itu manly sekali,
mulai bongkar mobil sampai menyembelih kambing bisa. Mulai jahit baju sampai
pertukangan oke. Namun, satu hal yang pasti, kalau Bapak sedang malas, mau
disuruh sampai lidah keseleo buat angkat jemuran, walah!
Dari sana, meski contohnya tak
semua baik, saya belajar satu hal tentang laki-laki:
“Saat
seorang laki-laki tak melakukan sesuatu, sebaiknya karena memang dia TIDAK MAU,
bukan KARENA TIDAK MAMPU.”
Bapak Saya Mengajarkan Arti Mandiri
Mungkin zaman kita dengan zaman
bapak-bapak kita berbeda. Saat itu tak banyak kemudahan seperti sekarang, saat
itu bahkan pangan pun langka. Sehingga seorang remaja yang bekerja adalah
kewajaran, dan anak yang merantau adalah keharusan. Ya, Bapak memberikan saya
pola pikir tentang menjadi mandiri tidak dengan berkata,”Sana, pakai baju
sendiri. Pakai sepatu juga, udah gede kan? Katanya mau mandiri?”
Tidak, Bapak tak pernah
mengatakan hal seperti itu. Atau saya yang lupa? Ah, entahlah. Yang pasti,
dalam mengajarkan kemandirian Bapak dengan cara yang lebih menekan atau
melelahkan. Di saat teman-teman yang lain belajar ditungguin ortunya, saya,
entah bagaimana malah tak nyaman jika diajari. Entah, saya bingung bagaimana
cara Bapak membuat saya begitu.
Selain
itu, dulu saat SMA saya suka ditelpon (Dengan Bahasa Jawa tentunya),”Mas Heri,
main basketnya besok lagi. Cepet pulang, ganti baju. Kita mau buang brangkal (sisa tanah bekas pembangunan).”
Itu di telpon sepulang sekolah. Dan tahukah kalian, yang sedang ada pembangunan
adalah SMA 3 Semarang, sekolah saya. Biasanya sih di rumah orang, atau
sekolah-sekolah lain, tapi waktu itu, maaan, kan malu juga ada kalau kepergok
gebetan sedang angkat-angkat brangkal buat
dimuat ke pick up butut. Belum sapaan dari kawan, duh.
Ya,
Bapak saya jualan bahan bangunan. Tidak nyetok sih. Dan terkadang ada order
buang brangkal juga.
Dan FYI, sampai sekarang saya
belum pernah bisa mengalahkan kekuatan Bapak. Cupu beneeeer -_-
Ya, itulah definisi Bapak
tentang mandiri. Dalam diskusi-diskusi aneh kami, beliau sering berkata bahwa seorang
laki-laki sebelum bisa menghidupi anak orang, harus yakin bisa menghidupi
dirinya sendiri. Tak perlu ganteng atau bersih atau pintar bergitar (pembenaran
sih, bapak mana bisa main music haha), yang penting mandiri. Tapi maaf Pak,
saya ganteng kok hehehe. Cuma gak bisa main gitar doang.
Bapak Saya Selalu Out Of Prediction
Bapak
saya bukan tak pernah marah. Tapi seringkali, saat mengira saya akan dimarahi,
bapak malah senyam-senyum saja. Saat berpikir Bapak akan memuji, justru
mendapat kritik. Saat mengira akan mengundang iba, Bapak malah tertawa. Lah,
ini orang!
Saat itu saya masih SMP, saya
sedang nakal-nakalnya (sampai sekarang sih). Nah, saat upacara bendera—saya
dari dulu gak suka kegiatan ini, dan sekarang dapat alasan syar’i—saya sedang
ramai dengan seorang sahabat. Enggak penting sih, karena mengomentari model
sepatu yang sama dari cewek kelas sebelah. Yang satu cakep, satunya lagi ‘cakep’
(^^V). Waka Kesiswaan marah-marah, meminta siswa tenang. Kami masih saja asik
ketawa. Jadilah kami dipanggil ke depan, dan kena skors. Dan harus bikin surat
pernyataan yang ditandatangani orang tua. Siapa coba yang tidak takut kena
marah Bapak? Tapi, My Old Man hanya tersenyum, lalu tandatangan tanpa bilang,”Jangan
ulangi lagi ya.” Lah!
Atau saat saya jatuh dari motor
dengan dahi berdarah, Ibu saya sampai menangis, Bapak saya malah ketawa sambil
bilang,”Nangis? Kapok? Lah, kan laki-laki. Kalau nangis gak usah lah naik motor
lagi!”
Ketika
ramai kasus pemurtadan dan liberalisasi di Perguruan Tinggi Negeri, Bapak
pernah saya tanya,”Kok masuk IA*N sih?” “Ya dulu orang desa berpikir kan kalau
kuliah di sana keren. Istilahnya, tidak dapat dunianya ya dapat akhiratnya. Mau
jadi dokter atau insinyur enggak boleh sama Mbahmu.” Lalu Ibu menyahut sambil
bercanda,”Enggak cukup pinter kali Mas. Dan kalau pun bisa, duitnya juga susah.”
Bapak hanya tersenyum saja, lalu saya lanjut bertanya,”Emang dapat akhiratnya?
Kan katanya liberalisasi dan pemurtadan itu sudah ada dari dulu.” “Enggak dapat
keduanya hahaha.”
“Lha kalau aku bebas kan?” tanya saya. “Bebas, anak laki-laki bebas.
Yang penting jangan masuk IA*N. PNS aja.” “Enggak, gak akan jadi PNS. Swasta
saja, bersih,” jawab saya (waktu itu, saat SMA awal). “Karepmu le,” jawab Bapak nglegani.
Dan yang saya suka dari Bapak,
Bapak bisa diajak debat selama ada data dan fakta yang kuat. Saya ingat saat
pilihan kuliah, kenapa tidak PTN yang dekat saja, kenapa yang di Bandung yang
uang gedungnya 55 juta?
“Biayanya
gimana?”
“Kan ada beasiswa,
nanti gampang lah cari kerja sambilan. Kayak situ enggak saja waktu kuliah dulu.”
“Kenapa harus
jauh-jauh dari Semarang ke Bandung? Yang deket gak kalah bagusnya.”
“Kenapa Bapak
dulu dari Boyolali ke Semarang?”
“Wong naruh
handuk ke jemuran aja susah, yakin mau hidup sendiri?”
“Bapak juga
susah kan balikin handuk ke jemuran? Susah juga kan ambil baju dengan rapi dari
lemari? Hehe…”
“Yakin diterima?”
“Enggak.”
“Terus?”
“Namanya saja
mencoba.”
Setelah debat semalaman, maka
kini Bapak bisa berkata,”Nih anak saya merantau, jauh, ke Bandung. Tanpa saudara
di sana.”
Satu
lagi yang cukup membekas. Saat itu sedang rame-ramenya crush gear. Saya senang bukan kepalang saat bisa beli dari kumpulin
uang jajan, main umbul, dan duit dari
Ibu. Setiap hari, setiap waktu, saya bongkar, saya pasang, saya jalankan, saya
bongkar lagi, saya pasang lagi, saya jalankan, terus begitu hingga lupa
belajar. Ibu sudah ingatkan berkali-kali. Bapak ingatkan satu kali, saya bilang
oke. Tapi omong tok haha.
Ingatkan kedua kali, saya jawab,”Ntar!”.
Akhirnya, setelah tiga kali itu mainan diambil Bapak dan dibanting. Man! Rusak
deh dia! Saya nangis dong hahaha. Tapi ya gimana lagi, takut saya sama Bapak.
Besoknya saat Bapak bantu ngelemin body yang pecah, beliau berkata,”Nih, gini
aja gak bisa. Makanya belajar. Nanti bisa.” Mungkin inilah yang bikin saya pengen
jadi Insinyur Mesin :p
Wow!
Bapak Saya Memang Bukan…, Tapi…
Bapak
saya bukanlah Super Dad yang banyak senyum
dan bercanda selayaknya ayah-ayah lain yang sering kalian lihat di sinetron
atau film-film. Alih-alih tersenyum, Bapak saya lebih suka tertawa. Alih-alih
bercanda, Bapak lebih suka adu ejekan dengan saya. Tapi, Bapak saya adalah
orang yang bisa berkata tentang perjuangan dan sulitnya masa muda tanpa saya
bisa mencemooh,”Halah, omong doang. Wong dari kecil dimanja kakek!”
Bapak saya bukanlah ayah yang
menang Daddy Award. Bahkan Bapak tak
pernah belajar ilmu parenting. Bapak
bukanlah ayah yang penuh perhatian mengajari anaknya, membimbing dengan lembut.
Tapi percayalah, saya, sebagai hasil didikannya merasakan Bapak tak pernah
main-main dalam mendidik. Dan saya merasa dididik menjadi seteguh batu karang,
tentang kode etik tak tertulis menjadi laki-laki harus mandiri. Untunglah, Ibu
saya mengimbanginya.
Bapak bukanlah ahli agama yang
lurus manhajnya semenjak awal. Bahkan Bapak tak asing dengan ilmu perbandingan
agama, dan Bapak kuliah di tempat yang bahaya bagi keimanan. Namun, qadarullah,
Bapak bukanlah orang saklek yang tak menerima kebenaran. Dan kini tahu, menjadi
muslim tak bisa hanya dilihat dari KTP. Dan pernyataan bahwa semua agama sama
bisa menjadikan kekafiran. Melakukan amalan pun tak hanya bisa asal kata
orang-orang itu sudah budaya.
Bapak saya bukanlah ayah manis yang
menerima curahan rasa cinta saya. Bapak pernah saya “benci”, ketika memarahi
dengan kata-kata keras dan pedas. Dengan kontak fisiknya. Namun saya kini
sadar, dalam batas tertentu itu memang yang terbaik untuk saya yang nakalnya
minta ampun ini.
Bapak saya bukanlah orang yang
perhatian, sehingga bisa jadi tempat curhat yang asyik. Bapak tak pernah
menanggapi keluhan saya dengan lembut. Bapak justru memotongnya, mengajak saya
adu argument. Dan sesi menye curhat akhirnya berubah menjadi diskusi panas,
karena masing-masing memiliki kebenaran versinya masing-masing. Dulu saat kecil
saya sering kalah, tapi semenjak jauh dari rumah, entah kenapa Bapak semakin
menghargai saya sebagai seorang yang dewasa seutuhnya. Darinya saya percaya,
seorang laki-laki tak boleh mengeluh sampai curhat sembarangan.
Bapak saya bukanlah orang yang
kaya. Bukanlah CEO perusahaan ini atau direktur perusahaan sana. Bahkan urusan
finansial sedari kecil saya telah terbiasa merasakan dan memikirkan, dan ini
memang batasan dari keluarga kami. Tapi Bapak menggantinya dengan yang lebih
baik. Tentang pengajaran bahwa hidup selalu mulai dari bawah. Bahwa hidup itu
tentang usaha. Bahwa dunia bukanlah tujuan, melainkan hanya sarana.
Bapak saya bukanlah orang yang
berilmu tinggi. Tak ada S2 apalagi S3. Tapi bagi saya, Bapak adalah pintu
pertama saya dalam memahami dunia dalam paradigma sebagai laki-laki. Dan meski
mungkin ada cara parenting-nya yang
kurang tepat, saya tetap menghormati dan mencintainya sepenuh saya bisa. Darinya
saya belajar, dan darinya saya pula saya mengoreksi yang tidak benar.
Bapak sekali lagi bukanlah tipe
ayah yang suka mengatakan sesuatu dengan indah. Bapak tak pernah sekalipun berkata,”Mas
Heri, Bapak sayang Mas. Bapak sayang bangeeeet.” Karena selain akan terasa
aneh, itu juga terasa sungguh aneh, bahkan aneh sangat (dalam pandangan saya). Dan Bapak tak pernah sekedar
memberi pelukan hangat ketika saya pulang atau saat melakukan sesuatu yang
(saya rasa) membanggakannya. Paling banter hanya bilang,”Wah Mas, bisa juga
kamu” beserta tepukan ringan di bahu. Tapi saya tahu, Bapaklah yang menunggui
saya di RS ketika (secara harfiah) saya mau mati akibat DBD yang aneh saat SMP
dulu. Bapaklah yang tidak tidur 2 hari lebih, meninggalkan semua pekerjaan,
hanya untuk saya yang bahkan tak sadar saat itu saya sudah payah hingga perlu transfusi
plasma darah. Dan saya tahu pula, bagaimana Bapak membanggakan saya di depan
kawan-kawannya. Karena bagi saya, bahasa cinta seorang laki-laki bukan pada
indahnya diksi, menyentuhnya puisi, atau umbaran kata sayang yang sambil lalu diucap saat pergi dan pulang kerja. Namun cinta adalah kata kerja, tindakan yang telah terealisasi.
Bapak mungkin tak akan pernah
membaca ini, karena itu memang tak penting. Yang penting, Bapak tidak menyesal
telah memiliki anak seperti saya. Bapak tak menyesal telah menghabiskan separuh
hidupnya untuk membesarkan saya.
Dan saya, tak pernah malu
memiliki mentor sepertinya :’)
NB: Search nama Bapak saya, eh keluar waktu Pak Bos kerja bakti :v
NB: Search nama Bapak saya, eh keluar waktu Pak Bos kerja bakti :v
Tuh yang baju putih :p sumber: http://hariansemarangbanget.blogspot.com/2012/06/warga-purwoyoso-bersihkan-semak-belukar.html |
0 komentar:
Posting Komentar