Banyak
orang yang mempertanyakan tentang kematian. Mulai urusan remeh macam apakah
Romeo dan Juliet akan menjadi sepasang kekasih setelah mati hingga yang berat
seperti benarkah ada kehidupan setelah mati. Ada pula yang takut mati, atau
bahkan yang ingin segera mati. Yang lebih mengenaskan, adalah mereka yang mati
sebelum mati. Mereka, yang membunuh mimpi dan ambisinya.
Aku
pun sama dengan kalian. Sama bingungnya. Apakah mati itu menyeramkan, atau mati
sekedar jalan menuju tempat yang lain? Persis seperti jika aku ingin bertemu
dengan gadis pujaanku, aku harus melewati depan rumah gadis yang memujaku? Hahaha,
lupakanlah urusan cinta segitiga ini.
Beberapa
hari yang lalu, seorang tetangga mengalami musibah. Ya, ibunya meninggal. Dan tentu
aku melayat, sekedar memenuhi norma agar tak dikira sebagai mahasiswa apatis
yang tak peka dengan lingkungan. Karena akhir-akhir ini masyarakat sudah
melihat betapa mahasiswa semakin melangit, menjauhi lingkungannya yang di bumi
masyarakat. Oke, cukup dengan urusan kemahasiswaan ini. kembali pada urusan
mati tadi.
Tetanggaku
ini, sebenarnya sudah jauh lebih dewasa dariku. Berusia 26 tahun, belum
menikah. Sebut saja namanya Ihsan. Mas Ihsan bisa dibilang seorang eksekutif
muda, dan telah mapan untuk ukuran pria seusianya. Rumah punya, mobil pun ada. Tak
disangka, 2 hari kemudian kami bertemu di warung kopi.
“Mas
Andri kok tumben sudah pulang jam segini?” sapa Mas Ihsan sembari memesan
segelas kopi hitam.
“Haha,
iya mas. Gimana lagi, mahasiswa tingkat akhir gabut ya begini ini. Oh ya Mas,
saya turut berduka cita ya,” jawabku. Kebetulan warung kopi dari tadi sepi,
hanya aku sendiri. Maka kedatangan Mas Ihsan seolah menghilangkan sepi
tersebut.
Lalu
mulailah kami saling bercerita. Atau tepatnya, ia yang berkeluh kesah. Betapa sedih
ditinggalkan ibunya meninggal. Betapa ia belum sempat membahagiakan seutuhnya. Saat
kubilang bukankah ia telah melakukan semua yang pantas, bahkan meng-haji-kan, ia
berkata ada satu yang kurang.
“Saya
belum sempat memberikan beliau cucu Mas. Saya, sebagai anak pertama, belum
merasa lengkap dalam membahagiakan beliau,” katanya sambil menerawang. Dan matanya
pun berkaca-kaca. Aku, demi sopan santun pun menepuk-nepuk pundaknya sambil
berkata menenangkan. Hanya memberikan pesan-pesan klise semacam “doakan terus
saja Mas” dan “ini sudah takdir Tuhan”. Lalu, sekitar jam 11 malam aku pun
berpamitan pulang. Karena yang aku beli sedari tadi bukanlah kopi, namun dua
gelas susu coklat hangat. Pantas saja jam segini aku sudah mengantuk.
***
Pagi
ini aku bersepeda. Yang di kepalaku hanyalah tentang segera bertemu gadis yang
kusuka. Tak peduli dengan kabut yang masih bersisa. Namun, semua menjadi tak
semudah yang kukira…
Dari
depan sana, sebuah truk melaju kencang dan masuk ke dalam jalurku. Truk itu
pun, tanpa ampun menghajarku hingga yang aku ingat hanya kilatan lampu sorotnya
yang membutakan mata.
Tiba-tiba,
aku dibangunkan oleh suatu cahaya yang terang namun meneduhkan. Dan ada seorang
pria yang tak kukenal di sampingku. Pria berusia tiga puluhan, berbadan tegap,
dan berambut sepundak.
“Siapakah
Anda?” tanyaku.
“Nanti
kau juga akan tahu. Yang lebih penting, apakah kau tahu siapa dirimu?” tanyanya
denga npertanyaan yang “menakutkan”, anehnya aku merasa tetap tenang di
sampingnya. Yah, aku pun menganggukkan kepala.
“Bagus,”
katanya lagi.
“Eh
Pak, apakah saya sudah mati?” tanyaku tiba-tiba, mengingat insiden “ciuman”
dengan truk barusan.
“Nanti
kau juga akan tahu. Sekarang, mari kita jalan-jalan.”
Kami
pun menyusuri jalanan yang aneh. Sepertinya jalanan hanya habis di ujung sana,
ternyata masih bersambung hingga antah berantah. Aku pun melihat seorang pemuda
yang menyandang AK-47 dengan baju berlumuran cat berwarna merah sedang mengisi
suatu daftar di satu konter. Dan astaga, parfumnya yang wangi menyenangkan bisa
sampai ke hidungku. Padahal kuperkirakan jarakku dengannya sekira 50 meter. Apakah
cat berwarna merah itu parfumnya? Entah.
“Pak,
pemuda yang di sana itu. Sedang apa dia?”
“Oh,
dia sedang kebingungan. Dia telah menuliskan nama ibunya, ayahnya, tiga
saudaranya, dan tiga puluh tujuh nama saudaranya yang lain. Padahal masih ada dua
puluh delapan slot nama yang tersisa. Nama-nama itu yang nantinya akan
memperoleh koneksi dengannya saat pengadilan agar bisa dipermudah.”
“Memang
apa yang dilakukan pemuda itu?”
“Oh,
hanya satu hal. Dia berperang demi membela saudaranya, juga kehormatan dan
kebenaran yang ia yakini. Untungnya kebenaran itu sejenis dengan kebenaran
menurut Sang Hakim. Lalu ia tertembak sambil saat meneriakkan nama Sang Hakim.
Tentu, Sang Hakim sangat senang dan tersanjung, hingga ia memperoleh kemudahan
itu. Yah, sesederhana itu saja.” Dan aku pun ber-oooooh panjang.
Lalu
aku pun berteriak,”Pak! Bukankah itu ibu Mas Ihsan?! Wah, apa pula yang ia
lakukan di konter yang itu?”
“Oh,
ia hanya sedang mengambil jatah koinnya. Setiap saat anak-anaknya mengirimkan
koin buatnya. Kau lihat bukit gedung besar itu? Itu adalah gudang penyimpanan
koin-koinnya. Dan sepertinya kami harus segera membuatkan satu gedung baru
lagi. Anak-anaknya seperti tak punya lelah untuk mengiriminya koin itu.”
“Apa
guna koin itu?”
“Nanti,
saat pengadilan dibuka oleh Sang Hakim, koin ini akan menjadi pertimbangan atas
keputusan Sang Hakim.”
Dan
kembali, aku hanya ber-oooooh panjang. Hingga suatu kesadaran menghantamku
seketika!
Lalu,
bagaimana dengan koinku? Apakah koinku bisa berbunga-bunga seperti milik ibu
Mas Ihsan? Apakah aku bisa mendapat koneksi dengan Sang Hakin nanti seperti
sang pemuda tadi? Dan sesuatu yang lebih serius pun hadir, tidakkah aku belum
melakukan apa-apa untuk ibuku? Tidakkah aku tak bisa mengiriminya koin lagi,
pun dengan membuatkan daftar koneksi? Tidakkah aku yang selama ini meminta koin
selalu darinya?
“Ibu, aku mau ujian. Mohon doanya
ya…”
“Ibu, anakmu akan berangkat ke
Bangka. Mohon didoakan ya…”
Ibuku selalu mendoakanku di setiap
helaan napasnya. Berharap yang terbaik. Berharap tabungan koinku selalu cukup. Bahkan
senyumnya saja pun telah memberikan koin padaku. Lihatlah, lihatlah gundukan
koin di belakang itu. Yang itu dari ibuku. Yang itu dari ayahku. Lalu, apa yang
pernah kulakukan untuk mereka. Di dunia aku pun belum merasa menjadi anak yang
berguna, dan di sini bahkan aku hanya menyumbang sangat sedikit koin untuk
mereka. Aku memberikan koin pun macet-macet, apalagi menuliskan namanya di
daftar 70 orang yang akan mendapat koneksi dengan Sang Hakim.
Lalu aku pun sudah di sini. Di tempat
di mana aku hanya bisa berharap menolong diriku dengan bekal koinku yang
sedikit (dan beberapa tambahan tiap bulan dari beberapa pekerjaanku yang
membungakan koin) dan belas kasihan Sang Hakim nanti.
Aku pun jatuh terduduk,
meraung-raung. Merindukan senyum ibu dan bapakku. Yang selama ini sering
terlupa oleh urusan remeh semacam tugas atau kesibukan. Yang hanya kuhubungi
ketika kubutuhkan doanya, dan buru-buru menutup telpon dengan alasan sedang
mengerjakan PR. Lalu, kini aku telah di sini? Begitu cepat?
Aku jatuh meraung-raung. Menangisi
kondisi diriku sendiri. Menangisi akan kesia-siaan yang telah aku lakukan. Dan pria
berambut sepundak itu hanya membiarkanku…
***
Aku terbangun. Kulihat jam, 03.27
WIB. Seharusnya kamarku ini dingin, namun kasurku basah oleh keringat. Aku menggigil.
Masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, terasa ada yang
hangat di pipiku. Astaga, aku menangis dalam tidurku. Aku lihat bantalku, ia
pun basah oleh air mata dan keringat.
Dengan tangan gemetar kuraih HP
di meja belajar, dan susah payah menekan tulisan “IBU”. Dua kali percobaan baru
diangkat, oleh malaikat yang dihadirkan Sang Hakim untukku di dunia ini.
“Assalamu’alaykum, ada apa Mas
Andri telpon jam segini?” tanya ibuku dengan nada khawatir.
“Ibu, apakah engkau ridha
memiliki anak sepertiku?”
Lama tak ada jawaban, hanya isak
tangis yang kudengar.
“Ibu
selalu ridha denganmu Nak. Apakah engkau ridha memiliki ibu sepertiku?” jawab
ibu dengan susah payah dalam tangisnya.
Sekarang
giliranku yang jatuh terduduk, sekali lagi menangis…
NB: ini murni
cerpen. Fiksi. Sekedar kisah yang terinspirasi kejadian tadi pagi. Ditulis sambil
menahan agar air mata tidak tumpah. Namun, membendung kerinduan itu tidaklah
mudah :’)
NB2: semoga
bermanfaat
ini apaan ya bang?
BalasHapus