Minggu, 15 Maret 2015

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,
sumber: https://nafay.files.wordpress.com/2012/04/1306653387-jpg.png




                Dulu saya pernah mendengar cerita tentang telur, kopi, dan wortel. Tepatnya dari Bundel Soal Gamais (BSG), yang mana Anda sulit diakui sebagai anak ITB yang merasakan serunya TPB jika tidak mengetahui buku kumpulan soal tersebut. Setelah googling, saya pun mendapatkan kisahnya. Baik, ini saya salinkan:

“Seorang anak perempuan mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia merasa capai untuk terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah teratasi, maka persoalan yang lain muncul.

Lalu, ayahnya yang seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panci pertama dimasukkannya beberapa wortel Ke dalam panci kedua dimasukkannya beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji- biji kopi. Lalu dibiarkannya ketiga panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata. Sang anak perempuan mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya mematikan kompor. Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok. Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir. Segera sesudah itu ia berbalik kepada putrinya, dan bertanya:


 “Sayangku, apa yang kaulihat?”

 “Wortel, telur, dan kopi,” jawab anaknya. Sang ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan telur matang yang keras. Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia bertanya

“Apa artinya, Ayah?”

Sang ayah menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air
yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.

“Yang mana engkau, anakku?” sang ayah bertanya.

“Ketika penderitaan mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel, telur, atau kopi?”

Bagaimana dengan ANDA, sobat?

Apakah Anda seperti sebuah wortel, yang kelihatan keras, tetapi saat berhadapan dengan kepedihan dan penderitaan menjadi lembek, lemah, dan kehilangan kekuatan?

Apakah Anda seperti telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya berjiwa lembut, tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau pemecatan, Anda menjadi keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap sama, tetapi apakah Anda menjadi pahit, tegar hati,serta kepala batu?

Atau apakah Anda seperti biji kopi? Kopi mengubah air panas, hal yang membawa kepedihan itu, bahkan pada saat puncaknya ketika mencapai 100 C. Ketika air menjadi panas, rasanya justru menjadi lebih enak. Apabila Anda seperti biji kopi, maka ketika segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk sekalipun Anda dapat menjadi lebih baik dan juga membuat suasana di sekitar Anda menjadi lebih baik.

Bagaimana cara Anda menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur, atau biji kopi?”

Baik, itulah ibrahnya. Namun, dalam perjalanan ke kampus tadi (benar-benar jalan kaki), saya pun merasa ada hal yang lain yang bisa kita—saya—ambil pelajaran dari hal ini.

Yang pertama tentu seperti yang telah disebutkan. Bahwa dengan perlakuan yang sama, ternyata menghasilkan efek yang berbeda. Dan adalah tugas kita untuk selalu menjadi individu yang adaptif, agar dengan kondisi lingkungan seperti apapun kita masih mampu memproduksi sesuatu yang positif. Karena menurut teori evolusi, yang paling adaptatif-lah yang akan bertahan.

Yang kedua, ini murni muncul dari kepala saya. Bahwa ternyata, kita bisa mengambil sudut pandang yang sebaliknya. Kalau orang matematika bilang ‘kontra-posisi’. Yang sudah lupa, silahkan googling. Jadi menurut saya,  ada saat di mana setiap orang itu special. Unik. Sehingga untuk mendapatkan respon yang sama dari setiap orang, maka akan menuntut analisis kondisi dan kebutuhan target tersebut.

Misalkan, lembaga pendidikan memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia. Menjadikan manusia yang memahami dirinya, lalu Tuhannya, untuk kemudian memahami bagaimana ia harus bertindak. Menurut saya, pendidikan memiliki tujuan “sesimpel” itu. Misalkan ada seorang anak yang mengenali dirinya bahwa ia komunikatif, dan ia begitu menyenangi ilmu syar’i. Maka akan beda perlakuannya jika ada seorang anak yang menyukai ilmu teknik. Keduanya harus disinergikan, diberikan pemahaman akan apa potensi dirinya, lalu menyadari bahwa potensi itu harus digunakan untuk mengabdi pada Tuhannya. Anak yang pertama perlu dididik dengan belajar ilmu fiqih yang mendalam, sedangkan yang kedua perlu belajar ilmu teknik secara mendalam pula.

Namun yang mengenaskan, kini saya merasa pendidikan yang ada menjejali seorang anak dengan doktrin “dia harus bisa semuanya”. Kalau gurunya saja per mata pelajaran, apa tidak konyol untuk menyuruh seorang anak remaja belajar semuanya? Seorang anak yang benci dengan music, lalu diminta belajar tentang al tersebut. Bahkan anak tersebut dari lahir hingga sekarang menjelang usia 22 tahun pun masih tidak paham apa itu bedanya “do” dan “re”.

Atau seorang anak yang begitu menyukai olahraga, lalu ia pun diperintahkan belajar ilmu fisika yang mbulet itu. Wah, kalau anaknya senang sih tak masalah. Bagaimana jika ia tertekan karena setiap orang tua berpikir bahwa ilmu fisika akan menjamin satu pintu surga?

Jadi, intinya saya sedang mengajak diri saya sendiri pada khususnya, dan pembaca jika berkenan, bahwa seringkali kita diposisi sebagai mereka yang ‘memproses’. Posisi sebagai guru, sebagai pelatih, dan bahkan mungkin nanti sebagai suami (ehem). Maka kita harus mengerti, bagaimana cara terbaik untuk mengomunikasikan suatu materi. Agar respon yang dihasilkan adalah respon yang diharapkan dan terbaik menurut agama.

Namun, saat kita sebagai yang ‘diproses’, berusahalah untuk menjadi seadaptif mungkin. Pahami bahwa tiap guru kita adalah pribadi yang berbeda, oleh karenanya kita pun harus bisa menyesuaikan diri dengan caranya. Mentok-mentoknya, ya niatkan kita cuma mau mengambil ilmunya saja. Dan asal diketahui, meminta ilmu itu ada adabnya.

Mengapa saya seolah menulis tema ini berulang-ulang? Tentang selalu bertindak sesuai posisi kita? Karena banyak orang bodoh di dunia ini—kadang saya juga begitu—yang selalu bertindak dengan posisi lawannya. Misalkan, jika dia adalah orangyang diberi nasehat, ia pun menuntut sang pemberi nasehat untuk be nice padanya. Ia sangat mempermasalahkan cara pemberi nasehat menasehatinya alih-alih berusaha mengambil substansi dari nasehat tersebut. Dan sebaliknya, ketika ia menjadi orang yang memberi nasehat, ia menuntut yang diberinya nasehat menerima apapun yang ia katakan. Tak peduli betapa menyakitkan cara menasehatinya.

Contoh paling krusial lain. Seorang wanita menuntut mahar setinggi mungkin dari sang pria. Sedangkan sang pria menuntut si wanita untuk menurunkan mahar yang ia minta. Sang pria ingin memberikan mahar seminimal mungkin. Kalau begini ya tidak akan ketemu dengan enak. Setiap orang harus mengorbankan egonya kan? Itu tidak asik. Bagaimana jika dibalik. Sang wanita meminta mahar seringan mungkin, sedangkan sang pria menawarkan mahar sebanyak yang ia bisa. Tawar-menawarnya tentu akan jadi elegan kan? Karena sebaik-baik lelaki adalah yang besar maharnya. Sedangkan sebaik-baik wanita adalah yang ringan maharnya.

                So, itulah pelajaran yang saya dapat. Kalau yang urusan mahar itu baru kepikiran barusan waktu nulis kok hehehe :p

0 komentar:

Posting Komentar