sumber: https://nafay.files.wordpress.com/2012/04/1306653387-jpg.png |
Dulu
saya pernah mendengar cerita tentang telur, kopi, dan wortel. Tepatnya dari
Bundel Soal Gamais (BSG), yang mana Anda sulit diakui sebagai anak ITB yang
merasakan serunya TPB jika tidak mengetahui buku kumpulan soal tersebut. Setelah
googling, saya pun mendapatkan kisahnya. Baik, ini saya salinkan:
“Seorang anak
perempuan mengeluh pada sang ayah tentang kehidupannya yang sangat berat. Ia
tak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan bermaksud untuk menyerah. Ia merasa
capai untuk terus berjuang dan berjuang. Bila satu persoalan telah teratasi,
maka persoalan yang lain muncul.
Lalu, ayahnya yang
seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci dengan air kemudian
menaruh ketiganya di atas api. Segera air dalam panci-panci itu mendidih. Pada
panci pertama dimasukkannya beberapa wortel Ke dalam panci kedua dimasukkannya
beberapa butir telur. Dan, pada panci terakhir dimasukkannya biji- biji kopi.
Lalu dibiarkannya ketiga panci itu beberapa saat tanpa berkata sepatah kata.
Sang anak perempuan mengatupkan mulutnya dan menunggu dengan tidak sabar. Ia keheranan
melihat apa yang dikerjakan ayahnya. Setelah sekitar dua puluh menit, ayahnya
mematikan kompor. Diambilnya wortel-wortel dan diletakkannya dalam mangkok.
Diambilnya pula telur-telur dan ditaruhnya di dalam mangkok. Kemudian
dituangkannya juga kopi ke dalam cangkir. Segera sesudah itu ia berbalik kepada
putrinya, dan bertanya:
“Sayangku, apa yang kaulihat?”
“Wortel, telur, dan kopi,” jawab anaknya. Sang
ayah membawa anaknya mendekat dan memintanya meraba wortel. Ia melakukannya dan
mendapati wortel-wortel itu terasa lembut. Kemudian sang ayah meminta anaknya
mengambil telur dan memecahkannya. Setelah mengupas kulitnya si anak mendapatkan
telur matang yang keras. Yang terakhir sang ayah meminta anaknya menghirup
kopi. Ia tersenyum saat mencium aroma kopi yang harum. Dengan rendah hati ia
bertanya
“Apa artinya, Ayah?”
Sang ayah
menjelaskan bahwa setiap benda telah merasakan penderitaan yang sama, yakni air
yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.
yang mendidih, tetapi reaksi masing-masing berbeda. Wortel yang kuat, keras, dan tegar, ternyata setelah dimasak dalam air mendidih menjadi lembut dan lemah. Telur yang rapuh, hanya memiliki kulit luar tipis yang melindungi cairan di dalamnya. Namun setelah dimasak dalam air mendidih, cairan yang di dalam itu menjadi keras. Sedangkan biji-biji kopi sangat unik. Setelah dimasak dalam air mendidih, kopi itu mengubah air tawar menjadi enak.
“Yang mana engkau, anakku?” sang ayah bertanya.
“Ketika
penderitaan mengetuk pintu hidupmu, bagaimana reaksimu? Apakah engkau wortel,
telur, atau kopi?”
Bagaimana dengan ANDA,
sobat?
Apakah Anda
seperti sebuah wortel, yang kelihatan keras, tetapi saat berhadapan dengan
kepedihan dan penderitaan menjadi lembek, lemah, dan kehilangan kekuatan?
Apakah Anda
seperti telur, yang mulanya berhati penurut? Apakah engkau tadinya berjiwa
lembut, tetapi setelah terjadi kematian, perpecahan, perceraian, atau pemecatan,
Anda menjadi keras dan kepala batu? Kulit luar Anda memang tetap sama, tetapi
apakah Anda menjadi pahit, tegar hati,serta kepala batu?
Atau apakah Anda
seperti biji kopi? Kopi mengubah air panas, hal yang membawa kepedihan itu,
bahkan pada saat puncaknya ketika mencapai 100 C. Ketika air menjadi panas,
rasanya justru menjadi lebih enak. Apabila Anda seperti biji kopi, maka ketika
segala hal seolah-olah dalam keadaan yang terburuk sekalipun Anda dapat menjadi
lebih baik dan juga membuat suasana di sekitar Anda menjadi lebih baik.
Bagaimana cara
Anda menghadapi penderitaan? Apakah seperti wortel, telur, atau biji kopi?”
Baik, itulah
ibrahnya. Namun, dalam perjalanan ke kampus tadi (benar-benar jalan kaki), saya
pun merasa ada hal yang lain yang bisa kita—saya—ambil pelajaran dari hal ini.
Yang pertama tentu
seperti yang telah disebutkan. Bahwa dengan perlakuan yang sama, ternyata
menghasilkan efek yang berbeda. Dan adalah tugas kita untuk selalu menjadi
individu yang adaptif, agar dengan kondisi lingkungan seperti apapun kita masih
mampu memproduksi sesuatu yang positif. Karena menurut teori evolusi, yang
paling adaptatif-lah yang akan bertahan.
Yang kedua, ini
murni muncul dari kepala saya. Bahwa ternyata, kita bisa mengambil sudut
pandang yang sebaliknya. Kalau orang matematika bilang ‘kontra-posisi’. Yang sudah
lupa, silahkan googling. Jadi menurut saya,
ada saat di mana setiap orang itu special. Unik. Sehingga untuk
mendapatkan respon yang sama dari setiap orang, maka akan menuntut analisis
kondisi dan kebutuhan target tersebut.
Misalkan, lembaga
pendidikan memiliki tujuan untuk memanusiakan manusia. Menjadikan manusia yang
memahami dirinya, lalu Tuhannya, untuk kemudian memahami bagaimana ia harus
bertindak. Menurut saya, pendidikan memiliki tujuan “sesimpel” itu. Misalkan ada
seorang anak yang mengenali dirinya bahwa ia komunikatif, dan ia begitu
menyenangi ilmu syar’i. Maka akan beda perlakuannya jika ada seorang anak yang
menyukai ilmu teknik. Keduanya harus disinergikan, diberikan pemahaman akan apa
potensi dirinya, lalu menyadari bahwa potensi itu harus digunakan untuk
mengabdi pada Tuhannya. Anak yang pertama perlu dididik dengan belajar ilmu
fiqih yang mendalam, sedangkan yang kedua perlu belajar ilmu teknik secara
mendalam pula.
Namun yang
mengenaskan, kini saya merasa pendidikan yang ada menjejali seorang anak dengan
doktrin “dia harus bisa semuanya”. Kalau gurunya saja per mata pelajaran, apa
tidak konyol untuk menyuruh seorang anak remaja belajar semuanya? Seorang anak
yang benci dengan music, lalu diminta belajar tentang al tersebut. Bahkan anak
tersebut dari lahir hingga sekarang menjelang usia 22 tahun pun masih tidak
paham apa itu bedanya “do” dan “re”.
Atau seorang anak
yang begitu menyukai olahraga, lalu ia pun diperintahkan belajar ilmu fisika
yang mbulet itu. Wah, kalau anaknya senang sih tak masalah. Bagaimana jika ia
tertekan karena setiap orang tua berpikir bahwa ilmu fisika akan menjamin satu
pintu surga?
Jadi, intinya saya
sedang mengajak diri saya sendiri pada khususnya, dan pembaca jika berkenan,
bahwa seringkali kita diposisi sebagai mereka yang ‘memproses’. Posisi sebagai guru, sebagai pelatih, dan bahkan
mungkin nanti sebagai suami (ehem). Maka kita harus mengerti, bagaimana cara
terbaik untuk mengomunikasikan suatu materi. Agar respon yang dihasilkan adalah
respon yang diharapkan dan terbaik menurut agama.
Namun, saat kita
sebagai yang ‘diproses’, berusahalah
untuk menjadi seadaptif mungkin. Pahami bahwa tiap guru kita adalah pribadi
yang berbeda, oleh karenanya kita pun harus bisa menyesuaikan diri dengan
caranya. Mentok-mentoknya, ya niatkan kita cuma mau mengambil ilmunya saja. Dan
asal diketahui, meminta ilmu itu ada adabnya.
Mengapa saya
seolah menulis tema ini berulang-ulang? Tentang selalu bertindak sesuai posisi
kita? Karena banyak orang bodoh di dunia ini—kadang saya juga begitu—yang
selalu bertindak dengan posisi lawannya. Misalkan, jika dia adalah orangyang
diberi nasehat, ia pun menuntut sang pemberi nasehat untuk be nice padanya. Ia sangat mempermasalahkan cara pemberi nasehat
menasehatinya alih-alih berusaha mengambil substansi dari nasehat tersebut. Dan
sebaliknya, ketika ia menjadi orang yang memberi nasehat, ia menuntut yang
diberinya nasehat menerima apapun yang ia katakan. Tak peduli betapa
menyakitkan cara menasehatinya.
Contoh paling
krusial lain. Seorang wanita menuntut mahar setinggi mungkin dari sang pria. Sedangkan
sang pria menuntut si wanita untuk menurunkan mahar yang ia minta. Sang pria
ingin memberikan mahar seminimal mungkin. Kalau begini ya tidak akan ketemu
dengan enak. Setiap orang harus mengorbankan egonya kan? Itu tidak asik. Bagaimana
jika dibalik. Sang wanita meminta mahar seringan mungkin, sedangkan sang pria
menawarkan mahar sebanyak yang ia bisa. Tawar-menawarnya tentu akan jadi elegan
kan? Karena sebaik-baik lelaki adalah
yang besar maharnya. Sedangkan sebaik-baik wanita adalah yang ringan maharnya.
So,
itulah pelajaran yang saya dapat. Kalau yang urusan mahar itu baru kepikiran
barusan waktu nulis kok hehehe :p
0 komentar:
Posting Komentar