Sabtu, 31 Mei 2014
Dalam hiruk pikuk perjalanan,
tak ada yang lebih membantu dibanding seorang kawan. Setidaknya untuk tidur
bergantian, agar selalu terjaga barang bawaan. Ah, entahlah apa yang sebenarnya
kini kutuliskan. Mungkin sekedar sebuah catatan, dalam perjalanan menuju
perantauan. Dari tanah yang sudah sejak lama kuinginkan, merekam jejak kaki
yang kutorehkan. Dari sebuah provinsi
yang juga kerajaan. Karena meski Semarang dan Yogyakarta tidaklah berjauhan,
namun kesempatan belum dihadirkan.
Mata pun seakan sulit terpejam. Ketika
jendela menampilkan lukisan alam. Bahkan kehidupan orang-orang yang seolah
bergumam. Namun hei! Lihatlah kawanku yang kini telah memejam.
Kembali saja kuliskan kata-kata,
untuk sebuah cerita. Cerita kesenangan hati akan nikmat yang tiada tara. Kesehatan
dan kebebasan yang membuat merasa sungguh merdeka.
Jeruk adalah mahasiswa baru di
suatu perguruan tinggi yang dianggap cukup bagus di Bandung: ITB. Sejak dahulu
dia hanya bisa bermimpi untuk bisa berjalan tanpa arah sepanjang Indonesia
Tenggelam dengan maksud cuci mata
melihat para mahasiswi fakultas sekitar sambil menikmati indahnya Gunung
Tangkuban Parahu. Melepas penat di selasar Masjid Salman sambil
terkantuk-kantuk. Atau sekedar mengagumi kata-kata dosen di kelas yang unik dan
artistic. Semua yang dulu hanya impian, kini benar-benar terjadi. Benar-benar
dialami.
Hingga tidak heran jika saat
pulang kampung ia begitu berbangga dengan kampusnya. Seluruh atribut yang
menampakkan ke-ITB-an ia pakai. Jeruk mencemooh teman-temannya yang memang
tidak memilih ITB. Ia berkata bahwa teman-temannya salah pilihan. Ia menganggap
bahwa ITB adalah perguruan tinggi terbaik di Indonesia, bahkan dunia. Baginya,
ITB adalah segalanya.
Hingga suatu ketika ada
seseorang yang menunjukkan apa itu MIT, Harvard University, dan lainnya.
Berdasarkan fakta bahwa perguruan tinggi tersebut memang menempati urutan
tinggi di ranking internasional. Namun dia tetap keukeuh bahwa yang lain tetap jelek. Dia sudah buta bahwa di atas
langit selalu ada langit.
Alkisah
di sebuah kampung antah berantah, air sangat sulit ditemukan. Kampung sulit air
itu kebanyakan penduduknya orng baik, tetapi dikuasai oleh para pemabuk yang
suka minum khamr. Mereka mendatangkan berpeti-peti khamr dari negeri yang jauh
untuk memenuhi rasa haus sekaligus hobi mabuknya.
Orang-orang baik berusaha tetap
minum air. Mereka menggali sumur-sumur yang dalam namun tetap gagal memperoleh
air. Mereka hanya bertahan hidup dengan menamung embun di dedaunan atau
menampung air hujan yang sangat jarang turun. Tentu sangat minim, air yang
mereka dapatkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Para pemabuk yang berkuasa di
kampung itu mengatur adat di sana dengan aturan mereka. Mirip Gengis Khan yang
harus kesurupan dan setengah sadar sebelum menulis undang-undang. Para pemabuk
harus pesta anggur beramai-ramai sampai teler sebelum menyusun aturan kampung.
Ritual teler bersama itu
disakralkan. Saking sucinya ritual itu sampai-sampai mereka mengutip ujar-ujar
latin: In Vino Veritas, artinya
“dalam (mabuk) anggur terdapat kebenaran.” Beberapa pemabuk sejati bahkan
membuat pepatah baru yang lebih gila, vox
madidus vox dei—suara pemabuk suara Tuhan.
Senin, 26 Mei 2014
Alhamdulillah,
hari ini sudah di rumah. Namun bukan ini yang ingin saya bagi melainkan hasil
obrolan saya dua hari yang lalu, Sabtu 24 Mei 2014.
Saat
itu merupakan hari di mana otak saya terasa menurun performanya. Logika terasa
berkabut dengan hal-hal yang selama ini saya anggap terlalu sentimentil. Kalau sudah
begini biasanya hal yang dilakukan adalah curhat sama teman. Tetapi jika saya
memiliki cara yang lebih murah: lelahkan badan hingga tidak membuat panjang angan-angan.
Jadilah sore itu saya ke Saraga
(Sarana Olahraga Ganesha), beli tiket renang 3 ribu rupiah dan parkir seribu
rupiah. Byuuuur! Segar! Sejam bolak-balik saya pikir cukup untuk sedikit
melemaskan otot dan otak sehingga saya berencana ke sekre PD ITB buat meminjam sand sack sebagai pelampiasan. Eh, tak
disangka ada orang pakai baju putih yang basah kuyup keringat lagi duduk
membaca buku. Ya, itulah dia pelatih saya sedang refreshing dengan belajar teknik pedang.
Kebetulan nih, bisa pinjam
goloknya buat mainan hehe. Dan jadilah waktu itu saya privat teknik pedang,
teknik harimau, dan serang hindar teknik harimau pula. Tepar? Pasti. Senang?
Jelas. Puas? Ya! Galau? Gak jadi :P
“Yaudah Her, kita fight yok!” kata beliau.
“Wah, ampun Kang! Besok saya
pulang nih haha,” kata saya. Serem juga fight
sama ini orang meski cuma latihan dengan tangan yang sudah gemetar akibat
main golok 1,3 kg dan nafas megap-megap akibat latihan teknik harimau.
Sabtu, 10 Mei 2014
Posted by Heri I. Wibowo | File under : Aku Dan Perisai Diri, Humor, knowledge, Story, Today's Quote
Hari ini saya mengingat lagi
sesuatu yang luar biasa, yang dulu sempat ingin saya tulis namun tidak
terlaksana karena rasa malas menjadi musuh yang utama. Sebuah pelajaran yang
universal, yang saya dapat dari salah satu pelatih saya: Kang Sunan Respati Dananjaya.
Untuk pecandu—perhatikan tidak saya gunakan kata pecinta karena saking cintanya
hehe, maaf Kang :P—beladiri daerah Bandung tentunya nama beliau sudah tidak
asing lagi.
Oke, jadi apa pelajarannya?
Tentu buat mereka yang belum
lupa-lupa amat dengan matematika dasar akan masih ingat grafik berikut:
Kamis, 08 Mei 2014
Umar bin Khattab sedang duduk di bawah sebatang pohon kurma.
Sorbannya dilepas, menampakkan kepala yang rambutnya mulai tipis di beberapa
bagian. Di atas kerikil, ia duduk dengan cemeti imaratnya tergeletak di samping
tumpuan lengan. Di hadapannya, para pemuka sahabat bertukar pikiran dan
membahas berbagai persoalan. Ada anak muda yang tampak menonjol di situ.
Abdullah ibn Abbas. Berulang-ulang Umar memintanya berbicara. Jika perbedaan
wujud, Umar hampir selalu bersetuju dengan Ibnu Abbas. Ada juga Salman Al
Farisi yang tekun menyimak. Ada juga Abu Dzar Al Ghifari yang sesekali bicara
berapi-api.
Pembicaraan mereka segera terjeda. Dua orang pemuda berwajah mirip datang
dengan mengapit pria belia lain yang mereka cekal lengannya.
“Wahai Amirul Mukminin!” ujar salah
satu berseru-seru, “Tegakkanlah hukum Allah atas pembunuhan ayah kami ini!”
Umar bangkit, “Takutlah kalian kepada Allah!” hardiknya, “Perkara apakah ini?”
Kedua pemuda itu menegaskan bahwa pria belia yang mereka bawa itu adalah
pembunuh ayah mereka. Mereka siap mendatangkan saksi dan bahkan menyatakan bahwa
si pelaku ini telah mengaku.
Umar bertanya kepada sang tertuduh, “Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu
ini?”
Langganan:
Postingan (Atom)