Rabu, 18 April 2012

Posted by Heri I. Wibowo |


                Pagi itu, seperti biasa sebelum kuliah dimulai, dosen fisikaku Pak Ferry Iskadar bercerita. Kebiasaan Beliau inilah yang membuat mahasiswa senang. Sebenarnya sebagian besar dosen ITB kayak gini sih, tapi Pak Ferry lebih terjadwal. Alasan Beliau cerita2 gini buat motivasi pagi sambil nunggu teman2 yang belum datang. Bijaksana sekali.
                Kemudian, entah kenapa cerita yang ini terasa spesial sekali. Jika biasanya 90% tentang teknologi, tadi Beliau menyoroti perbedaan kultur antara negeri ini dengan negeri tempatnya dulu kuliah sampai S3, Jepang.
                Kisah dibuka dengan membahas nilai UTS kami(maleeees), yang katanya ada beberapa yang sangat kecil. Waduh, semoga aku gak termasuk dikhawatirkan itu deh. Dan alhamdulilah, aku tidak mendapat panggilan, jadi in sya Allah lumayan deh nilaiku, aamiin.
                Setelah itu Beliau mulai memberi nasihat, bahwa nilai UTS itu tidak bisa bagus kalo cuma hasil kerja semalam. Weh, lumayan tersindir nih. Nah, di sinilah keseruan itu bermula. Beliau mengkritik bagaimana cerita rakyat di Indonesia sangat tidak kondusif untuk membangun mental juara putra-putri bangsa ini. Beliau mencontohkan kisah Sangkuriang.
                Sangkuriang, yang katanya sakti, sebenarnya mampu saja membuat sebuah perahu dalam waktu semalam jika saja tidak diganggu oleh Dayang Sumbi. Bayangkan itu! Dalam kisah ini anak2 akan mengambil kesimpulan bahwa kesuksesan itu dapat dibangun dalam waktu semalam. Bahwa tak perlu apa itu yang kita sebut kerja keras dan latihan tak kenal bosan. Mereka telah dididik jika yang instan itu keren. Yaaaah, pantas saja generasi muda kita sekarang sebagian besar begitu mendewakan ke-instan-an. Bahkan yang tua2 pun ikut2an bermalas2an.
                Menurutku, apa kata Pak Ferry sangat benar kalau melaihat kenyataan yang menimpa bangsa ini(yaiyalah,  Beliau kan dosen terbaik se-Indonesia tahun 2010). Coba deh rasakan aja. Mau ujian, belajarnya cuma pas malemnya aja. Terus pas kepepet gak bisa akhirnya nyontek(untung ITB sangat tidak menolerir tindakan hina ini ). Mereka tidak berpikir, bahwa buah karbitan itu rasanya tak seenak yang matang asli. Mereka lebih malu jika dapat nilai jelek daripada melakukan sebuah kecurangan. Salah masyarakat juga sih, orang tua terutama yang pengen hasil jadinya aja. Rapotlah, ijazahlah. Mereka sangat tidak menghargai proses. Lalu, kalau begini di mana keikhlasannya? 
                Lalu, contoh lain yang lebih memiriskan adalah plagiasi karya orang lain seperti skripsi, disertasi, jurnal dan lain2. Payahnya, ijazah pun ada yang instan. Asal ada duit, terus keburu mau nyalon jadi anggota dewan, beli aja tuh ijazah. Huft, cuma bisa ngelus dada deh, pemimpinnya aja banyak yang nerabas jalur.
                Kembali pada cerita Pak Ferry, kalau di Jepang sana tidak ada seperti itu. Mereka begitu menghargai proses dan kerja keras, sehingga jika peribahasa kita dibawa ke sana yang popular pastilah yang “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian-bersakit-sakit dahulu, bersenang senang kemudian”, bukannya “sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlewati”. Yah, sekali lagi, orang sini sukanya instan2 sih. Makanya suksesnya juga instan, alias cuma sebentar.
                Masih soal nggampangin nih, Beliau cerita di Jepang ada sebuah SOP untuk senantiasa menunjuk sesuatu sebelum mengambil keputusan. Misal nih, aturan kalo keluar ruangan lampu harus mati, orang Jepang bakal nunjuk lampu sambil bilang,”Mati. Mati. Mati.” Tentu dengan bahasa Jepang hehehe. Sebuah latihan kedisiplinan yang terkesan konyol, tapi menurut beliau lebih konyol orang Indonesia yang baru nunjuk sesuatu sambil bilang,”Wah, ada kecelakaan!!!” sambil matanya terbelalak. Ngakak aja kami mendengar lelucon beliau itu. Ngakak getir tepatnya karena aku pun sering begitu saat nunjuk nilai di dinding pengumuman nilai hahaha. Yaaah, kembali lagi ke kultur sih.
                Abis gitu, yang disalahin takdir lagi. Kalau ada tabrakan kereta sama bus yang nerabas plang perlintasan KA pejabat dengan enaknya bilang itu takdir. Itu sama aja bilang, menurut beliau,”Anda makan sambel satu baskom terus Anda sakit, lalu Anda bilang,’wah, ini takdir!’”. Emang deh, orang sini selalu bersu’udzon sama Tuhan dengan selalu menyalahkan takdir. Di Jepang, sejak tahun 60an, dengan kereta super cepatnya tak pernah ada kecelakaan karena human error. Kecelakaan pasti disebabkan oleh bencana alam yang tak terprediksi seperti gempa.     
                Kenapa bisa begitu? Katanya, Jepang yang kalah PD II dilarang AS buat ngembangin senjata dan sebangsanya. Jadilah para ahli negeri itu dikumpulkan untuk membangun sebuah kereta supercepat, Shinkasen. Jika PD II berakhir 40an, dan kereta baru bisa dipakai 70an, berarti ada rentang 20-30 tahun dalam mengembangkan sebuah teknologi yang mumpuni. Memang, begitulah sewajarnya suatu hal yang tak ada lalu dijadikan ada. Perlu proses panjang yang butuh pengorbanan dan kerja keras.
                Sekali lagi, ini benar sekali menurutku. Aku sangat setuju. Lihat aja proyek2 besar anak bangsa ini. Pesawat, kapal, mobil, persenjataan, pasti bnyak yang tersendat2 gara2 kurangnya perhatian pemerintah. Orang2 di atas itu lebih suka beli daripada membangun kemandirian bangsa. Akibatnya? Kita jadi bangsa yang tak punya harga diri, yang bisanya cuma jual kekayaan alam, bukan kekayaan akal.  Tambang pun udah diserahkan ke asing, huh, dasar payah itu orang2 pengambil kebijakan. Kita ngurusinnya seni sama budaya terus, lalu dijual. Makin kuno makin bangga. Apa itu????
                Bukannya aku anti-budaya, namun menurutku kekayaan dan keindahan alam Indonesia ibarat fisik manusia. Kalau yang dijual hanya kecantikan fisiknya, apa bedanya dengan pelacur? Kenapa kekayaan alam itu tak diolah dalam negeri, lalu digunakan sepenuhnya buat kesejahteraan rakyat? Bukannya dijual mentah2 dan akibatnya kita kelimpungan buat sekedar menyubsidi BBM rakyat. Tapi kalo buat bangun gedung dan fasilitas yang tidak menyentuh mashlahat rakyat-yang harganya pun “trilili”-enteng aja. Yang dikejar pasti pajak, pajak dan pajak. Lah, katanya negeri ini kaya? Kok bisa-seperti pernah aku baca-setiap bayi yang lahir udah nagging utang 8 jeti rupiah???? Emang sih, aku cuma mahasiswa tingkat satu, bukan pengambil kebijakan yang (seolah) tahu segalanya itu. Aku hanya heran, KOK BISA YA????? Terus kata Pak Jusuf Kalla, dana APBN yang dialokasikan untuk pembangunan cuma 30%. Lah, yang lainnya ke mana??? TANYA KENAPA…
  Dan teknologi yang di jual pasti tak akan mengurangi sedikitpun kehormatan bangsa ini, bahkan akan mengunggulkannya. Namun salah kita juga sih, di sini keberhasilan iptek jarang diekspos. Yang diekspos justru ajang2 pencarian bakat yang isinya hanya nyanyi, nari dan sebangsanya. Padahal, sudah terlalu lama bangsa ini menunggu sebuah gebrakan teknologi yang mumpuni. Namun, ya itu tadi. Maha karya teknologi tak bisa dibangun hanya dalam 1-2 tahun. Payahnya lagi, pas kita bisa bikin pesawat “gathotkaca”, masyarakat mencibir itu pesawat gak keren, yang akhirnya cuma ditukar beras ketan dari Thailand. Heh, mbok masyarakat itu mikir, di Asia yang udah bisa bikin pesawat saat itu negara mana aja?? Kok sukanya menghina karya anak bangsa. Emang, dalam membangun suatu negeri yang pertama harus dibenahi adalah pola pikir penghuninya deh.
                Dalam bahasa Pak Ferry, teknologi dibangun dalam jangka panjang, dengan dana, pengorbanan dan oleh orang2 yang berpikiran besar. Bukan yang omong besar, apalagi perutnya besar gara2 uang haram. Hidup teknologiku, hidup negeriku!
                Akhirnya, tepat jam 07.15 WIB(eh, mau ada penyatuan zona waktu ya?) kuliah pun dimulai. Rangkaian listrik, dan dimulai pulalah belajarku di kelas ini, di kampus ini, kampus Institut Terbaik Bangsa, eh maksudnya Institut Teknologi Bandung hehehe :P
Bandung, 14 March 2012
Menjelang UTS Kalkulus

0 komentar:

Posting Komentar