Ada
seorang atlet. Badannya atletis dengan stamina dan daya tahan mumpuni serta
kecepatan juga reflex di atas rata-rata(bukan maksud menyebut diri sendiri lho
:P). Ditangannya tersandang raket badminton meski badannya lebih mirip atlet
beladiri. Tak apalaah, mungkin dia bisa menggunakan raket baik dengan tangan
kiri atau pun kanan dengan sama baiknya.
Langkahnya
gagah, memasuki lapangan bulutangkis. Setelah diskusi sebentar dengan wasit dan
lawan di seberang net, pertandingan pun dimulai. Bet bet smash prak boom!!! Pertandingan
begitu keras bung!!! Tapi heyyy, tunggu dulu!!!!
Pertandingan
hanya berjalan sepuluh menit dengan poin 21-0. Bukan, yang menang bukan tokoh kita.
Tapi lawannya! Lho kok???? Ya pastilah, orang dia main badminton dengan aturan
main tennis -,-“ Pasti banyak kawan-kawan bilang,”Lah, koplak banget ini orang
dah!”
Tunggu
kawan, sebenarnya terkadang kita juga melakukannya. “Bermain badminton dengan
aturan main tennis.”
Contohnya
begini. Ada seorang mahasiswa yang tidak setuju dengan system pendidikan di
negeri ini. Katanya tidak menghargai proses, hanya berorientasi pada hasil. Hingga
jika sedang mengobrol dengannnya tentang pendidikan dia pasti bilang,”Apalah
artinya IPK mahasiswa? Kecerdasan mahasiswa tak bisa diukur hanya dengan
angka-angka absurd itu! Uh, kasian mereka yang orientasi kuliahnya hanya
mengejar nilai tapi bukan mengejar ilmu. PRAGMATIS!!!!”
Lalu
dia mengutip perkataan Ranchhoddas "Rancho" Shamaldas Chhanchad dalam
film “3 Idiots”: Jangan mengejar sukses, tapi kejarlah kesempurnaan dan jadilan
orang besar. Maka kesuksesan akan mendatangimu. Wow, begitu keren!! Tapi setelah
usut punya usut ternyata dia termasuk mereka yang nasakom(Nasib Satu Koma).
Kisah
kedua, seorang yang rajin mengaji ilmu agama hingga seolah hidupnya di dunia
ini tak ada manfaatnya. Senantiasa berkata bahwa dunia ini hanya fana dan jangan
sampai diperbudak harta. Namun kitalah yang seharusnya mempergunakan harta untuk
memperjuangkan akhirat kita. Sebuah nasihat yang sangat baik.
Namun,
ternyata dia hanya dianggap angin lalu oleh masyarakatnya. Kenapa? Karena masyarakat
tahu, dia tidak punya penghasilan. Masih menggantungkan diri pada orang tua. Pernah
diberi modal untuk usaha hanya habis dikonsumsi. Kerjanya tiap hari hanya
tiduran di rumah dan malas bekerja.
Kisah
ketiga. Seorang mahasiswa mendapatkan hidayah-MasyaAllah-sehingga ia
meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk seperti perbuatan bid’ah dan sia-sia. Ia
sekarang mengerti apa yang boleh dilakukan bersama dengan orang kafir, dan apa
yang tidak. Ia tahu keutamaan sholat di masjid dan di awal waktu dengan
berjamaah.
Lalu
ketika liburan, dia pulang ke rumah orang tuanya di kota asal. Di rumahnya dia
melihat banyak hal-hal yang mengusik nuraninya seperti kemalasan dalam
mendirikan sholat, perbuatan bid’ah, sia-sia, dan lain lain. Maka dia pun mulai
“berceramah” di hadapan anggota keluarganya. Tentang ini dan itu, lengkap
dengan dalilnya. Lalu, apa yang dikatakan orang tuanya? “Dasar anak sok tahu! Jadi
fanatic kamu sekarang ya??!! Hey, kamu itu gak ada apa-apanya dengan kami. Kami
hidup lebih dulu darimu, hai anak kemarin sore!!!”
Oke,
aku kira 3 kisah di atas cukup untuk menjadi pembuka diskusi kita kali ini. Pada
kisah pertama dan kedua, terdapat kesalahan fatal. Yaitu, berbicara mengenai
buruknya hal yang tak dapat ia capai. Orang-orang akan melihat bahwa yang
berkata hanyalah barisan orang sakit hati yang berusaha mencari teman dalam “keterpurukannya”.
Meskipun
yang dikatakannya benar-benar mengandung hikmah, namun “ketidaksadaran posisi”
acapkali membuat pesan baik yang kita sampaikan hanyalah dikira sebagai omelan
orang iri. Memang, Rancho di 3 idiots mengkritik orang yang menghalalkan segala
cara demi mengejar IPK. Namun dia “pantas” berkata seperti itu, karena nilainya
pun tertinggi di antara seluruh mahasiswa-tanpa meghalalkan segala cara. Sehingga
saat dia berbicara seperti kawan kita di atas itu, Rancho tak akan di cap
sebagai pengejar IP-only.
Seorang
kawan yang selama 2 semester meraih IP 4 pernah berkomentar tentang perkataan “Jangan
jadi pengejar IP, tapi pengejar ilmu”. Dia berkata: sebenarnya kalau seseorang mengejar ilmu(saat kuliah di kelas) dengan
sungguh-sungguh itu biasanya akan memiliki IP yang tinggi. Kalaupun belum, itu
hanya karena dia belum beruntung. Jadi IP sebenarnya hanyalah efek samping.
Hmm, setuju sih bang hehehe. Kenapa aku gampang setuju? Tentu karena dia telah
menjadi pelaku IP tinggi.
Begitu
pula orang di kisah kedua. Andai dia adalah seorang pengusaha besar dengan
harta melimpah dan etos kerja tinggi, lalu dia berkata,”Jangan mau diperbudak
harta, namun jadikanlah ia sarana saja untuk perjuangan dakwah dan jihad” tentu
orang-orang akan lebih menerimanya. Contoh tentang ini sangat banyak, yaitu
para shahabat dan tentu Rasul sendiri. Rasul adalah pengusaha ekspor impor
sukses pada usia 25 tahun. Umar bin Khattab, kekayaan dan tanahnya ada di
mana-mana. ‘Abdurrahman bin Auff, saat perang tabuk menyumbang 900 ekor unta
dengan muatannya!!!! Para shahabat memang dikisahkan hidup dengan sangat
sederhana. Namun mereka tidaklah miskin. Seluruh harta miliknya mereka belanjakan
di jalan Allah. Jadi rumus mereka= Kerja keras->duit banyak->buat dakwah
dan jihad->ridho Allah->surga. Berbeda dengan orang sekarang, kerja
keras->duit banyak->senang-senang.
Jadi
tak ada yang salah menjadi orang kaya. Begitu pula orang kuat, berprestasi, dan
berkuasa. Sungguh, tak ada yang salah. Karena masyarakat memang baru bisa
menerima tentang “siapa yang bicara”, bukan “apa yang dibicarakan”. Dan menurutku
tak ada yang salah dengan kita ikuti dulu peraturan di masyarakat itu. Menjadi orang
yang kuat, kaya, berkuasa, dan menggenggam dunia. Karena seharusnya dunia ini
ada di tangan muslim agar diatur dengan cara yang Disukai Penciptanya.
Kisah
ketiga mengajarkan pada kita bagaimana seni berkomunikasi yang baik. Bukan sekedar
menyampaikan dengan baik, namun juga mengerti kondisi penerima dengan baik. Karena
inti dari komunikasi adalah “seberapa
banyak yang diterima, bukan seberapa banyak yang disampaikan”. Dan sekali
lagi, tentang jangan pernah bermain badminton dengan aturan tennis.
Cara
berkomunikasi dengan orang tua memang sulit. Dan tidak ada yang salah dengan
ini. Karena memang inilah yang biasanya terjadi-kecuali pada beberapa orang tua
yang pemahaman agamanya sudah sesuai Islam yang murni dan lurus. Namun ini
bukan berarti kita tak bisa berdakwah pada orang tua. Justru merekalah
prioritas utama dakwah kita, keluarga.
Caranya-menurut
mentorku-hanya perlu main cantik. Orang tua kita akan lebih melihat perilaku
dan prestasi kita. Jika memang manhaj yang kita ikuti menjadikan kita pribadi
yang lebih kuat, rajin, dan berprestasi tentu orang tua kita akan semakin
memandang kita. Contoh sederhana bagi mahasiswa: Rajin mengerjakan pekerjaan
rumah, membantu orang tua, sholat ke masjid, dan tentu IP yang
membahagiakan-minimal orang tua melihat keseriusan kuliah kita. Maka, suatu
saat orang tua akan mulai berpikir,”Apa ya yang menjadikan anakku demikian?”
Dan, bingo!!! Inilah saatnya kita sedikit demi sedikit memasukkan manhaj hanif
kita pada mereka-insyaAllah. So, berbuatlah saudaraku! Berbuatlah!!
Oh
ya, prinsip “jangan pernah bermain badminton dengan aturan tennis” ini hanya
boleh kita ikuti selama:
1. Tidak
melanggar sedikit pun syari’at Islam. Sehingga ikut-ikutan berdemokrasi demi
mashlahat dakwah bagiku masih menjadi syubhat-misalnya.
2. Kita
dalam posisi sebagai “PEMBERI”
hikmah, BUKAN “PENERIMA” hikmah. Karena
serial tentang penerima hikmah akan di post lain waktu. Inilah kenapa diskusi
ini termasuk dalam serial Adil.
Semoga
kisah-kisah di atas dapat memberikan manfaat. Jika ada kesalahan silahkan
kritik saya.
NB: Maaf jika kisah pertama agak
SARIP hehe. IP saya juga belum pernah 4 kok, mohon doanya ehehe biar ngerasain IP 4.
0 komentar:
Posting Komentar