Minggu, 13 Januari 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,


              





                Ada seorang atlet. Badannya atletis dengan stamina dan daya tahan mumpuni serta kecepatan juga reflex di atas rata-rata(bukan maksud menyebut diri sendiri lho :P). Ditangannya tersandang raket badminton meski badannya lebih mirip atlet beladiri. Tak apalaah, mungkin dia bisa menggunakan raket baik dengan tangan kiri atau pun kanan dengan sama baiknya.

                Langkahnya gagah, memasuki lapangan bulutangkis. Setelah diskusi sebentar dengan wasit dan lawan di seberang net, pertandingan pun dimulai. Bet bet smash prak boom!!! Pertandingan begitu keras bung!!! Tapi heyyy, tunggu dulu!!!!

                Pertandingan hanya berjalan sepuluh menit dengan poin 21-0. Bukan, yang menang bukan tokoh kita. Tapi lawannya! Lho kok???? Ya pastilah, orang dia main badminton dengan aturan main tennis -,-“ Pasti banyak kawan-kawan bilang,”Lah, koplak banget ini orang dah!”

                Tunggu kawan, sebenarnya terkadang kita juga melakukannya. “Bermain badminton dengan aturan main tennis.”


                Contohnya begini. Ada seorang mahasiswa yang tidak setuju dengan system pendidikan di negeri ini. Katanya tidak menghargai proses, hanya berorientasi pada hasil. Hingga jika sedang mengobrol dengannnya tentang pendidikan dia pasti bilang,”Apalah artinya IPK mahasiswa? Kecerdasan mahasiswa tak bisa diukur hanya dengan angka-angka absurd itu! Uh, kasian mereka yang orientasi kuliahnya hanya mengejar nilai tapi bukan mengejar ilmu. PRAGMATIS!!!!”

                Lalu dia mengutip perkataan Ranchhoddas "Rancho" Shamaldas Chhanchad dalam film “3 Idiots”: Jangan mengejar sukses, tapi kejarlah kesempurnaan dan jadilan orang besar. Maka kesuksesan akan mendatangimu. Wow, begitu keren!! Tapi setelah usut punya usut ternyata dia termasuk mereka yang nasakom(Nasib Satu Koma).

                Kisah kedua, seorang yang rajin mengaji ilmu agama hingga seolah hidupnya di dunia ini tak ada manfaatnya. Senantiasa berkata bahwa dunia ini hanya fana dan jangan sampai diperbudak harta. Namun kitalah yang seharusnya mempergunakan harta untuk memperjuangkan akhirat kita. Sebuah nasihat yang sangat baik.

                Namun, ternyata dia hanya dianggap angin lalu oleh masyarakatnya. Kenapa? Karena masyarakat tahu, dia tidak punya penghasilan. Masih menggantungkan diri pada orang tua. Pernah diberi modal untuk usaha hanya habis dikonsumsi. Kerjanya tiap hari hanya tiduran di rumah dan malas bekerja.

                Kisah ketiga. Seorang mahasiswa mendapatkan hidayah-MasyaAllah-sehingga ia meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk seperti perbuatan bid’ah dan sia-sia. Ia sekarang mengerti apa yang boleh dilakukan bersama dengan orang kafir, dan apa yang tidak. Ia tahu keutamaan sholat di masjid dan di awal waktu dengan berjamaah.

                Lalu ketika liburan, dia pulang ke rumah orang tuanya di kota asal. Di rumahnya dia melihat banyak hal-hal yang mengusik nuraninya seperti kemalasan dalam mendirikan sholat, perbuatan bid’ah, sia-sia, dan lain lain. Maka dia pun mulai “berceramah” di hadapan anggota keluarganya. Tentang ini dan itu, lengkap dengan dalilnya. Lalu, apa yang dikatakan orang tuanya? “Dasar anak sok tahu! Jadi fanatic kamu sekarang ya??!! Hey, kamu itu gak ada apa-apanya dengan kami. Kami hidup lebih dulu darimu, hai anak kemarin sore!!!”

                Oke, aku kira 3 kisah di atas cukup untuk menjadi pembuka diskusi kita kali ini. Pada kisah pertama dan kedua, terdapat kesalahan fatal. Yaitu, berbicara mengenai buruknya hal yang tak dapat ia capai. Orang-orang akan melihat bahwa yang berkata hanyalah barisan orang sakit hati yang berusaha mencari teman dalam “keterpurukannya”.

                Meskipun yang dikatakannya benar-benar mengandung hikmah, namun “ketidaksadaran posisi” acapkali membuat pesan baik yang kita sampaikan hanyalah dikira sebagai omelan orang iri. Memang, Rancho di 3 idiots mengkritik orang yang menghalalkan segala cara demi mengejar IPK. Namun dia “pantas” berkata seperti itu, karena nilainya pun tertinggi di antara seluruh mahasiswa-tanpa meghalalkan segala cara. Sehingga saat dia berbicara seperti kawan kita di atas itu, Rancho tak akan di cap sebagai pengejar IP-only.

                Seorang kawan yang selama 2 semester meraih IP 4 pernah berkomentar tentang perkataan “Jangan jadi pengejar IP, tapi pengejar ilmu”. Dia berkata: sebenarnya kalau seseorang mengejar ilmu(saat kuliah di kelas) dengan sungguh-sungguh itu biasanya akan memiliki IP yang tinggi. Kalaupun belum, itu hanya karena dia belum beruntung. Jadi IP sebenarnya hanyalah efek samping. Hmm, setuju sih bang hehehe. Kenapa aku gampang setuju? Tentu karena dia telah menjadi pelaku IP tinggi.

                Begitu pula orang di kisah kedua. Andai dia adalah seorang pengusaha besar dengan harta melimpah dan etos kerja tinggi, lalu dia berkata,”Jangan mau diperbudak harta, namun jadikanlah ia sarana saja untuk perjuangan dakwah dan jihad” tentu orang-orang akan lebih menerimanya. Contoh tentang ini sangat banyak, yaitu para shahabat dan tentu Rasul sendiri. Rasul adalah pengusaha ekspor impor sukses pada usia 25 tahun. Umar bin Khattab, kekayaan dan tanahnya ada di mana-mana. ‘Abdurrahman bin Auff, saat perang tabuk menyumbang 900 ekor unta dengan muatannya!!!! Para shahabat memang dikisahkan hidup dengan sangat sederhana. Namun mereka tidaklah miskin. Seluruh harta miliknya mereka belanjakan di jalan Allah. Jadi rumus mereka= Kerja keras->duit banyak->buat dakwah dan jihad->ridho Allah->surga. Berbeda dengan orang sekarang, kerja keras->duit banyak->senang-senang.

                Jadi tak ada yang salah menjadi orang kaya. Begitu pula orang kuat, berprestasi, dan berkuasa. Sungguh, tak ada yang salah. Karena masyarakat memang baru bisa menerima tentang “siapa yang bicara”, bukan “apa yang dibicarakan”. Dan menurutku tak ada yang salah dengan kita ikuti dulu peraturan di masyarakat itu. Menjadi orang yang kuat, kaya, berkuasa, dan menggenggam dunia. Karena seharusnya dunia ini ada di tangan muslim agar diatur dengan cara yang Disukai Penciptanya.

                Kisah ketiga mengajarkan pada kita bagaimana seni berkomunikasi yang baik. Bukan sekedar menyampaikan dengan baik, namun juga mengerti kondisi penerima dengan baik. Karena inti dari komunikasi adalah “seberapa banyak yang diterima, bukan seberapa banyak yang disampaikan”. Dan sekali lagi, tentang jangan pernah bermain badminton dengan aturan tennis.

                Cara berkomunikasi dengan orang tua memang sulit. Dan tidak ada yang salah dengan ini. Karena memang inilah yang biasanya terjadi-kecuali pada beberapa orang tua yang pemahaman agamanya sudah sesuai Islam yang murni dan lurus. Namun ini bukan berarti kita tak bisa berdakwah pada orang tua. Justru merekalah prioritas utama dakwah kita, keluarga.

                Caranya-menurut mentorku-hanya perlu main cantik. Orang tua kita akan lebih melihat perilaku dan prestasi kita. Jika memang manhaj yang kita ikuti menjadikan kita pribadi yang lebih kuat, rajin, dan berprestasi tentu orang tua kita akan semakin memandang kita. Contoh sederhana bagi mahasiswa: Rajin mengerjakan pekerjaan rumah, membantu orang tua, sholat ke masjid, dan tentu IP yang membahagiakan-minimal orang tua melihat keseriusan kuliah kita. Maka, suatu saat orang tua akan mulai berpikir,”Apa ya yang menjadikan anakku demikian?” Dan, bingo!!! Inilah saatnya kita sedikit demi sedikit memasukkan manhaj hanif kita pada mereka-insyaAllah. So, berbuatlah saudaraku! Berbuatlah!!

                Oh ya, prinsip “jangan pernah bermain badminton dengan aturan tennis” ini hanya boleh kita ikuti selama:
1.       Tidak melanggar sedikit pun syari’at Islam. Sehingga ikut-ikutan berdemokrasi demi mashlahat dakwah bagiku masih menjadi syubhat-misalnya.
2.       Kita dalam posisi sebagai “PEMBERI” hikmah, BUKAN “PENERIMA” hikmah. Karena serial tentang penerima hikmah akan di post lain waktu. Inilah kenapa diskusi ini termasuk dalam serial Adil.
                Semoga kisah-kisah di atas dapat memberikan manfaat. Jika ada kesalahan silahkan kritik saya.

NB: Maaf jika kisah pertama agak SARIP hehe. IP saya juga belum pernah 4 kok, mohon doanya ehehe biar ngerasain IP 4.

0 komentar:

Posting Komentar