Minggu, 20 Januari 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,
                Yak, sekarang ada kewajiban buat ngelanjutin postingan terdahulu yang berjudul “Perhatikan caramu dalam memberi hikmah”. Dan kalo ada kata memberi, pasti ada yang menerima dong ya. so, pada pembahasan ini adalah bagaimana seharusnya kita bersikap pada orang yang akan memberi hikmah pada kita.

                Aku pernah membaca suatu kisah. Di China kejadiannya-konon kabarnya. Jadi waktu itu ada seorang suami yang sedang bertengkar dengan istrinya. Karena kalut, sang suami cabut dari rumah dengan maksud agar bisa menenangkan pikiran. Diambilnya kunci mobil, dan mulailah dia mengemudi masih dengan perasaan jengkel di hati.

                Dia bermaksud jalan-jalan ke gunung dekat kotanya. Jalannya tentu meliuk-liuk. Karena masih memikirkan masalahnya di rumah, dia pun mulai meleng  ketika menyetir. Dan tanpa terasa dia mulai mepet-mepet masuk ke jalur arah yang berlawanan. Dari sana, tiba-tiba muncul sebuah truck besar dengan kencang. Tentu si suami tadi kaget dan reflex memencet klaksonnya(padahal dia yang salah-,-“). Saat tepat bersisian antar pengemudi, sopir truck pun teriak.

                “BABI!!!!!!”


                “EH, LOE TUH YANG BABI!!!!!”, balas si suami dengan mengepalkan tangan ke arah sopir truck dan sepersekian detik dia kehilangan konsentrasi. Saat melihat depannya dia pun lebih kaget lagi karena ada serombongan babi yang sedang ada di jalanan karena truck pengangkutnya kecelakaan dan secara reflex dia membanting stir ke kiri. Terlambat, sang suami pun menabrak tebing pinggir jalan. Akhirnya, ketika ia tersadar di rumah sakit baru dia tahu bahwa sopir truck yang berteriak “BABI” tadi bermaksud memperingatkannya-bukan mengumpatnya.

                Dalam hidup ini, betapa sering kita berlaku seperti sang suami tadi. Ketika ada seseorang yang mengkritik kita, kita anggap dia hanya orang yang iri akan kesuksesan kita. Ketika ada kawan mengingatkan kita, kita anggap kawan kita berusaha menghambat kita.

                Padahal, sebenarnya tidak boleh seperti itu. Dalam posisi sebagai “PENERIMA HIKMAH”,  kita-yang mengaku orang terpelajar-harusnya tidak mempedulikan kemasannya. Kita harus senantiasa berhusnudzon dan lebih mementingkan substansi. Bahkan, andaikata musuh mencela kita sebenarnya kita harus bersyukur(yang ini tak akuin susah banget :P) karena pada hakikatnya kita mendapat nasihat gratis dan tahu apa kekurangan kita-tentu setelah dipilah mana yang bisa diambil manfaatnya dan mana yang hanya sampah ekses dari rasa dengki.


                Seperti sebuah kata-kata bijak berikut-saya tak tahu harus dinisbatkan pada siapa:

                Hikmah itu milik orang muslim yang tercecer, maka di mana pun dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memungutnya. Meski dari orang munafik.

                Kisah kedua: Pada suatu ketika, ada seorang mahasiswa yang sedang bersama kawannya duduk di warung tegal dekat kampus. Mereka sedang berdebat seru tentang mata kuliah kimia(ini pasti bukan penulis, karena penulis kalau debat soal kimia pasti keok :P). Sampai-sampai mereka taruhan siapa yang benar harus membayari  makannya. Tiba-tiba ada seorang bapak dengan pakaian yang biasa saja duduk di samping mereka dan ikut nimbrung.

                “Wih, seru banget diskusinya nih hehe”, kata bapak itu.
                “Eh, iya nih Pak. Temen saya si B ini ngeyel padahal dia salah. Masa kalau zat ini bercampur dengan zat ini pada suhu(parah dah, di jurusan saya kata “suhu” itu tabu lho. Yang ada temperature hehe) sekian dengan jumlah mol masing-masing sekian dan sekian lalu blablabla hasilnya zat fulan? Harusnya reaksi akan menghasilkan zat fulanah dengan sisa binti fulan. Ngeyel dia Pak. Eh, bapak jangan bingung ya hehehe. Maaf saya malah terlalu detil hehehe. Ga usah dipikir Pak, nanti malah pusing lho hehehe,” kata mahasiswa A dengan panjang lebar.

                “Coba saya lihat soal bukunya. Buku “Bradd*” ya, fotokopian ya nampaknya? Hehe. Hmm, saya pikir temen Mas A yang benar. Nah, ini nasi bungkus saya sudah ada. Saya permisi dulu ya Mas!” Kata si bapak tadi.

                “Tuh kan, apa gue bilang. Gue bener! Hahaha,” kata mahasiswa B.

                “Loe percaya ama dia? Dia siapa? Paling karyawan aja di kampus huh!” Jawab mahasiswa A.

                Ternyata, setelah bertanya pada kawannya yang dianggap master kimia jawaban si B lah yang benar, sesuai kata bapak di warteg. Dan kekagetan si A makin bertambah ketika masuk kelas kimia dasar esoknya dia temui bapak yang di warteg kemarin. Dia adalah dosen kampus tersebut yang sangat master di bidang kimia dan baru saja menempuh S3 di Jepang.

                Lagi-lagi, seperti inilah kita biasanya.melihat person yang berkata daripada yang dikatakan.  Bahkan lebih parahnya lagi, hikmah dalam hal agama. Kita lebih melihat title kyai haji daripada mereka yang hanya menyebut diri Ustadz dengan menyembunyikan gelar hajinya. Padahal sumber agama ini lebih pasti daripada kimia dasar yang seperti sekarang ini. Kimia baru ada abad berapa dan sudah berapa kali mengalami revisi, sedangkan sumber agama ini tak ada perubahan sejak 14 abad yang lalu-Al Qur’an dan As Sunnah.
                 Padahal seseorang yang menjadi “pintu perbendaharaan” Rasul beliau Imam ‘Ali radhiallahu’anha pernah berkata:  “Lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan!”

                Lebih indah lagi adalah sabda beliau yang menjadi “perbendaharaan” ilmu, makhluk paling mulia di jagad raya ini:

إِنْ أُمِرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوْا لَهُ وَأَطِيْعُوْا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ
Artinya: “Sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habsyi yang rumpung hidungnya, wajib kamu men dengar dan mentaatinya selama ia memimpin kamu dengan Kitabullah.” (HR.Ibnu Majah dari Ummul Hushain dalam bab Tha’atul Imam: II/201, Muslim, Shahih Muslim: II/130, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi: IV/181 No.1706. Lafadz Ibnu Majah)

            Sekali lagi saya ingatkan. Masing-masing cara kita dalam bersikap ini harus sesuai keadaannya, apakah kita sebgai pemberi atau penerima hikmah. Karena jika sampai tertuar, kita akan menjadi seseorang yang sangat dzolim.

0 komentar:

Posting Komentar