Yak,
sekarang ada kewajiban buat ngelanjutin postingan terdahulu yang berjudul “Perhatikan caramu dalam memberi hikmah”. Dan kalo ada kata memberi, pasti ada yang
menerima dong ya. so, pada pembahasan ini adalah bagaimana seharusnya kita
bersikap pada orang yang akan memberi hikmah pada kita.
Aku
pernah membaca suatu kisah. Di China kejadiannya-konon kabarnya. Jadi waktu itu
ada seorang suami yang sedang bertengkar dengan istrinya. Karena kalut, sang
suami cabut dari rumah dengan maksud agar bisa menenangkan pikiran. Diambilnya
kunci mobil, dan mulailah dia mengemudi masih dengan perasaan jengkel di hati.
Dia
bermaksud jalan-jalan ke gunung dekat kotanya. Jalannya tentu meliuk-liuk. Karena
masih memikirkan masalahnya di rumah, dia pun mulai meleng ketika menyetir. Dan tanpa
terasa dia mulai mepet-mepet masuk ke jalur arah yang berlawanan. Dari sana,
tiba-tiba muncul sebuah truck besar dengan kencang. Tentu si suami tadi kaget
dan reflex memencet klaksonnya(padahal dia yang salah-,-“). Saat tepat bersisian
antar pengemudi, sopir truck pun teriak.
“BABI!!!!!!”
“EH,
LOE TUH YANG BABI!!!!!”, balas si suami dengan mengepalkan tangan ke arah sopir
truck dan sepersekian detik dia kehilangan konsentrasi. Saat melihat depannya
dia pun lebih kaget lagi karena ada serombongan babi yang sedang ada di jalanan
karena truck pengangkutnya kecelakaan dan secara reflex dia membanting stir ke
kiri. Terlambat, sang suami pun menabrak tebing pinggir jalan. Akhirnya, ketika
ia tersadar di rumah sakit baru dia tahu bahwa sopir truck yang berteriak “BABI”
tadi bermaksud memperingatkannya-bukan mengumpatnya.
Dalam
hidup ini, betapa sering kita berlaku seperti sang suami tadi. Ketika ada
seseorang yang mengkritik kita, kita anggap dia hanya orang yang iri akan
kesuksesan kita. Ketika ada kawan mengingatkan kita, kita anggap kawan kita
berusaha menghambat kita.
Padahal,
sebenarnya tidak boleh seperti itu. Dalam posisi sebagai “PENERIMA HIKMAH”, kita-yang mengaku orang terpelajar-harusnya
tidak mempedulikan kemasannya. Kita harus senantiasa berhusnudzon dan lebih
mementingkan substansi. Bahkan, andaikata musuh mencela kita sebenarnya kita
harus bersyukur(yang ini tak akuin susah banget :P) karena pada hakikatnya kita
mendapat nasihat gratis dan tahu apa kekurangan kita-tentu setelah dipilah mana
yang bisa diambil manfaatnya dan mana yang hanya sampah ekses dari rasa dengki.
Seperti
sebuah kata-kata bijak berikut-saya tak tahu harus dinisbatkan pada siapa:
Hikmah itu milik orang muslim yang
tercecer, maka di mana pun dia menemukannya maka dialah yang paling berhak
memungutnya. Meski dari orang munafik.
Kisah
kedua: Pada suatu ketika, ada seorang mahasiswa yang sedang bersama kawannya
duduk di warung tegal dekat kampus. Mereka sedang berdebat seru tentang mata
kuliah kimia(ini pasti bukan penulis, karena penulis kalau debat soal kimia
pasti keok :P). Sampai-sampai mereka taruhan siapa yang benar harus
membayari makannya. Tiba-tiba ada seorang
bapak dengan pakaian yang biasa saja duduk di samping mereka dan ikut nimbrung.
“Wih,
seru banget diskusinya nih hehe”, kata bapak itu.
“Eh,
iya nih Pak. Temen saya si B ini ngeyel padahal
dia salah. Masa kalau zat ini bercampur dengan zat ini pada suhu(parah dah, di
jurusan saya kata “suhu” itu tabu lho. Yang ada temperature hehe) sekian dengan
jumlah mol masing-masing sekian dan sekian lalu blablabla hasilnya zat fulan? Harusnya
reaksi akan menghasilkan zat fulanah dengan sisa binti fulan. Ngeyel dia Pak. Eh, bapak jangan bingung
ya hehehe. Maaf saya malah terlalu detil hehehe. Ga usah dipikir Pak, nanti
malah pusing lho hehehe,” kata mahasiswa A dengan panjang lebar.
“Coba
saya lihat soal bukunya. Buku “Bradd*” ya, fotokopian ya nampaknya? Hehe. Hmm,
saya pikir temen Mas A yang benar. Nah, ini nasi bungkus saya sudah ada. Saya permisi
dulu ya Mas!” Kata si bapak tadi.
“Tuh
kan, apa gue bilang. Gue bener! Hahaha,” kata mahasiswa B.
“Loe
percaya ama dia? Dia siapa? Paling karyawan aja di kampus huh!” Jawab mahasiswa
A.
Ternyata,
setelah bertanya pada kawannya yang dianggap master kimia jawaban si B lah yang
benar, sesuai kata bapak di warteg. Dan kekagetan si A makin bertambah ketika
masuk kelas kimia dasar esoknya dia temui bapak yang di warteg kemarin. Dia adalah
dosen kampus tersebut yang sangat master di bidang kimia dan baru saja menempuh
S3 di Jepang.
Lagi-lagi,
seperti inilah kita biasanya.melihat person yang berkata daripada yang
dikatakan. Bahkan lebih parahnya lagi, hikmah
dalam hal agama. Kita lebih melihat title kyai haji daripada mereka yang hanya
menyebut diri Ustadz dengan menyembunyikan gelar hajinya. Padahal sumber agama
ini lebih pasti daripada kimia dasar yang seperti sekarang ini. Kimia baru ada
abad berapa dan sudah berapa kali mengalami revisi, sedangkan sumber agama ini
tak ada perubahan sejak 14 abad yang lalu-Al Qur’an dan As Sunnah.
Padahal seseorang yang menjadi “pintu
perbendaharaan” Rasul beliau Imam ‘Ali radhiallahu’anha pernah berkata: “Lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan!”
Lebih
indah lagi adalah sabda beliau yang menjadi “perbendaharaan” ilmu, makhluk
paling mulia di jagad raya ini:
إِنْ أُمِرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوْا لَهُ وَأَطِيْعُوْا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ
Artinya: “Sekalipun kamu dipimpin oleh seorang budak Habsyi
yang rumpung hidungnya, wajib kamu men dengar dan mentaatinya selama ia
memimpin kamu dengan Kitabullah.” (HR.Ibnu Majah dari Ummul Hushain dalam bab
Tha’atul Imam: II/201, Muslim, Shahih Muslim: II/130, At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi: IV/181 No.1706. Lafadz Ibnu Majah)
Sekali
lagi saya ingatkan. Masing-masing cara kita dalam bersikap ini harus sesuai
keadaannya, apakah kita sebgai pemberi atau penerima hikmah. Karena jika sampai
tertuar, kita akan menjadi seseorang yang sangat dzolim.
0 komentar:
Posting Komentar