Nama dan
Nasab
Beliau
bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah
Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd
bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan
begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak
beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina)
dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari
kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut
sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak
Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan
fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam
barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan
lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli
sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal
dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian
mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab
Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah
asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa
pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib,
sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang
memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i
adalah seorang wanita yang
tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih
dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan
Tempat Kelahirannya
Beliau
dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu
Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang
tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang
berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah
Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina.
Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang
disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar
memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan
dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah
Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan
berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal
dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa
ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya
dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah,
Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat
kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di
al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar
di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya.
Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku,
‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata
kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi
murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah
rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan
hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh.
Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik
pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di
Madinah.
Beliau
juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-
Zanji
-mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu
fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau
mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim
bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan
lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’
Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9
di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah
mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’.
Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik,
beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah
kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun
179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah
lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin
Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah
kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana
beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu
hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena
sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu
sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang
kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun
ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama
orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana
dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu
membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal
sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah.
Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang
meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya
meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan
kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh
perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan
kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih
madzhab mereka.
Tuduhan
dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai
bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah
itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh
bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka
seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika
sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin
al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan
majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah
dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di
Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti
dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah
kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan
Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama
Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka
mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke
Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar
yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari
ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang
terkenal, Ar-Risalah.
Setelah
lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke
Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits
di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di
sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul
Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa
didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau
datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu
Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah
saja.
Beliau
menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun 198,
beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana
karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh
para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu
kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam.
Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf
ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah
syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan
utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami
syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah
beliau menolak madzhab mereka.
Dan
begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama
ahlu hadits. Salah satunya
adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para
ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk.
Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh.
Salah satu
di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam
Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak
pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di
Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah,
menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah,
sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya
Membela Sunnah
Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan
suatu masalah terutama masalah aqidah
selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya.
Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah
dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau
berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan
janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir
as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat
banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan
mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan
bersumber dari Alquran dan sunnah,
maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya
hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah
yakin dengan keshahihan sebuah hadits,
maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak
tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak
ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani
berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu
kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau
sampai pada tingkat memberi fatwa
bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu
dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah
dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan
Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena
kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang
selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab
permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya
rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi
menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia
berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi
emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun
beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan
jauh untuk mencari ilmu,
hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut
Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113
kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.
Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di
antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi
128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai
Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
- Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
- Siyar A’lam an-Nubala’
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
***
Sumber:
Majalah Fatawa
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Dipublikasikan kembali oleh http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html/comment-page-1#comment-95014
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Dipublikasikan kembali oleh http://muslim.or.id/biografi/imam-syafii-sang-pembela-sunnah-dan-hadits-nabi.html/comment-page-1#comment-95014
Sedangkan kitab-kitab beliau dapat diunduh di sini
0 komentar:
Posting Komentar