Sebenarnya marah itu apa sih? Saya
jawab,”Salah satu bentuk emosi.” Emosi yang seperti apa? Saya jawab,”Menurut KBBI online:
marah 1
/ma·rah / a sangat tidak senang (krn dihina,
diperlakukan tidak sepantasnya, dsb); berang; gusar: aku -- mendengar ucapannya yg kasar itu;
bangkit (naik -- , timbul -- ), ki
menjadi marah;”
Nah, sekarang sudah tahu kan
definisi marah? Lalu apa yang akan saya ceritakan hari ini tentangnya?
Begini kawan, sebelumnya saya
ingin bercerita sedikit. Katakanlah hari ini kita mengikuti rapat dari suatu
hal. Ditetapkan bahwa rapat itu akan dimulai pada pukul 17.00 WIB(Waktu
Indonesia Bandung :P). Karena sudah paham urgensi rapat ini yang akan membahas
suatu kegiatan esok hari dan mengerti bahwa orang Indonesia itu suka ngaret,
jadilah kita mengoptimasi hal tersebut. Optimasinya adalah kita berangkat dari
rumah pukul 17.00 WIB. Dengan harapan kita sampai di sana 10 menit telat namun
tidak terlalu malu untuk minta maaf karena telat atau bahkan bisa datang lima
menit lebih awal karena orang-orang pada ngaret 15 menit. See? Engineering optimization is everywhere!
Namun semua ternyata tak seindah
harapan, dan mimpi pun enggan menjadi kenyataan(apa coba -_-). Ketika kita datang, baru satu dua orang
yang datang dari target (katakanlah) 20 orang. Ditunggu sampai shalat maghrib,
baru 5 orang. Ditunggu sampai shalat isya’, baru 10 orang. Dan akhirnya rapat
dimulai pada pukul 19.30 dengan jumlah
peserta rapat 11 orang. Benar-benar setengah n plus satu! Serta rapat juga
ngaret sekitar 2,5 jam. Lalu teringat belum ngerjain PR buat besok pagi, cucian
yang numpuk, belum makan malam padahal tadi lupa masak nasi, dan dompet sudah
berisi sarang laba-laba bagai rumah kosong. Apa yang akan kita pikirkan? Marah-marah ke peserta rapat lain? Memberi
wejangan saat itu juga dan berkhotbah tentang pentingnya on-time? Atau langsung
memulai rapat?
Cerita lain, yang ini kisah
nyata. Kejadian ini terjadi ketika saya masih imut-imut di Sekolah Menengah
Atas dan terjadi pada suatu pagi. Saat itu,
saya sedang cepat-cepat untuk mengerjakan tugas di rumah teman dan karena masih
pagi(lupa hari apa, kayaknya pas hari libur) jalanan pun sepi. Dengan motor bersilinder
150 cc saya, saya melaju di sekitaran 90-100 km/jam. Eh, tak tahunya ada mobil
putar balik dan tanpa babibu langsung aja nyelonong. Terjadilah klakson panjang
dari saya dan pas simpangan saya ngeliatin itu sopirnya—dengan wajah menantang
sambil membuka helm.
Sial!
Di depan lampu jadi merah. Dan mobil itu pun berhenti di belakang saya sambil
buka kaca jendela dan marah-marah ngajak berantem. Ada bapak-bapak di samping
saya mencoba melerai namun itu orang di mobil malah makin menjadi-jadi. Saya ceritakan
dengan singkat sama bapaknya dan disuruhnya saya diam saja. Beh, gak bisa gitu
dong!!! Saya waktu itu udah ikut silat lagi haha. Berantem sih hayuk aja. Tapi saya
tetep disuruh bapaknya buat minta maaf dan melanjutkan perjalanan. Ternyata sekarang
saya menyadari bahwa bapak tersebut sangat bijaksana. Pertama, jika saya
berantem urusan saya jadi gak beres-beres, telat ngerjain tugas, gak konsen
waktu ngerjain tugas, dan sangat mungkin badan jadi sakit. Yang kedua, saya
melihat gantungan di mobil tersebut merupakan gantungan dari lembaga pendidikan
akademi(bukan akmil, yang satunya kalo gak salah :P) dan saya yakin urusan
bakal panjang jika bermasalah dengan pihak-pihak yang suka masang benda begituan.
Nah, dari cerita yang pertama
dapat kita tebak-tebak hasilnya. Jika kita memilih marah, maka akan terjadi
saling menyalahkan di antara peserta rapat sehingga waktu rapat molor lagi dan
mungkin saja rapat malah tidak bisa berjalan. Suasana jadi tidak kondusif dan
hanya bikin lelah hati. Padahal kegiatan tinggal esok hari dan kita malah
membuang-buang waktu yang harusnya bisa buat ngerjain PR, nyuci baju, masak
nasi, dan—kalau yang dompet saya bingung hehehe. Atau jika kita memilih opsi
kedua, yakni berkhotbah tentang wajibnya on time. Pertama, kita seharusnya malu
karena kita pun sebenarnya telat 10 menit dari jadwal dan khotbah pada saat
seperti itu hampir mustahil untuk didengar orang. Selain itu waktu rapat akan
ngaret lagi. Dan yang terakhir, langsung mulai rapat saya kira sudah kita
pahami konsekuensinya.
Demikianlah, betapa sering marah
sebenarnya merugikan kita jika marah tersebut hanya pengejawantahan dari emosi
kita, hanya menuruti nafsu saja. Bahkan Allah Berfirman bahwa marah bisa
menyebabkan kematian.
Beginilah
kamu! Kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukaimu, dan kamu beriman
kepada semua kitab. Apabila mereka berjumpa kamu, mereka berkata, “Kami
beriman,” dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari karena
marah dan benci kepadamu. Katakanlah, “Matilah kamu karena kemarahanmu itu!”
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.(QS. Ali Imran: 119)
Atau Rasul pun pernah bersabda:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa
ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Berilah aku wasiat”. Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu
mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh.
Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad (II/362, 466, III/484),
at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no. 5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân),
ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf
(no. 20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi dalam
as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/159, no. 3580).
Dalam syarah hadits ini
disebutkan marah(karena nafsu semata) sangat dekat dengan kejahatan, dan
kelemahan. Ya, KELEMAHAN. Kalau anak mesin bilang,”Cuma bisa segitu?! Lemah
kalian!!”(abaikan).
Jika yang dekat dengan kejahatan
dan keburukan tentu akal kita gampang mencernanya, namun dekat kelemahan?
Bukankah sering kita lihat orang yang marah itu seolah kuat dan tanpa rasa
takut? Ya, itu benar. Namun kita juga sering mendengar pepatah,”Keberanian dan
kebodohan itu hanya dipisahkan satu garis tipis”. Dan definisi kuat di sini
bukan sekedar kuat fisik, karena Rasul pernah bersabda bahwa orang yang kuat
itu bukanlah yang hebat bergulatnya namun yang mampu mengendalikan diri ketika marah.
Saya kemarin ngobrol dengan
seorang pelatih silat mengomentari tentang tawuran antar perguruan silat yang
kerap terjadi di suatu daerah. Saya berpikir, tawurannya orang awam saja sudah
seram begitu, lha ini tawurannya
pesilat. Yang mati banyak dong, wong teknik
silat itu mematikan semua. Dengan tersenyum beliau berkata dalam bahasa jawa
yang artinya,”Oh, enggak begitu bos. Pernah berantem di luar bukan di
gelanggang atau di tempat latihan? Juga bukan sparring dengan beladiri lain? Berantem
karena benar-benar emosi?”
“Pernah Mas,” jawab saya.
“Setelah ikut silat atau sebelum
ikut silat?” tanyanya lagi.
“Sebelum Mas, abis ikut silat
malah males berantem saya hehe,” kata saya. Dan jawaban beliau mengejutkan.
“Sesekali cobain lah, kamu bakal
tau waktu itu emosi sudah di ubun-ubun refleksmu jadi kacau, teknikmu terlupa,
dan kamu bakal berantem ngawur saja. Kalau sparring sama beladiri lain kan kamu
sadar itu sparring, tidak ingin melukai “berlebihan” dan tanpa emosi. Begitu bos,
makanya perguruan silat yang tawuran itu ya berbeda dengan pertarungan di
tempat latihan atau gelanggang yang full bisa keluar tekniknya,” katanya
panjang lebar dan kupikir benar juga.
Jadi ini mungkin bisa menjawab. Karena
marah dekat dengan tertutupnya akal dan perhitungan matang. Tertutupnya akal
sangat dekat dengan kebodohan, dan kebodohan sangat sungguh dekat sekali dengan
kelemahan. Dan itu secara silogisme artinya marah sangat dekat dengan
kelemahan.
Terakhir, saya jadi teringat
kata dosen proses manufaktur saya, Dr. Sri Raharno ST, MT. Beliau pernah
berkata:
Material
itu kalau dipanaskan menjadi berkurang kekuatannya. Jadi kalau Anda sedang
menghadapi orang yang lebih kuat daripada Anda caranya gampang: bikin saja dia
marah.
Anak teknik pasti sudah sangat
familiar mengenai hubungan temperature material dengan kekuatannya. Contoh paling
mudah adalah saat kita melihat empu menempa baja pasti dipanasin dulu. Kenapa?
Biar empuk bukan?
Jadi
orang yang marah karena emosi semata itu: LEMAH!!!!
0 komentar:
Posting Komentar