Konduksi, konveksi, dan radiasi.
Tentu kawan semua sudah tahu kan apa itu? Nah, tadi pagi saya pun belajar
tentangnya. Bukan, bukan ketiganya namun masih di konduksi. Berasa aneh gak sih
pelajaran yang sudah kita ketahui sejak SD tapi sukses bikin anak-anak Mechanical Engineering semester 5 berasa jadi buta
huruf waktu di kelas? Hahaha…
Ya, mata kuliah ini disebut
dengan “Perpindahan Panas”. Tapi sekarang, bukan konduksi yang ingin aku bahas.
So, apa itu?
Tadi, saat kuliah dan membahas
mekanisme perpindahan panas dari motor yang sedang beroperasi ke shaft, dosenku tiba-tiba menggambar shaft tersebut dan bertanya,”Ini fin(sirip) jenis apa?”
Aku yang memang hanya tamu di kelas beliau karena dosen kelasku sedang berhalangan mengajar diam saja(sebenarnya gak tahu sih hehehe).
“Wah, Anda itu gimana? Kalo lagi
os(ospek maksudnya) lalu Anda bertanya dan junior Anda tak bisa menjawab Anda
suruh push up kan hehehe. Apa iya sekarang Anda saya suruh push up saja hehehe.”
Dan kami hanya bisa tertunduk
malu karena sindiran tersebut.
“Memang salah kita juga, budaya
kita. Makin tinggi seseorang malah makin minta dilayani. Padahal kan seharusnya
makin tinggi Anda, makin Anda harus bisa melayani.”
makin tinggi Anda, makin Anda harus bisa melayani
“Anak yang masih bayi, pasti
akan dilayani orang tuanya kan? Anak SD dilayani anak SMP, anak SMP dilayani
anak SMA, dan lulusan SMA harusnya dilayani oleh Mahasiswa. Dan ini yang
krusial, seharunya Mahasiswa dilayani oleh dosen. Bukan gara-gara merasa lebih
tinggi malah makin minta dilayani. Di luar negeri sana, anak baru dilayani sama
seniornya. Kalau disko—ini budaya sana, mereka yang traktir kita. Kita ngumpul,
dibayarin, sambil sharing2 tentang
kuliah. Saya takut kita telah mengajarkan suatu kesalahan secara tidak sengaja.
Yang mana hal itu membentuk mental untuk selalu minta dilayani. Para pejabat
itu, makin tinggi jabatannya makin minta dilayani. ‘Mana mobil buat gue, mana
asisten buat gue, mana tunjangan buat gue?’. Padahal mereka itu, juga PNS
seperti saya ini kan katanya ‘Abdi Negara’(sambil membuka tangan beliau di
samping badannya), bukan ‘Abdi(Aku: Bahasa Sunda) Negara’(sambil mengarahkan
tangannya ke dada).”
Abdi(pelayan) Negara, bukan Abdi(aku) Negara.
Ah, jadi teringat kisah Rasul
yang sangat masyur berikut:
Suatu ketika Rasulullah SAW menjadi
imam shalat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi
menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu
sama lain.
Sayidina Umar yang tidak tahan melihat
keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai shalat, ”Ya Rasulullah,
kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah
Anda sakit?” Namun Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan
segar.”
Mendengar jawaban ini Sahabat Umar
melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali Anda menggerakkan tubuh,
kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau
sedang sakit…”
Melihat kecemasan di wajah para
sahabatnya, Rasulullah pun mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut.
Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang
berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang
menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.
Umar memberanikan diri berkata, ”Ya
Rasulullah! Adakah bila Anda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu
kami hanya akan tinggal diam?”
Rasulullah menjawab dengan lembut,
”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu
ini. Tetapi apakah yang akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku
sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya?”
Para sahabat hanya tertegun.
Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku,
agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada
yang kelaparan di Akhirat kelak.”
NB: Terima kasih
atas pengingatnya pagi ini Dr.Ir. Ari Darmawan Pasek.
0 komentar:
Posting Komentar