Senin, 30 September 2013

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


                Konduksi, konveksi, dan radiasi. Tentu kawan semua sudah tahu kan apa itu? Nah, tadi pagi saya pun belajar tentangnya. Bukan, bukan ketiganya namun masih di konduksi. Berasa aneh gak sih pelajaran yang sudah kita ketahui sejak SD tapi sukses bikin anak-anak Mechanical Engineering semester 5 berasa jadi buta huruf waktu di kelas? Hahaha…

                Ya, mata kuliah ini disebut dengan “Perpindahan Panas”. Tapi sekarang, bukan konduksi yang ingin aku bahas. So, apa itu?

                Tadi, saat kuliah dan membahas mekanisme perpindahan panas dari motor yang sedang beroperasi ke shaft, dosenku tiba-tiba menggambar shaft tersebut dan bertanya,”Ini fin(sirip) jenis apa?”

                Aku yang memang hanya tamu di kelas beliau karena dosen kelasku sedang berhalangan mengajar diam saja(sebenarnya gak tahu sih hehehe).

                “Wah, Anda itu gimana? Kalo lagi os(ospek maksudnya) lalu Anda bertanya dan junior Anda tak bisa menjawab Anda suruh push up kan hehehe. Apa iya sekarang Anda saya suruh push up saja hehehe.”

                Dan kami hanya bisa tertunduk malu karena sindiran tersebut.

                “Memang salah kita juga, budaya kita. Makin tinggi seseorang malah makin minta dilayani. Padahal kan seharusnya makin tinggi Anda, makin Anda harus bisa melayani.”

makin tinggi Anda, makin Anda harus bisa melayani


                “Anak yang masih bayi, pasti akan dilayani orang tuanya kan? Anak SD dilayani anak SMP, anak SMP dilayani anak SMA, dan lulusan SMA harusnya dilayani oleh Mahasiswa. Dan ini yang krusial, seharunya Mahasiswa dilayani oleh dosen. Bukan gara-gara merasa lebih tinggi malah makin minta dilayani. Di luar negeri sana, anak baru dilayani sama seniornya. Kalau disko—ini budaya sana, mereka yang traktir kita. Kita ngumpul, dibayarin, sambil sharing2 tentang kuliah. Saya takut kita telah mengajarkan suatu kesalahan secara tidak sengaja. Yang mana hal itu membentuk mental untuk selalu minta dilayani. Para pejabat itu, makin tinggi jabatannya makin minta dilayani. ‘Mana mobil buat gue, mana asisten buat gue, mana tunjangan buat gue?’. Padahal mereka itu, juga PNS seperti saya ini kan katanya ‘Abdi Negara’(sambil membuka tangan beliau di samping badannya), bukan ‘Abdi(Aku: Bahasa Sunda) Negara’(sambil mengarahkan tangannya ke dada).”

                Abdi(pelayan) Negara, bukan Abdi(aku) Negara.


                Ah, jadi teringat kisah Rasul yang sangat masyur berikut:  

Suatu ketika Rasulullah SAW menjadi imam shalat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu sama lain.

Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai shalat, ”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah Anda sakit?” Namun Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.”

Mendengar jawaban ini Sahabat Umar melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali Anda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…”

Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya, Rasulullah pun mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.

Umar memberanikan diri berkata, ”Ya Rasulullah! Adakah bila Anda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya akan tinggal diam?”

Rasulullah menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu ini. Tetapi apakah yang akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya?”

Para sahabat hanya tertegun. Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”

               
NB: Terima kasih atas pengingatnya pagi ini Dr.Ir. Ari Darmawan Pasek.
               
               

0 komentar:

Posting Komentar