Sabtu, 08 Februari 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , , ,


                “Apakah momen besar dalam hidup antum semua?” tanya Ustadz. Materi pun dibuka dengan pertanyaan tersebut, seolah tahu ‘penyakit’ mahasiswa sekarang yang gampang mengantuk jika malam-malam begini perlu diajak sedikit berpikir(Wong di kelas siang hari saja sudah banyak yang terkapar dengan alasan habis makan blablabla). Ketika saya hendak menyebut kematian, dari depan terdengar…

“Menikah Ustadz!” sahut seorang ikhwan.

                Demi mendengar jawaban tersebut Ustadz pun tersenyum(kami juga hehe), lalu tanpa menyalahkan beliau berdiri dan mulai membuat sebuah garis yang membentuk suatu grafik. Di mana di ujung kanan(dengan tulisan arab) beliau tuliskan hayaat(hidup/lahir) dan ujung kirinya mamaat(mati). Beliau berkata, bahwa ada dua momen yang sangat besar dalam kehidupan kita sebagai manusia—atau minimal dua. Yaitu LAHIR dan MATI.

                Kemudian beliau mengutip suatu hadits, Nabi shalallahu’alaihi wassalam bersabda:

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.”
(Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 11/240)


                Maksudnya, rata-rata umur manusia pada zaman kita ini rata-rata di kisaran angka tersebut. Lalu beliau bertanya lagi,”Siapa yang umurnya sudah 30 tahun?” Alhamdulillah yang para mahasiswa tidak ada yang mengangkat tangan. Yang bapak-bapak pada mengangkat tangannya. “Wah, antum yang sudah tiga puluhan tinggal setengah ini jatah hidupnya,” sambung beliau. Setelah itu di sumbu-Y sebelah kanan—di atas kata hayaat—beliau tuliskan kata lemah dho’iif(lemah) dan ujung kirinya pun kata yang sama, sedang di tengah-tengahnya dibuat sumbu-Y baru dan diberi tulisan quwwah(kuat). 

Nih grafiknya :)


Beliau melanjutkan, jika pada usia tiga puluhan sebagai pertengahan “jatah” hidup rata-rata manusia merupakan puncak produktivitas manusia. Dan produktif di sini bukan hanya produktif bikin anak saja(menanggapi celetukan ikhwan yang sudah menikah di sebelah kanan). Namun lebih dari itu, di sinilah usia di mana kematangan seorang manusia dan saat paling tepat untuk berinvestasi. Investasi yang akan menunjukkan kualitas kita sebagai seorang mukmin. Dan sedikit OOT, saya jadi teringat perkataan salah satu pelatih saya,”Usia puncak orang beladiri itu usia tiga puluhan awal. Di mana kekuatan fisik bertemu kematangan teknik dan dikendalikan oleh kedewasaan emosi.”
  
                Lalu dikutipkan kembali sebuah hadits yang tentu sudah sangat familiar untuk kita dengar:

عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

 “Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
 Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (no. 3289).

                Hubungan hadits di atas dengan hadits sebelumnya adalah mengenai bagaimana kita harus memaksimalkan potensi kita untuk selalu berbuat yang terbaik bagi orang lain—bagi umat. Atau lebih besar lagi bagi aqidah keislaman kita. Karena maksud investasi seperti tersebut di atas adalah tentang menjadi sebaik-baik manusia dalam pandangan Allah kemudian Rasul-Nya.

“Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar, serta tidak akan pernah mati kebaikannya,”
SAYYID QUTHB


                Sebagaimana bisa dilihat dari perkataan Sayyid Quthb di atas, demikianlah hakikat kehidupan kita. Apakah kita hanya ingin lahir, jadi anak kecil, remaja, sekolah, kuliah, kerja(atau nikah dulu buat yang udah mampu waktu masih mahasiswa), nikah, punya anak, terus mati? Jika demikian, memang benar umur kita hanya sekitar 60-70 taun. Dan meski kita lihat itu cukup panjang namun sebenarnya sangat pendek apabila dibandingkan dengan umur peradaban manusia itu sendiri. Akhirnya, setelah mati mungkin hanya sampai cucu kita hidup(maksudnya ingatan akan diri kita).

                Sekarang bandingkan dengan para ‘ulama, seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, atau Imam Asy-Syafi’i. Sudah berapa ratus tahun mereka wafat? Namun sampai sekarang mereka masih hidup. “Bahkan mungkin di antara antum ada yang suka tidur bersama mereka. Namun sayangnya sekedar tidur, tidak belajar dari mereka. Yaitu dengan kitab para ulama sebagai pajangan saja. Keren kan, tidur bersama para ulama?” kata beliau. Ya, memang begitulah hakikat mereka. Mereka telah tertulis dalam lembaran sejarah dan mereka masih hidup hingga saat ini. Pahala pun mengalir deras disebabkan ilmu-ilmu mereka masih diajarkan di setiap majelis ilmu. Namanya masih sering disebut pada banyak halaqah keislaman. Meminjam istilah para ulama, mereka mempunyai umur yang kedua.

Jasadnya sudah berkalang tanah,
namun pengaruhnya dalam hati masih terasa.
Ali bin Abi Thalib

                Sekali lagi begitulah mereka. Hingga bahkan—contohnya—ketika Ibnu Taimiyyah dipenjara, orang-orang pun berkata,”Sekarang ilmu sedang terpenjara. Siapapun yang menginginkan ilmu, hendaklah sekarang ia masuk ke dalam penjara”. Dan waktu itu, berbondong-bondonglah manusia berusaha masuk ke penjara hanya demi mengikuti majelis ilmu Ibnu Taimiyyah. Memang begitulah kehidupan dan kesudahan orang yang selalu berkarya bagi umat. Sebagaimana juga ungkapan shahabat yang mulia Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu’anhu— dan semoga la’nat Allah untuk Syi’ah yang menghina beliau—terhadap shahabat Khalid bin Walid ketika memuji dan mengakui kejeniusan Khalid bin Walid dalam strategi perang di Persia(moyangnya orang Syi’ah) yang luar biasa:          

“Wahai sekalian kaum Quraisy, sesungguhnya ‘singa’ kalian telah mengalahkan singa yang sesungguhnya, lalu ia merobek-robek dagingnya. Tak akan ada lagi wanita yang mampu melahirkan sosok seperti Khalid bin Walid.”

                Demikianlah sejarah selalu menuliskan nama orang-orang besar. Dan orang yang besar adalah orang-orang yang selalu berjuang untuk Islam, sebagaimana para shahabat dengan julukannya masing-masing seperti Ash-shiddiq, Al-Faruq, Saifullah, dan sebagainya. Tak pernah tertulis Fulan bin Fulan Sang Mahasiswa-Peraih-IPK-4-yang-Pandai-Main-Gitar-lalu-Bekerja-di-Perusahaan-Multinasional-Beristrikan-Akhwat-Cantik-Beranak-Dua-Karena-Patuh-pada-Program-KB-lalu-Meninggal-Dengan-Damai-di-Atas-Kasur-Empuk-lalu-di-Makamkan-di-Pemakaman-Umum. Sejarah tak pernah menuliskan hal-hal remeh seperti itu. Karena sejarah memiliki ciri khasnya.

Lembaran sejarah itu sedikit.
Tidak ditulis dalam lembarannya kecuali orang-orang yang pantas.
Syaikh ‘Abdullah Azzam.

                “Untuk menguji diri antum, coba antum ketik nama antum di google. Kira-kira yang keluar apa? Yang baik-baik atau yang buruk? Kalau tiba-tiba ‘Wanted’ kan payah juga. Mending kalau ‘wanted’-nya gara-gara dalam rangka iqomatuddin, lha kalau dicari KPK kan memalukan juga? Sekarang bandingkan jika antum mengetikkan nama Ibnu Katsir. Wah, Wikipedia aja pasti panjang kan?” begitu retorika ustadz kepada kami.

                Dan untuk berkarya bagi umat, jalan yang ditempuh tidaklah mudah. Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim mengenai qaanuun al-ladzah(Hukum Kenikmatan):
Kenikmatan adalah sesuatu yang dicari oleh manusia, bahkan oleh setiap makhluk hidup. Kenikmatan ini secara asal tidaklah tercela. Namun, kenikmatan menjadi tercela apabila ia menyebabkan hilangnya kenikmatan yang lebih besar dan lebih sempurna. Atau, ketika mendapatkannya mengakibatkan derita yang lebih besar dari pada derita ketika tidak mendapatkannya.

Di sinilah akan tampak perbedaan antara orang yang berakal cerdas dan orang yang bodoh. Ketika orang yang cerdas mengetahui perbedaan antara dua kenikmatan ini, ia paham betul bahwa keduanya ini tidak bisa dibandingkan. Ia akan sangat ringan untuk meninggalkan kenikmatan yang lebih rendah untuk mendapatkan kenikmatan yang paling mulia. Ia juga akan rela menanggung derita yang lebih ringan untuk menghindari derita yang sangat berat.

Apabila kaidah ini kita pahami, maka kenikmatan akhirat itu lebih besar dan kekal. Adapun kenikmatan dunia itu rendah dan begitu sebentar. Demikian pula derita akhirat dan derita dunia.

Ini semua kembalinya kepada keimanan dan keyakinan. Apabila keimanan menancap kuat, qalbu akan memilih kenikmatan yang lebih tinggi dari pada yang lebih rendah. Dia sabar menanggung derita yang lebih ringan (derita dunia) untuk menghindari derita yang lebih besar (derita Akhirat).
Sumber: Al Fawaid karya Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah.

                Karena dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir. Jadi, memang di dunia seorang mukmin akan lebih sering menemui hambatan-hambatan dalam menjalankan visi dan misinya. Lalu beliau mengutip syair imam Asy-Syafi’i:

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu  tak ubahnya seperti kayu biasa
Jika didalam hutan.

(Syair dari Imam Syafi’i)

                “Salah dalam memandang kehidupan, maka akan salah dalam menjalani kehidupan. Jangan hanya aspek ilmiah, namun perhatikan juga aspek amaliyah,” begitu sambung ustadz.

“Orang yang bisa melampaui kebanyakan manusia dalam persoalan ilmu, hendaklah ia juga bisa melampaui manusia dalam persoalan amal”
Hasan Al-Bashri

            Dan ta’lim semalam ditutup dengan sebuah hadits diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Majah dari Umar,

“Ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba muncul seorang shahabat Anshar. Setelah mengucap salam kepada beliau, ia bertanya, “Rasulullah, siapakah orang mukmin yang terbaik itu?” Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya”. Ia bertanya, “Siapakah orang mukmin yang paling pintar?” Beliau menjawab, “Yang paling sering ingat kematian dan yang punya persiapan terbaik untuk menyambut apa yang terjadi sesudahnya. Mereka itulah orang yang paling pintar


Note: Bagi yang merasa ada kesalahan, silahkan memberikan sarannya. Saya menuliskan ini semua berusaha tiada maksud lain kecuali menyebarkan kebaikan. Jazakumullah Khair :)

2 komentar:

  1. :) dari segi bahasa bagus bingit daah :D
    isinya juga berbobot..berarti bener2 dengerin ini pas ta'lim :D

    BalasHapus