Selasa, 01 Juli 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,
KIBLAT.NET—Di kalangan aktivis Islam, Pemilu yang akan berlangsung besok ini terasa beda. Bila sebelumnya Pemerintah selaku penyelenggara Pemilu sendiri “memerangi” golput, kali ini beberapa tokoh dan aktivis Islam—bahkan MUI secara resmi—pun mengajurkan umat Islam memilih caleg yang ditengarai akan bermanfaat bagi kebaikan Islam dan kaum Muslimin.


Sebenarnya tidak ada nash qath’i tentang halal-haramnya nyoblos atau golput. Semua didasari oleh ijtihad yang lahir dari perspektif berpikir yang berbeda dalam memandang mashlahah-madharat.Juga oleh kesimpulan yang berbeda terkait pengalaman serupa yang terjadi di masa lalu.

Sayang, etika berijtihad ini terganggu oleh sikap tokoh atau aktivis Islam pro-coblos yang terus aktif memprovokasi kelompok golput dengan serangkaian tudingan yang kurang etis. Di Jawa Timur, dalam kampanye sebuah partai berbasis Islam disebutkan kelompok golput sebagai pengkhianat perjuangan. Tapi, biarlah, namanya orang partai, 1001 satu cara—tak peduli halal atau haram—akan ditempuh untuk menggelembungkan jumlah pemilihnya.
Tetapi, beberapa tokoh dan aktivis yang tidak berafiliasi pada partai politik tertentu pun tak kalah sengit memojokkan golput. Akun @Fahmisalim2, misalnya mengatakan, “Rebut kemenangan politik jd amal soleh, melawan kudeta (kalo dah menang) jg amal soleh. Lha yg golput reliji nanti paling cm menonton saja.”Seolah beramal untuk Islam itu hanya lewat coblosan saja. Yang tidak mencoblos cuma bisa menonton.
Golput memang bisa dibaca sebagai jalan pragmatis bagi mereka yang putus asa melihat kebobrokan sistim kepemimpinan negeri ini berikut calon-calon pengembannya. Bisa juga pilihan terakhir bagi orang-orang bingung. Bingung, karena anjuran mencoblos tidak disertai siapa nama yang direkomendasikan. Juga bingung, apa jaminan caleg yang dicoblos benar-benar komitmen membawa kebaikan bagi Islam dan kaum Muslimin.
Namun, memilih untuk golput bisa juga dilandasi oleh sebuah manhaj tertentu dalam iqomatuddin. Pengikut manhaj ini menempuh cara iqomatuddin melalui tiga tahapan: dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fi sabilillah. Cara terakhir hanya dipilih ketika kedua cara sebelumnya mentok oleh dinding tebal berupa ancaman fisik.
Adapun terhadap nyoblos dalam Pemilu dan keikutsertaan dalam sistim demokrasi, kelompok ini memandang terlalu berisiko besar. Risiko pertama, bagi mereka, sulit untuk mengkorelasikan kegiatan nyoblos  dan ber-demokrasi tersebut dalam manhaj Nabi SAW dalam memperjuangkan Islam.
Memang, sekali lagi, di simpang ini pun ruang perbedaan pendapat masih terbuka lebar. Namun, salahkah bila mereka komitmen kepada keimanan bahwa dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fi sabilillah sebagai jalan menuju tegaknya syariat Allah?
Risiko kedua, bagi kelompok ini “berdakwah” dalam sebuah sistim berkubang kekufuran seperti demokrasi sangat riskan terhadap nilai-nilai tauhid. Bagaimana mungkin bisa duduk-duduk dalam satu majelis bersama kaummujrimin yang dalam membuat perundangan selalu memenangkan hawa nafsu di atas syariat Allah?
Sementara, tingkah polah mujrimin tersebut—meski kelak menguasai parlemen—masih bisa dihadang dengan apa yang disebut parlemen jalanan. Tentu saja, rekrutmen massa dan penggalangan opini untuk melawan mujrimin itu, bagi mereka, bisa dilakukan dengan cara dakwah.
Kelompok golput Manhaji ini mempunyai pijakan yang kuat untuk tidak terlibat sama sekali dalam Pemilu. Gertakan bahwa komposisi parlemen juga pemerintah akan dikuasai para mujrimin tidak bakal membuat mereka berubah pikiran. Kalau toh itu benar-benar terjadi (nas’alullaha al-afiyah), mereka sudah punya prinsip yang didasarkan pada wejangan Nabi SAW kepada Ibnu Abbas RA, “Seandainya seluruh manusia berkumpul untuk menimpakan mudharat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu selain sebatas apa yang telah Allah takdirkan kepadamu.”
Diakui, dalam kelompok ini juga terdapat pemikiran ekstrim yaitu mengkafirkan secara mutlak semua yang terlibat dalam pemilu dan demokrasi. Namun, itu bukan arus utama. Masih banyak di antara mereka yang bersikap adil, dan memilah mana pelaku demokrasi yang bisa dicap murtad dan mana yang belum bisa dicap karena ada mawani’ berupa takwilatau jahl.
Masih dominan di kelompok ini, pemikiran yang memaklumi (meski tetap tidak membenarkan) jalan mencoblos sebagai pilihan lantaran dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fi sabilillah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kalau toh terdapat kritikan keras kepada pencoblos, itu bagian dari nasehat agar para pencoblos dan yang dicoblos tidak keblablasan, mengingat godaan dunia di jalan demokrasi yang luar biasa beratnya. Jadi?
Mari bersikap adil dan dewasa. Jangan nihilkan peran kelompok golput dalam membela agama Allah ini. Toh, Pemilu bukan segalanya. Masih banyak wasilah perjuangan yang muttafaq alaih dan bisa menjadi lahan sinergi semua elemen umat ini. Jangan gundah, karena Allah bersama kita.
Penulis : Tony Syarqi

Sumber: http://www.kiblat.net/2014/04/08/golput-putus-asa-bingung-atau-manhaj/#.U7OHqP3W5Mo.facebook

Entah kenapa lebih nyaman share di sini :)

0 komentar:

Posting Komentar