Berawal dari film kopian
berkualitas (sangat) buruk yang berjudul “300: Rise of An Empire” maka jadilah
saya bergerilya mencari kopian yang berkualitas mantap. Tanya-tanya kawan yang
ada di Semarang, dan ternyata kawan saya yang biasa saya panggil Abang pun
menyanggupi untuk berbagi. Dan jadilah saya pada hari Minggu kemarin menikmati
suasana Kota Semarang (yang panas) dari dalam jendela Bus Rapid Transit—yaah,
macam Busway-nya kota ini. Cukup tiga ribu lima ratus perak dari ujung barat
hingga ujung timur kota. Tak hanya itu, ternyata saya juga berhasil membawa
pulang serial “Avatar, The Legend of Korra: Spirit”, juga novel "Ayahku (Bukan) Pembohong".
Sekalian sudah keluar rumah
Abang pun mengajak saya ke rumah kawan yang biasa kami panggil Pang (PanglimaCT
sih). Dengan tiga orang pemuda berkumpul saat liburan maka muncul pula ide
keren: cari tempat jalan-jalan yang unik di sekitar Semarang. Melalui Google,
didapat beberapa alternative. Mulai dari sekedar nama jalan di dekat pusat kota
hingga sebuah air terjun yang belum pernah terdengar oleh telinga kami: Curug
Lawe dan Curug Benowo.
Tertarik dengan nama curug yang
mirip salah satu nama teman kami di kelas Olimpiade dulu, tanpa babibu kami pun
mulai mencari jalan ke sana. Dan tahukah Anda, menurut link di sini yang di
dapat hanyalah sebuah koordinat. Ketika dimasukkan ke Gmaps yang tertunjuk
adalah suatu kata yang begitu spektakuler: Unnamed Road!
Hari
yang ditentukan tiba dengan persiapan yang belum ditentukan. Bahkan sebenarnya
pada hari H saya baru tahu ada dua peserta lain haha. Singkat cerita sampailah
kami di tempat parkir, di dalam sebuah perkebunan cengkeh. Secara garis besar
udaranya lumayan sejuk, meski tidak selembab yang di perantauan sana. Itu yang
saya rasakan ketika menjejak kaki pertama sekeluarnya dari mobil (Redi).
Setelah
basa-basi sedikit dengan bapak yang menjaga keamanan di sana, kami pun siap
melemaskan kaki dan otak dengan pemandangan air yang memiliki energy potensial
tersebut. Ada sekitar satu setengah jam kami harus menyusuri saluran irigasi.
Sebelah kanan adalah sungai kecil dengan air yang luar biasa jernih dan sebelah
kiri adalah hamparan hutan Gunung Ungaran—dengan jurang yang dalam di beberapa
tempat. Sepertinya akibat akumulasi rasa kagum, keceriaan, dan rasa haus pada
beberapa tempat jalannya berasa bergoyang. Ternyata setelah saya pikir mungkin
ada sedikit phobia saya dengan ketinggian ahahaha.
Pada
suatu tempat jalan-jalan bagai menghilang, dan di sanalah ijtihad pemimpin
jalan (bergantian antara saya, Pang, dan Abang) sangat berperan. Ketika harus
menyeberangi sungai tak ada yang lebih menggelikan daripada kawan-kawan yang
memakai sepatu. Ada pula beberapa jembatan kayu yang sangat keren, dan satu
jembatan besi yang sangat tinggi. Hingga akhirnya kami pun menemukan beberapa
papan tanda yang dibuat oleh mahasiswa Unnes yang KKN pada tahun 2012. Satu
yang paling menentramkan hati bahwa kami tidak tersasar adalah penunjuk yang
ada di sebuah persimpangan: satu ke Curug Lawe dan satu ke Curug Benowo. Yeah!
Tapi
ternyata perjalanan tidak semulus itu. Bahkan saya pribadi sempat berpikir,”Ini
curugnya udah kena gusur kali ya?” Namun Allah selalu Memberikan kejutan indah.
Ketika perjalanan semakin aneh—merangkak akibat tangga batu yang mulai
longsor—Abang berhenti, dan dengan tatapan aneh melihat saya yang ada di belakangnya.
“Tuh!”
Dan terlihat di hadapan saya
curug tersebut. Bagaikan dua pertiga tabung sehingga sangat berbeda dari air
terjun lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Terasa seperti terpenjara namun
entah kenapa ketidaknyamanan saya di ruang tertutup tidak demikian terasa kuat
di sana. Lalu saya dan Abang menanti kawan-kawan yang tidak bergolongan darah O
di atas sebuah batu. Ketika mereka datang dengan wajah lelah, saya pun
nyeletuk.
“Kita sudah
sampai lho!”
“Masa Cer?” kata
Fu (saya punya panggilan selain Heri di kelas yang nama pemberian orang tua
bisa dimodifikasi ini).
“Tapi bo ong
hahaha,” jawab saya.
Lalu Fu pun melihatnya dan
mulutnya hanya mengucap kata,”Waaaaaaah…..”
Perjalanan belum selesai, karena
untuk mencapainya harus memanjat beberapa batu licin lagi. Saya lihat jumlahnya
peserta kurang satu, dan ternyata Redi sedang ganti celana haha. Syukurlah,
saya kira ketinggalan di parkiran -_-
Meski puasa rasa haus itu tidak terasa hingga
keinginan untuk minum sepuasnya pun menghilang. Hanya sanggup mengagumi namun
agak kecewa ketika melihat satu—hanya satu—sampah plastic bekas bungkus keju
lembaran Kra*t. Sepertinya saya lebih setuju curug ini tetap tersembunyi karena
orang Indonesia masih kurang punya otak jika menyangkut kata-kata bijak
berikut:
Don’t kill anything but time
Don’t put anything but pictures
Don’t leave anything but footsteps
(tapi
saya kemarin ambil buah beri hutan sih :p)
Ya intinya sangat buruk dalam
menghargai alam dengan sikap nyampah mereka. Jadi di sini saya memberi tahu
pembaca: Saya lebih suka keindahan alam Indonesia tetap tak terjamah sampai
orang kita cukup terampil untuk memasukkan sampah (terutama plastic) ke dalam
tas atau kantongnya untuk kemudian di buang di kamarnya!
Ada
satu saran lagi bagi pembaca jika berminat ke sana: harap membawa minyak
cengkeh atau korek api karena siapa tahu ada lintah air yang menempel. Sebab
kemarin ada seekor yang menempel di betis saya dan di pergelangan tangan Baz.
Untung saja terdeteksi sejak dini hingga bisa dicabut langsung. Ternyata bener,
digigit lintah itu gak kerasa haha. Dan lintah itu kenyal banget. Bisa dipakai
buat bikin roda mobil gak ya? :v
Setelah
lepas baju, main air, foto-foto, kami pun kedinginan. Maka sejam kemudian kami
telah berkemas untuk segera pulang. Yah, ucap salam perpisahan kepada air
terjun tersembunyi ini untuk yang terakhir kalinya. Semoga saat nanti saya ke
sini lagi nasibmu tidak seperti Curug Maribaya. Atau jika jalur ke tempat itu
menghilang demi menjaga keindahannya adalah hal yang terbaik, saya pun tak
keberatan.
Sampai
di persimpangan jalan, Abang pun punya ide untuk pulang sambil melewati Curug
Benowo. Tanggung katanya (kata saya sih sebenarnya ini). Dan jadilah terdengar
sedikit protes dari kawan-kawan melihat dua O yang egois dengan ambisinya ini
haha. Kembali, saya dan Abang sudah jauh di depan akibat tidak sabar melihat
Curug Binowo eh Benowo.
Jalannya
lebih mudah namun lebih menanjak dan jauh. Hingga beberapa saat kemudian
(setengah jam) terlihat sebuah air terjun yang terbuka dengan ketinggian yang
spektakuler. Benar-benar di tempat terbuka! Beda jauh dengan Curug Lawe
sehingga Anda tak akan bosan dan rugi jika menyambangi keduanya. Apalagi jika
Anda egois, ambisius, dan memiliki fisik yang cukup baik hehe.
Puas
berfoto, kami pun berniat pulang. Hanya terasa kok jalannya jadi aneh. Untung
ada Pang yang dengan ringan hati melakukan survey jalan haha. Setelah sedikit
lompat-lompat batu, kami pun kembali ke track yang sama dengan track berangkat.
Dan dengan hati riang gembira kembali ke parkiran.
Perjalanan
pun berlanjut dengan keinginan salah satu peserta yang ingin berbuka dengan
Tahu Serasi dan langsung disetujui peserta lain. Di Bandungan.
Yah,
mungkin inilah reuni pendahuluan kami. Enam orang (seperlima) anggota kelas Olimpiade
Angkatan Kedua SMA Negeri 3 Semarang. Sebuah kelas Olim yang terlalu sering
main tapi prestasi anggotanya tak kalah mentereng (bukan saya hehe) :)
Semoga
cita-cita kita tercapai sebagaimana beberapa hal yang telah kita capai sampai
saat ini.
NB: Gambar menyusul, menunggu upload dari yang bawa kamera hehe. Tapi ilustrasinya bisa dilihat di link yang saya berikan di atas. Mirip banget kok :)
Yang di-upload baru ini:
0 komentar:
Posting Komentar