Entah sudah berapa kilometer
kaki saya harus melangkah lagi. Menembus pusaran-pusaran pasir yang
diterbangkan angin gurun, dengan dahaga yang tak terkira. Apalagi untuk
kerongkongan manusia khatulistiwa seperti saya ini. Sejauh mata memandang hanya
beberapa desa hancur yang saya lihat. Teronggok pula sisa-sisa kendaraan yang
hangus terbakar, selongsong peluru yang menyaingi jumlah kerikil, atau beberapa
binatang liar yang khas ditemui di daerah tak berpenghuni. Kota hantu ini,
menurut kawan baru saya belum lama terbentuk.
“Desa ini hancur
ketika tentara pemerintah berusaha merebutnya dari kami, saudaraku. Alih-alih
menyerbu dengan pasukan darat, mereka lebih suka melemparkan roket-roketnya.
Dan malam itu, kau bisa makan kambing panggang bahkan tanpa menyembelihnya
hahaha,” kata kawan baru saya dengan begitu entengnya. Tidak pahamkah dia jika
candaannya membuat saya harus menahan diri untuk tidak muntah?
Saya hanyalah satu dari beberapa
gelintir relawan yang masih setia untuk berjalan-jalan di negeri yang telah
dicabik perang ini. Sebuah perang antara mereka yang memegang kekuasaan, dengan
mereka yang melihat kekuasan itu telah menjadi kesewenang-wenangan. Sebuah
kesewenang-wenangan yang tidak hanya melulu urusan pembagian kekuasan dan
keadilan, namun kini telah menyeret urusan keyakinan. Dan di sinilah saya,
bersama beberapa gelintir orang tersebut. Di sebuah negeri yang tersaput duka
perang. Negeri ini tidak terlalu jauh dari negeri sejenis yang begitu ramai
beritanya di televisi negara saya, namun entah kenapa negeri ini seolah
terlupa. Mungkin karena tidak menguntungkan secara politis maupun ekonomi jika
mengangkatnya. Dan kami di sini bukan untuk membela salah satu pihak—meski
secara keyakinan itu sangat mustahil—namun untuk meringankan beban para korban
perang sesungguhnya—warga sipil.
“Saudaraku,
masih jauhkah perjalanan kita?” tanya saya.
“Hahai, sudah
lelahkah kau saudaraku? Mari, mari kita istirahat dulu,” sahutnya. Wajah kawan
baru saya ini tidak lebih seperti wajah pemuda sebangsanya. Bahkan jika tidak
sedang memanggul Kalashnikov dan lirikan
waspada setiap melewati batas desa baru, saya akan dengan senang hati
mengajaknya pulang kampung dan mengenalkannya sebagai pemain bola dari
seberang.
Sembari berbagi bekal dan
menegur sapa pada rombongan yang lain, saya melihat pemuda tadi duduk
menyendiri di batas desa. Di atas tumpukan reruntuhan rumah.
“Salam, sedang
apa kau saudaraku?” tanya saya sambil mengulurkan sebotol air mineral.
“Salam,
saudaraku. Seperti biasa, aku sedang berjaga. Siapa tahu ada yang tidak senang
dengan kehadiran kita hehe,” jawabnya sambil menyambut botol air mineral dari
saya. Meskipun diucapkan dengan ringan dan nada jenaka, tetap saja kata-katanya
selalu membuat saya menelan ludah terkejut.
“Eh, yaya aku
paham maksudmu saudaraku. Namun, sepertinya kau tidak melihat sekitar sini.
Kulihat kau menerawang jauh ke arah tujuan kita. Dan kata komandan, kau bahkan
berlari dari tempat berjaga untuk sekedar mengajukan diri mengawal kami kan? Hahaha,”
saya mulai menggodanya.
“Ternyata rumor
bahwa orang dari negeri kalian begitu perhatian tidak salah. Mungkin karena
pandangan kami terhalang oleh hidung besar kami ini!” kami pun tertawa
terbahak-bahak atas leluconnya itu. Akhirnya, ketika tawa kami mereda ia pun
melanjutkan.
“Setiap orang
memiliki kisahnya sendiri saudaraku. Bahkan di tengah situasi yang mungkin kau
pikir hanya berkisah pada urusan mesiu, amunisi, darah, dan kematian,” jawabnya
ringan. Tidakkah dia sadar kata-katanya terlalu menakutkan untuk orang seperti
saya? Yang datang dari suatu negeri yang katanya surga dunia?
“Sebelum perang keparat ini berkecamuk,” kawan
saya ini menghela napas, seolah ada beban berat yang akan dibagi, ”aku memiliki
teman dari kecil. Seorang gadis. Dia tidaklah begitu cantik, pemarah, juga saat
kecil selalu memanggilku ‘Si Tukang Tidur’. Namun entah bagaimana aku tahu
saudaraku,…” kata-katanya terpotong oleh tanda dari pemimpin rombongan bahwa
kini saatnya melanjutkan perjalanan. Sebagai perintis jalan, pemuda tadi minta
izin kepada saya sambil mulai menyandang senjatanya. Namun akhirnya saya
berkata, bahwa saya masih ingin mendengarkan keseluruhan ceritanya.
“Saudaraku, apa
yang kau tahu eh?” tanya saya. Setelah berdeham dan tersenyum simpul, ia pun
melanjutkan.
“Sebelumnya aku
minta maaf jika aku bercerita dengan suara yang terlalu pelan dan tanpa
memandang wajahmu saudaraku.”
“Tidak masalah,”
kata saya sambil mengedikkan bahu.
“Ya, aku tahu
bahwa aku selalu ingin mendengar omelannya. Aku selalu rindu saat-saat dia
selalu mencubit lenganku jika aku tertidur di sekolah dasar. Dan akhirnya aku
pun tahu, aku mencintainya,” entah bagaimana saya melihat di wajahnya yang
jenaka, matanya berkaca. Dan saya kini sadar mengapa dia selalu mendongak—untuk
mencegah air matanya jatuh.
“Saat itu kami
sudah mengikat janji setia seperti layaknya muda-mudi saat ini. Kami menjalani
hari-hari kami dengan berangkat kuliah bersama, masuk kelas, lalu pulang
bersama. Begitu setiap hari, tak ada main bersama atau apa lagi. Karena ayahnya
adalah orang yang paham dan ketua yayasan sebuah lembaga pengkajian di distrik
kami. Namun kami waktu itu belum begitu tertarik dengan aturan-aturan keyakinan
kami. Lalu, perang ini terjadi…”
Saya melihat kini dia menunduk,
menyerah. Menyerah pada air mata yang akhirnya jatuh.
“Jangan
bilang-bilang ke orang-orang di belakang sana kalau aku menangis saudaraku.
Bisa jadi bahan bercandaan di parit pertahanan nanti hehe,” katanya sambil
menyeka dengan bahunya.
“Eh, sampai di
mana tadi? Ah ya, awalnya kami kira perang ini tak akan besar. Hingga akhirnya
kami sadar, ini bukan sekedar pertengkaran antara raja dengan rakyatnya. Ini
lebih jauh dari itu, ini tentang sesuatu yang lebih aku cintai dari pada gadis
tadi. Ini lebih daripada cintaku pada diriku sendiri. Akhirnya, aku pun
mengangkat senjata karena keyakinan kami memanggil jiwa raga setiap
pemeluknya!” kini saya melihat matanya garang memandang kejauhan. Hilang sudah
wajah jenaka maupun wajah mellow tadi.
“Akhirnya, kami
sepakat untuk menjalankan pernikahan. Itu setengah jam menjelang kepergianku ke
kamp pelatihan, dan dua hari menjelang kepergiannya ke kamp pengungsian. Kamp
yang hari ini akan kau datangi saudaraku,” katanya sambil menoleh kepada saya.
Sungguh, ada yang berbeda pada pandangannya kali ini. Saya tidak tahu apa itu…
“Pernikahan itu
begitu singkatnya, hingga sekedar mengecup keningnya pun aku tidak sempat.
Setahun terakhir, aku hanya tahu bahwa dia masih hidup dari informasi yang
kudapat. Informasi dari ayahnya. Oh ya, ayahnya dan aku bertugas di front yang
sama, namun beliau gugur tiga bulan yang lalu. Jadilah aku sebenarnya tidak
tahu keadaan istriku itu semenjak tiga bulan yang lalu…”
Saya sungguh kehabisan kata-kata
dalam menanggapi cerita ini. Bahkan ransel berisi obat-obatan seberat lima
puluh kilogram ini tak lebih berat dari rasa sesak yang hadir di dada mendengar
cerita kawan baru saya ini.
“Yaaah, kata
kalian hidup adalah pilihan bukan saudaraku? Akhir perang ini buatku cuma dua:
mati sebagai martyr atau tetap hidup dan bersama membangun rumah kecil di kebun
anggur warisan bapak. Berjalan mesra pada satu senja dengan anak-anak kami, dan
menjalani hidup berdua hingga tua…”
Akhirnya sisa perjalanan kami
isi dengan ia yang banyak bertanya. Tentang negeri asal saya, tentang bagaimana
penduduknya, dan bagaimana cerita keluarga saya sendiri. Matanya berbinar
takjub ketika kami ceritakan di sana sepanjang mata memandang hanyalah hamparan
hijau sawah dan hutan bambu.
Dan sampailah kami di kamp
pengungsian yang dimaksud. Setelah menunjukkan surat jalan kepada penjaga
bersenjata di sana, kawan baru saya tadi berdiri saja di gerbang depannya.
Tidak ingin beranjak.
“Aku tadi
bertanya kepada saudara di sini (sambil menunjuk pemuda bersenjata yang menjadi
penjaga gerbang) apakah istriku ada. Lalu ia menyuruhku menunggu di dalam kamp
sambil beristirahat. Namun entah kenapa aku ingin menunggunya di sini. Karena
aku tak yakin bisa siap dengan berita yang ada jika berita itu di sampaikan
sedangkan aku sudah di dalam sana,” katanya sambil tersenyum.
Lalu dengan langkah yang anggun
seorang gadis muda yang luar biasa manisnya berjalan tersaruk-saruk sambil
dituntun oleh wanita yang lebih tua. Maka melihat binar di mata kawan baru saya
tadi, saya tahu itulah istrinya. Dengan tahu diri saya pun menyingkir, dan
adegan yang terlihat selanjutnya sungguh membuat saya hanya sanggup ternganga.
Setelah cukup dekat, wanita tua
tadi terlihat memaksa si gadis muda untuk menghampiri suaminya seorang diri.
Sambil menunduk ia pun mendekat. Lalu pemuda kawan saya tadi pun jatuh
terduduk, tertawa demikian bahagianya. Tawa yang menjadikan mereka tontonan.
Tawa yang mengundang senyum semua yang melihatnya.
Akhirnya ia pun berdiri dan
memandangi gadis yang menunduk cemberut di depannya, malu menjadi tatapan
banyak orang. Lalu gadis tadi pun mendongak, memandang lekat wajah suaminya. Masih
dengan cemberut. Namun lama-lama tersenyum dan menunduk lagi, terlihat bulir-bulir
kristal bening mengalir bagai sungai kasih tak terkira di wajahnya. Perlahan,
ia pun mengangkat kembali wajahnya sembari mengelus lembut pipi suaminya yang
lebat oleh cambang dan kusut akibat debu pertempuran.
Sampai di sana mereka pun
kembali mematung, hingga sang pemuda berkata lirih akan sesuatu dan sang gadis
pun dengan senyum merekah menanggapinya. Lalu sang pemuda berkata lagi, kali
ini sang gadis hanya mengangguk sambil menunduk. Ketika sang pemuda hendak
berpaling, si gadis memanggilnya lalu berkata beberapa patah kata. Sang suami
menggeleng, namun si gadis bersikeras hingga menangis. Dan akhirnya, adegan
diakhiri dengan dibimbingnya tangan sang pemuda oleh tangan si gadis untuk
mengelus pipi lembutnya.
Setelah itu, sang pemuda
menghampiri saya.
“Salam,
saudaraku. Sepertinya perjumpaan kita hari ini akan segera berakhir. Aku telah
berjanji kepada komandanku bahwa aku akan segera kembali menuju pos awalku
karena hanya dizinkan untuk mengantar kalian. Dan tugasku ini tidak akan
selesai sampai setidaknya enam bulan lagi. Dan kebetulan ada konvoi pasukan
logistic yang akan ke garis depan, jadi mungkin aku bisa menumpang di antara
tumpukan gandum dan minyak goreng hahaha,” katanya ringan.
“Tunggu
saudaraku, bisakah setidaknya kau ceritakan apa yang kalian bicarakan tadi?”
“Yah, konvoi
akan berangkat setengah jam lagi. Baiklah, mari sambil duduk. Jadi tadi aku
tertawa karena aku demikian bersyukur dengan pertemuan kami. Setelah setengah
jam kebersamaan saat pernikahan kami dulu, inilah saat pertama kami berjumpa.
Lalu aku pun memberinya berita mengenai ayahnya yang telah gugur. ‘Ayah telah
di surga,’ begitu katanya. Aku pun begitu bahagia memiliki istri seperti
dirinya, istri yang begitu mengerti makna perjuangan ini. Lalu aku berkata
tentang perintah untuk segera kembali karena ijinku hanya mengawal kalian
sampai di sini. ‘Selamat berjuang Ksatriaku, aku akan selalu mendoakanmu,’
begitu katanya sambil menunduk. Saat aku berpaling, dia pun memanggil namaku.
Ia bertanya kenapa aku tidak menyentuhnya, memeluknya, atau, ah sudahlah. Kami
pun berdebat hingga air matanya semakin deras. ‘Kalau begitu, biar aku pinjam
tanganmu,’ katanya lagi. Dan seperti kau lihat saudaraku, dia menyentuhkan
tanganku yang kasar dan kapalan ini ke pipinya yang sangat halus. Lalu, aku pun
bergegas meninggalkannya.”
“Kenapa kau tak
mau menyentuhnya, saudaraku?” tanyaku heran.
“Sama dengan
alasan aku tak mau masuk ke dalam kamp,” sahutnya ringan sembari tersenyum.
“Maksudmu?”
“Aku takut tak sanggup
meninggalkannya…”
Bismillah.. gan, follow balik blogku yo gan.. keren ceritane.. sippp.. (padahal durung moco)
BalasHapuslha wes diwaca rung saiki? -_-
HapusFYI, iki saka statuse Fathi haha