Jumat, 18 Juli 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , ,


               
Pendahuluan

Kali ini saya ingin berbagi sesuatu. Sebuah cerita yang mungkin benar-benar sekedar cerita, bahkan saya sendiri tak ada motivasi untuk berbagi hikmah. Meskipun bahkan pada hal cerita paling tidak mutu di blog ini pun saya selalu ingin berbagi hikmah—seperti pada serial “Jalan-Jalan#” dan “Berasa Bodoh#”, namun untuk yang satu ini biarkan ada yang berbeda. Yah, bisa dibilang ini adalah salah satu hal yang benar-benar serupa curhat di blog ini.

                 Dan mohon dipahami pula, bersamaan dengan tidak adanya motivasi untuk memberi pelajaran maka sebenarnya tak ada pula tendensi apa pun. Tak ingin menyindir siapa pun. Dan tak ingin menyenangkan siapa pun pula—kecuali diri saya hahaha. Jadi, sebenarnya saya mau curhat apa?

                Kemarin saya membaca sebuah novel—pinjaman—yang sangat bagus dengan judul “Ayahku (Bukan) Pembohong”. Banyak hal yang akan saya dapatkan, kata yang punya novel, darinya. Sebagian besar bagaimana cara mendidik anak sebagai seorang ayah, bagaimana bersikap ke ayah, dan bagaimana yang lainnya. Bahkan pada bagian belakangnya ada sebuah frasa yang sangat menarik:

                Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya. (Sungguh membuat penasaran bukan?)

                Memang benar ada banyak hal tentang cara mendidik anak yang sangat bagus di novel ini. Salah satu kalimat yang sangat hebat dari seorang ayah—dari dua generasi yang berbeda—tentang mengajari anak tentang janji, adalah ini:

“Kau tahu, Dam, Laksamana Andalas terkenal di seluruh dunia, dihormati anak buah, teman-temannya, disegani musuh-musuhnya karena disiplin dan selalu tepat waktu.”

(Wah, hore dapat satu kalimat canggih. Hanya nanti akan saya ganti dengan,”Kau tahu kawan, Khalid bin Walid selalu memenangkan semua perang, bahkan ketika melawan Rasulullah, adalah karena kedisiplinan dan kemampuannya untuk selalu melaksanakan apa yang dikatakannya. Beliau tak pernah jemu dan bosan terhadap pembelajaran, latihan, dan evaluasi. Beliau yang ketika berperang sebagai komandan maka kau akan melihat kesederhanaannya bagai prajurit biasa dan ketika bertempur sebagai prajurit biasa keperwiraannya akan membuatmu berpikir bahwa ia seorang panglima. Bahkan para sahabat berkata tentangnya,’Orang yang tidak pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.’ Lalu kini kau mau berhenti latihan bersepeda akibat jatuh tadi sore, Macan Kecilku?”—doakan ya haha).

Sedangkan Dam ketika mengajarkan hal yang sama pada anak-anaknya memakai kata-kata ini:

“Kita sudah bersepakat. Setengah jam sudah lewat, saatnya tidur. Kalian tidak akan melanggar kesepakatan kita, bukan? Atau tidak akan ada lagi orang yang menghormati janji kalian.”

                Mau versi mana pun menurut saya sama bagusnya. Namun, seperti biasanya saya bercerita, muqadimah saya seringkali berbeda dengan intinya hahaha. Karena justru yang saya ingin ceritakan di sini adalah Ibu Dam. Wanita luar biasa yang telah menemani dua puluh tahun kehidupan Ayah Dam, hingga menjadikan Bapak dan Anak itu menjadi orang-orang terhormat di kotanya (begitu kata novelnya, juga saya). Seorang wanita yang rela meninggalkan gemerlap karirnya sebagai, ah, jangan spoiler deh. Wanita ini, mengabdikan keseluruhan hidupnya di rumah. Dan wanita ini pula yang saya pikir menjadi titik inti antara Dam dan Ayahnya.

“Dua puluh tahun Ibu hidup apa adanya…Aku tidak pernah melihat Ibu tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibu tidak pernah ke mana-mana selain rumah kecil kita. Tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus rumah. Rutinitas yang sama setiap hari, itu-itu saja. Kehidupan Ibu hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia. Ibu boleh jadi bosan, tetapi dia tidak pernah mengeluh,” kata Dam.

“Definisi kebahagiaan ibu kau berbeda, Dam. Keluarga kita amat berbahagia.”

                Anda mulai dapat poinnya?

Tentang Ibu Saya

                Ya, ketika saya sedang membacanya pada siang beberapa hari kemarin saya pun menyadari sesuatu. Waktu melihat ibu saya yang istirahat siang ini, maka waktu itu pula terpikir betapa hebatnya karir ibu saya. Karir yang sama dengan milik Ibu Dam di novel tersebut. Hanya bedanya, ibu saya lebih cantik dan jauh lebih sehat. Sebuah karir yang memadukan ilmu manajemen sumber daya manusia, ekonomi, akuntansi praktis, pendidikan anak, psikologi, rekayasa teknik, keguruan, tata boga, dan yang terpenting: AGAMA.

                Dulu waktu kecil saya sering iri mendengar cerita beberapa kawan yang mengatakan tentang hadiah-hadiah yang dibawakan oleh ibunya ketika pulang kerja. Atau jika suatu ketika mengerjakan tugas bersama, dengan enaknya menelpon kantor ibunya dan bilang,”Mah, nanti pulangnya beliin ayam goreng ya buat makan malam kita.” Terasa begitu menyenangkan mempunyai ibu yang bekerja. Apalagi dandanan wanita karir selalu menakjubkan dan cantik, berbeda dengan ibu saya yang bahkan rambutnya saja selalu ditutupi saat keluar rumah. Itu adalah pikiran saya saat TK dan SD.

                Hadiah-hadiah itu, berbeda sekali dengan jawaban ibu saya jika saya minta sesuatu,”Nanti ya Nak, kita minta uang dulu sama Bapak. Ibu tidak bawa uang selain buat belanja hari ini.” (tentu dengan bahasa jawa). Dan memang secara kasat mata (saat itu) saya melihat kondisi ekonomi keluarga kami di bawah teman-teman saya. Seringkali dulu saya tanyakan,”Kok Ibu enggak kerja sih? Kan jadi enggak punya duit!” Jawaban ibu saya,”Nanti kamu juga paham Mas Heri.”

                Benar, kini saya paham.

                Oh ya, saya juga akan bercerita sedikit pengalaman saya dalam perjalanan ke Bandung semester kemarin. Saat itu, saya duduk sebangku dengan seorang wanita muda. Ternyata benar, umur kami tidak terpaut jauh bahkan ia lebih muda dari saya. Hanya bedanya dia kini bekerja sebagai baby sitter di Kota Kembang. Dari hasil ngobrol saya dapat kata-kata yang mencerahkan.

“Iya Mas, sebenarnya saya kasian dengan itu anak. Kedua orang tuanya pulang ketika dia menjelang tidur dan berangkat lagi ketika ia baru bangun. Mereka hanya kumpul kalau pas liburan dan sama saja—itu anak nempelnya sama saya. Bapak sama ibunya macam pacaran aja, berduaan terus haha.

Seharian yang menemani ya saya ini. Hingga akhirnya anak itu lebih dekat sama saya dibanding ibunya. Tiap pagi yang dicari pasti saya. Bahkan ini saja sebenarnya saya masih masa cuti tapi disuruh segera balik, katanya anaknya sakit gara-gara kangen saya,” katanya panjang lebar.

“Wah Mbak, emang Mbak mau kerja di sana terus? Kalau Mbak pindah atau gimana, bisa suram juga ya?”

“Hahaha, itu juga sering saya pikirin. Tapi ya gimana lagi, apa peduli saya? Dia kan bukan anak saya. Bahkan kalau dipikir-pikir percuma ya Mas. Ibunya saya lihat pinter sih, pendidikannya tinggi. Tapi anaknya akhirnya mainnya sama saya gini. Oh ya, kalau Mas kuliah di mana emang?”

                Saya jadi berpikir tentang kalimat terakhirnya tadi. Bukan, bukan tentang saya kuliah di mana. Namun mengenai percuma saja mau sepinter apa pun ibunya kini anaknya tidak bisa merasakan karunia itu. Atau cerita lainnya dari seorang teman tentang sepupunya yang pinter banget dan dapat suami yang juga pinter banget. Keduanya dari kampus jempolan di Kota Bandung. Banyak prestasi yang sudah mereka dapatkan, baik di bidang akademik maupun karir profesionalnya, namun ada satu masalah: Anaknya yang telah berusia 3 tahun belum bisa bicara akibat pembantunya malas mengajari bicara! Dan yang paling mengejutkan, semua cerita ini adalah kenyataan.

                Saat menulis ini saya pun sempat kembali bertanya kepada ibu saya,”Kenapa dulu enggak milih buat kerja?”

                Beliau pun bercerita banyak, tapi intinya hanya satu hal,”Bapakmu bilang buat jadi ibu saja. Biar Bapak saja yang cari duit, gitu katanya.” “Kok mau?”

“Ya istri kan harus patuh sama suami. Sempet sih dulu iri lihat teman-teman yang bisa beli barang-barang sendiri. Tapi,…”

“Tapi tidak sepadan dengan mengajari calon insinyur ini membaca, bukan? Hehehe…” potong saya. Karena menurut ibu, saya sudah tahu alphabet bahkan sebelum usia 3 tahun dan bisa menggambar helicopter juga tank pada usia yang sama (nyombong aaaah :v ).

“Nah, itu tahu.”

                Benar kata ibu saya, kini saya paham. Bahwa alih-alih iri dengan hadiah yang diberikan oleh ibu teman-teman saya sesudah pulang kerja, seharusnya saya bersyukur atas hadiah “kehadiran” dan ”kesiapan” ibu ketika saya terjatuh dari meja. Dan bersyukur atas pemahaman yang diberikannya tentang definisi jatuh: yaitu untuk mengetahui rasa sakit.

                Dan alih-alih saya iri dengan makan malam yang dibelikan ibu sepulang kerja, seharusnya saya bersyukur dengan masakan penuh cinta buatan beliau yang bebas MSG. Bahkan itu lebih baik daripada masakan pembantu bukan?

                Dan terpikir pula pula, beruntung sekali laki-laki itu. Laki-laki yang telah ‘memiliki’-nya selama dua puluh empat tahun ini. Laki-laki yang telah mengajari saya menjadi lelaki (yah, mungkin definisi lelaki menurutnya dan orang lain bisa saja berbeda hehe) dan muslim sebaik yang ia bisa. Lelaki yang sering debat dengan saya pada urusan remeh tentang sepanjang apa cacing harusnya ada di mata kail, namun sering sependapat pada urusan besar seperti tentang sangat dianjurkannya sholat jama’ah di masjid.

                Yah, mungkin cerita-serita suram di atas itu kondisi ekstrimnya. Karena toh banyak teman-teman saya yang lebih hebat dari saya meski ibunya wanita karir. Banyak pula ibu teman saya yang bisa memasak makanan untuk mereka meski berkarir di luar. Tak ada masalah kan? Anggap saja saya sedang berusaha “pamer” tentang wanita super saya. Dan mungkin sedang berdoa agar dapat yang seperti ibu saya, karena toh saya kan lebih ganteng dari Bapak saya hahaha ^^V (Ampun Pak Bos, jangan putuskan hak waris saya haha).

                Hanya mungkin jika masih ada yang menyangsikan hebatnya karir sebagai full-time-mother bisa baca kultwit Ustad Felix berikut:
1. saya masih ingat beberapa tahun lalu sebelum Muslim | papi sempat menasihati saya perihal "Ibu Rumah Tangga"

2. "lix, selama papimu masih bisa mencukupi keluarga, mamimu tugasnya di rumah" | tegas papi berpendapat soal IRT

3. padahal saat itu isu feminisme sedang santer | wacana wanita karir sedang panas-panasnya | arus genderisme mewabah

4. tapi papi tenang aja lalu menyampaikan | bahwa dia ingin yang terbaik bagi anak-anaknya | dan itu berarti perhatian full dari ibu mereka

5. hidup kala itu tidak mudah, dan akal lebih mudah seandainya mami bekerja | tapi papi sudah mengambil pilihan, dan itulah yang ia jalani

6. karena semua manusia punya pilihan | apa yang didapat dan apa yang dikorbankan | semua selalu tentang pilihan

7. sebelum Muslim pun saya tumbuh dengan memahami | lelaki dan wanita tidaklah sama | mereka punya kelebihan di bidang masing-masing

8. posisi ibu dalam dunia anak itu tidak tergantikan | perhatian seorang ibu pada anaknya takkan terbeli sebanyak apapun harta

9. dan posisi ibu itu tidak bisa diulang kembali | karena umur anak takkan bisa diputar lagi

10. maka ketika memilih calon ibu dari anak-anak kami syaratkan | "maukah engkau menjadi fulltime-mother bagi anak-anak?"

11. "saya nggak mau ketika anak dewasa lalu bermaksiat, kita menyesal 'mengapa dulu tidak habiskan lebih banyak waktu bersamanya?!'"

12. itu pemahaman sebelum Muslim | saat sudah mengenal Islam | kami memahami betul Islam paling memuliakan wanita

13. feminisme menjadikan materi sebagai standar sukses | wajar bila mereka merasa dunia tidak adil | karena materi jadi penanda sukses

14. feminisme menganggap waniat modern harus lebih mirip lelaki | bahwa bila wanita tidak bekerja maka wanita akan direndahkan

15. feminisme sukses mendidik wanita melihat kesuksesan sebagai | punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat dll

16. wajar hasilnya di negara-negara asal feminisme | wanita jadi lebih malas berkeluarga apalagi memiliki anak | kerja lebih asyik

17. menurut pandangan feminis | IRT itu perendahan martabat perempuan, tidak modern, perbudakan terhadap wanita

18. wajar di negara-negara yang vokal feminisme | perceraian pun memuncak | karena tidak ada satu pemimpin dalam keluarga

19. US misalnya yang jadi kampiun feminisme | angka perceraian mencapai 50% per 2012 sila rujuk http://t.co/OUvEkdUY8L

20. "nearly 80% cited financial problems as the leading cause of the marital demise" (Carr, 2003, p.10) | http://t.co/zQFsyYQuqe

21. feminisme mangaburkan fungsi ayah dan ibu dalam rumah tangga | hanya semata-mata demi mendapat lebih banyak materi

22. akhirnya meningkatlah angka single parents http://t.co/k9eNybXtq7 | dan jelas broken home http://t.co/yUvU499gT9 http://t.co/qAjjFfHBQJ

23. banyak juga studi-studi yang menperingatkan | sangat sulit untuk memadukan ibu dan karir sekaligus | http://t.co/mu5t6N2u3m

24. sebagai tambahan, US yang melahirkan gerakan feminisme saja | sudah banyak bermunculan gerakan anti-feminisme sebagai gantinya

25. di US, sudah banyak wanita sadar bahwa feminisme mengorbankan keluarga | mereka ingin kembali menjalankan peran ibu rumah tangga

26. karena seberapa banyak waktu pun yang didedikasikan untuk mendidik anak | tiada pernah akan ada waktu yang cukup untuknya

27. "saya ibu sekaligus karyawan, anak saya baik-baik saja" | di-sambi aja sudah baik, apalagi bila fulltime-mother? tentu sangat baik

28. lalu pertanyaan prinsipil | "apakah Islam melarang wanita bekerja?" | "apakah wanita tidak boleh berpendidikan tinggi?"

29. dalam Islam hukum wanita bekerja itu mubah (boleh) | sedangkan menjadi "ibu dan pengelola rumah tangga" itu kewajiban

30. jadi sah-sah saja wanita memilih bekerja | namun beres juga kewajibannya | tentu bila dia lebih memilih yang wajib, itu yang utama

31. hidup memang perkara pilihan | dan Islam memerintahkan untuk memaksimalkan waktu ibu untuk anak-anaknya | urusan uang biar ayahnya

32. bagaimana dengan wanita yang ditinggal suami apapun alasannya | maka bekerja menafkahi anak tentu amal pahala besar baginya

33. maka karir terbaik wanita | adalah menjadi ibu sepenuhnya

34. tentang pendidikan? | tidak bosan-bosan saya sampaikan | bahwa seorang ibu HARUS terdidik sempurna, tinggi dan luasnya

35. bahkan wanita Muslimah WAJIB lebih terdidik daripada lelaki | karena ialah madrasatul ula (pendidikan pertama dan utama) anak-anaknya

36. maka jangan tanya "untuk apa pendidikan tinggi bila hanya jadi IRT?" | jadi IRT justru perlu pendidikan tinggi

37. karena di tangan kaum ibu generasi Muslim berada | bukan di tangan ayah generasi Muslim dibentuk

38. banyak wanita yang sebetulnya bisa menggapai dunia lebih dari lelaki | tapi mereka mengorbankan segalanya demi anaknya | MULIA

39. dari ibunda MULIA semisal itulah | menjadilah Imam Syafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad

40. rata-rata ulama besar menghabiskan masa kecil dalam yatim | ibu merekalah yang mendidik dan mendaras Al-Qur'an setiap waktu

41. sembah sujud kami pada Allah yang selalu menjaga dunia dengan para ibunda MULIA | yang mau mengorbankan semua buat kami anak-anaknya

42. hormat khidmat kami padamu wahai ibu | yang gadaikan semua waktu tanpa sesal dan keluh | membina kami jadi yang terbaik dalam agama

43. pada para bunda MULIA doa kami | "Wahai Tuhanku, kasihilah keduanya, sebagaimana keduanya TELAH MENDIDIK AKU WAKTU KECIL" (QS 17:24)

44. kembali lagi semua masalah pilihan | part-time mother or full-time mother? | you decide  
                Eh ada satu lagi perbedaan besar antara saya (dan ibu saya) dengan Dam (dan ibu Dam):

                Ibu tersenyum, menyeka ujung mata. “Kau tidak boleh pacaran di sekolah.”

          Aku menyeringai lebar. “Ibu lupa, Ibu wanita nomer satu dalam dalam hidupku. Aku tidak akan pacaran dengan gadis mana pun.”

          Ibu mencubit lembut pipiku…

                Saya setuju pada tidak pacaran di sekolah, Ibu wanita nomer satu, namun tidak yakin akan diam saja saat dicubit pipinya karena reflex saya akan menangkisnya haha. Dan saya sangat menolak yang tak akan pacaran dengan gadis mana pun. Karena habis akad kan nanti saya tetap bakal pacaran sama Ummu Ibnu Heri kan? :)

0 komentar:

Posting Komentar