Pendahuluan
Kali
ini saya ingin berbagi sesuatu. Sebuah cerita yang mungkin benar-benar sekedar
cerita, bahkan saya sendiri tak ada motivasi untuk berbagi hikmah. Meskipun bahkan
pada hal cerita paling tidak mutu di blog ini pun saya selalu ingin berbagi
hikmah—seperti pada serial “Jalan-Jalan#” dan “Berasa Bodoh#”, namun untuk yang
satu ini biarkan ada yang berbeda. Yah, bisa dibilang ini adalah salah satu hal
yang benar-benar serupa curhat di blog ini.
Dan mohon dipahami pula, bersamaan dengan
tidak adanya motivasi untuk memberi pelajaran maka sebenarnya tak ada pula
tendensi apa pun. Tak ingin menyindir siapa pun. Dan tak ingin menyenangkan
siapa pun pula—kecuali diri saya hahaha. Jadi, sebenarnya saya mau curhat apa?
Kemarin saya membaca sebuah
novel—pinjaman—yang sangat bagus dengan judul “Ayahku (Bukan) Pembohong”. Banyak
hal yang akan saya dapatkan, kata yang punya novel, darinya. Sebagian besar
bagaimana cara mendidik anak sebagai seorang ayah, bagaimana bersikap ke ayah,
dan bagaimana yang lainnya. Bahkan pada bagian belakangnya ada sebuah frasa
yang sangat menarik:
Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman
terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya
terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya. (Sungguh membuat
penasaran bukan?)
Memang benar ada banyak hal
tentang cara mendidik anak yang sangat bagus di novel ini. Salah satu kalimat
yang sangat hebat dari seorang ayah—dari dua generasi yang berbeda—tentang
mengajari anak tentang janji, adalah ini:
“Kau
tahu, Dam, Laksamana Andalas terkenal di seluruh dunia, dihormati anak buah,
teman-temannya, disegani musuh-musuhnya karena disiplin dan selalu tepat waktu.”
(Wah, hore dapat
satu kalimat canggih. Hanya nanti akan saya ganti dengan,”Kau tahu kawan,
Khalid bin Walid selalu memenangkan semua perang, bahkan ketika melawan
Rasulullah, adalah karena kedisiplinan dan kemampuannya untuk selalu
melaksanakan apa yang dikatakannya. Beliau tak pernah jemu dan bosan terhadap
pembelajaran, latihan, dan evaluasi. Beliau yang ketika berperang sebagai
komandan maka kau akan melihat kesederhanaannya bagai prajurit biasa dan ketika
bertempur sebagai prajurit biasa keperwiraannya akan membuatmu berpikir bahwa
ia seorang panglima. Bahkan para sahabat berkata tentangnya,’Orang yang tidak
pernah tidur dan tidak membiarkan orang lain tidur.’ Lalu kini kau mau berhenti
latihan bersepeda akibat jatuh tadi sore, Macan Kecilku?”—doakan ya haha).
Sedangkan Dam
ketika mengajarkan hal yang sama pada anak-anaknya memakai kata-kata ini:
“Kita
sudah bersepakat. Setengah jam sudah lewat, saatnya tidur. Kalian tidak akan
melanggar kesepakatan kita, bukan? Atau tidak akan ada lagi orang yang
menghormati janji kalian.”
Mau versi mana pun menurut saya
sama bagusnya. Namun, seperti biasanya saya bercerita, muqadimah saya
seringkali berbeda dengan intinya hahaha. Karena justru yang saya ingin
ceritakan di sini adalah Ibu Dam. Wanita luar biasa yang telah menemani dua
puluh tahun kehidupan Ayah Dam, hingga menjadikan Bapak dan Anak itu menjadi
orang-orang terhormat di kotanya (begitu kata novelnya, juga saya). Seorang wanita
yang rela meninggalkan gemerlap karirnya sebagai, ah, jangan spoiler deh. Wanita
ini, mengabdikan keseluruhan hidupnya di rumah. Dan wanita ini pula yang saya
pikir menjadi titik inti antara Dam dan Ayahnya.
“Dua
puluh tahun Ibu hidup apa adanya…Aku tidak pernah melihat Ibu tertawa bahagia,
kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibu tidak pernah ke mana-mana selain
rumah kecil kita. Tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat
mengurus rumah. Rutinitas yang sama setiap hari, itu-itu saja. Kehidupan Ibu
hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia. Ibu boleh jadi bosan, tetapi
dia tidak pernah mengeluh,” kata Dam.
“Definisi
kebahagiaan ibu kau berbeda, Dam. Keluarga kita amat berbahagia.”
Anda mulai dapat poinnya?
Tentang Ibu Saya
Ya, ketika saya sedang membacanya
pada siang beberapa hari kemarin saya pun menyadari sesuatu. Waktu melihat ibu
saya yang istirahat siang ini, maka waktu itu pula terpikir betapa hebatnya
karir ibu saya. Karir yang sama dengan milik Ibu Dam di novel tersebut. Hanya bedanya,
ibu saya lebih cantik dan jauh lebih sehat. Sebuah karir yang memadukan ilmu
manajemen sumber daya manusia, ekonomi, akuntansi praktis, pendidikan anak,
psikologi, rekayasa teknik, keguruan, tata boga, dan yang terpenting: AGAMA.
Dulu waktu kecil saya sering iri
mendengar cerita beberapa kawan yang mengatakan tentang hadiah-hadiah yang
dibawakan oleh ibunya ketika pulang kerja. Atau jika suatu ketika mengerjakan
tugas bersama, dengan enaknya menelpon kantor ibunya dan bilang,”Mah, nanti
pulangnya beliin ayam goreng ya buat makan malam kita.” Terasa begitu
menyenangkan mempunyai ibu yang bekerja. Apalagi dandanan wanita karir selalu
menakjubkan dan cantik, berbeda dengan ibu saya yang bahkan rambutnya saja
selalu ditutupi saat keluar rumah. Itu adalah pikiran saya saat TK dan SD.
Hadiah-hadiah itu, berbeda
sekali dengan jawaban ibu saya jika saya minta sesuatu,”Nanti ya Nak, kita
minta uang dulu sama Bapak. Ibu tidak bawa uang selain buat belanja hari ini.”
(tentu dengan bahasa jawa). Dan memang secara kasat mata (saat itu) saya
melihat kondisi ekonomi keluarga kami di bawah teman-teman saya. Seringkali dulu
saya tanyakan,”Kok Ibu enggak kerja sih? Kan jadi enggak punya duit!” Jawaban
ibu saya,”Nanti kamu juga paham Mas Heri.”
Benar, kini saya paham.
Oh ya, saya juga akan bercerita
sedikit pengalaman saya dalam perjalanan ke Bandung semester kemarin. Saat itu,
saya duduk sebangku dengan seorang wanita muda. Ternyata benar, umur kami tidak
terpaut jauh bahkan ia lebih muda dari saya. Hanya bedanya dia kini bekerja
sebagai baby sitter di Kota Kembang. Dari
hasil ngobrol saya dapat kata-kata yang mencerahkan.
“Iya Mas,
sebenarnya saya kasian dengan itu anak. Kedua orang tuanya pulang ketika dia
menjelang tidur dan berangkat lagi ketika ia baru bangun. Mereka hanya kumpul
kalau pas liburan dan sama saja—itu anak nempelnya sama saya. Bapak sama ibunya
macam pacaran aja, berduaan terus haha.
Seharian yang
menemani ya saya ini. Hingga akhirnya anak itu lebih dekat sama saya dibanding ibunya.
Tiap pagi yang dicari pasti saya. Bahkan ini saja sebenarnya saya masih masa
cuti tapi disuruh segera balik, katanya anaknya sakit gara-gara kangen saya,”
katanya panjang lebar.
“Wah Mbak, emang
Mbak mau kerja di sana terus? Kalau Mbak pindah atau gimana, bisa suram juga
ya?”
“Hahaha, itu
juga sering saya pikirin. Tapi ya gimana lagi, apa peduli saya? Dia kan bukan
anak saya. Bahkan kalau dipikir-pikir percuma ya Mas. Ibunya saya lihat pinter
sih, pendidikannya tinggi. Tapi anaknya akhirnya mainnya sama saya gini. Oh ya,
kalau Mas kuliah di mana emang?”
Saya
jadi berpikir tentang kalimat terakhirnya tadi. Bukan, bukan tentang saya
kuliah di mana. Namun mengenai percuma saja mau sepinter apa pun ibunya kini
anaknya tidak bisa merasakan karunia itu. Atau cerita lainnya dari seorang
teman tentang sepupunya yang pinter banget dan dapat suami yang juga pinter
banget. Keduanya dari kampus jempolan di Kota Bandung. Banyak prestasi yang
sudah mereka dapatkan, baik di bidang akademik maupun karir profesionalnya,
namun ada satu masalah: Anaknya yang telah berusia 3 tahun belum bisa bicara
akibat pembantunya malas mengajari bicara! Dan yang paling mengejutkan, semua
cerita ini adalah kenyataan.
Saat menulis ini saya pun sempat
kembali bertanya kepada ibu saya,”Kenapa dulu enggak milih buat kerja?”
Beliau pun bercerita banyak,
tapi intinya hanya satu hal,”Bapakmu bilang buat jadi ibu saja. Biar Bapak saja
yang cari duit, gitu katanya.” “Kok mau?”
“Ya istri kan
harus patuh sama suami. Sempet sih dulu iri lihat teman-teman yang bisa beli
barang-barang sendiri. Tapi,…”
“Tapi tidak
sepadan dengan mengajari calon insinyur ini membaca, bukan? Hehehe…” potong
saya. Karena menurut ibu, saya sudah tahu alphabet bahkan sebelum usia 3 tahun
dan bisa menggambar helicopter juga tank pada usia yang sama (nyombong aaaah :v
).
“Nah, itu tahu.”
Benar kata ibu saya, kini saya
paham. Bahwa alih-alih iri dengan hadiah yang diberikan oleh ibu teman-teman
saya sesudah pulang kerja, seharusnya saya bersyukur atas hadiah “kehadiran”
dan ”kesiapan” ibu ketika saya terjatuh dari meja. Dan bersyukur atas pemahaman
yang diberikannya tentang definisi jatuh: yaitu untuk mengetahui rasa sakit.
Dan alih-alih saya iri dengan
makan malam yang dibelikan ibu sepulang kerja, seharusnya saya bersyukur dengan
masakan penuh cinta buatan beliau yang bebas MSG. Bahkan itu lebih baik
daripada masakan pembantu bukan?
Dan terpikir pula pula,
beruntung sekali laki-laki itu. Laki-laki yang telah ‘memiliki’-nya selama dua
puluh empat tahun ini. Laki-laki yang telah mengajari saya menjadi lelaki (yah,
mungkin definisi lelaki menurutnya dan orang lain bisa saja berbeda hehe) dan
muslim sebaik yang ia bisa. Lelaki yang sering debat dengan saya pada urusan
remeh tentang sepanjang apa cacing harusnya ada di mata kail, namun sering
sependapat pada urusan besar seperti tentang sangat dianjurkannya sholat jama’ah
di masjid.
Yah, mungkin cerita-serita suram
di atas itu kondisi ekstrimnya. Karena toh banyak teman-teman saya yang lebih hebat
dari saya meski ibunya wanita karir. Banyak pula ibu teman saya yang bisa
memasak makanan untuk mereka meski berkarir di luar. Tak ada masalah kan? Anggap
saja saya sedang berusaha “pamer” tentang wanita super saya. Dan mungkin sedang
berdoa agar dapat yang seperti ibu saya, karena toh saya kan lebih ganteng dari
Bapak saya hahaha ^^V (Ampun Pak Bos, jangan putuskan hak waris saya haha).
Hanya mungkin jika masih ada
yang menyangsikan hebatnya karir sebagai full-time-mother bisa baca kultwit Ustad
Felix berikut:
1.
saya masih ingat beberapa tahun lalu sebelum Muslim | papi sempat menasihati
saya perihal "Ibu Rumah Tangga"
2.
"lix, selama papimu masih bisa mencukupi keluarga, mamimu tugasnya di
rumah" | tegas papi berpendapat soal IRT
3.
padahal saat itu isu feminisme sedang santer | wacana wanita karir sedang
panas-panasnya | arus genderisme mewabah
4.
tapi papi tenang aja lalu menyampaikan | bahwa dia ingin yang terbaik bagi
anak-anaknya | dan itu berarti perhatian full dari ibu mereka
5.
hidup kala itu tidak mudah, dan akal lebih mudah seandainya mami bekerja | tapi
papi sudah mengambil pilihan, dan itulah yang ia jalani
6.
karena semua manusia punya pilihan | apa yang didapat dan apa yang dikorbankan
| semua selalu tentang pilihan
7.
sebelum Muslim pun saya tumbuh dengan memahami | lelaki dan wanita tidaklah
sama | mereka punya kelebihan di bidang masing-masing
8.
posisi ibu dalam dunia anak itu tidak tergantikan | perhatian seorang ibu pada
anaknya takkan terbeli sebanyak apapun harta
9.
dan posisi ibu itu tidak bisa diulang kembali | karena umur anak takkan bisa
diputar lagi
10.
maka ketika memilih calon ibu dari anak-anak kami syaratkan | "maukah
engkau menjadi fulltime-mother bagi anak-anak?"
11.
"saya nggak mau ketika anak dewasa lalu bermaksiat, kita menyesal 'mengapa
dulu tidak habiskan lebih banyak waktu bersamanya?!'"
12.
itu pemahaman sebelum Muslim | saat sudah mengenal Islam | kami memahami betul
Islam paling memuliakan wanita
13.
feminisme menjadikan materi sebagai standar sukses | wajar bila mereka merasa
dunia tidak adil | karena materi jadi penanda sukses
14.
feminisme menganggap waniat modern harus lebih mirip lelaki | bahwa bila wanita
tidak bekerja maka wanita akan direndahkan
15.
feminisme sukses mendidik wanita melihat kesuksesan sebagai | punya penghasilan
tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat dll
16.
wajar hasilnya di negara-negara asal feminisme | wanita jadi lebih malas
berkeluarga apalagi memiliki anak | kerja lebih asyik
17.
menurut pandangan feminis | IRT itu perendahan martabat perempuan, tidak
modern, perbudakan terhadap wanita
18.
wajar di negara-negara yang vokal feminisme | perceraian pun memuncak | karena
tidak ada satu pemimpin dalam keluarga
19.
US misalnya yang jadi kampiun feminisme | angka perceraian mencapai 50% per
2012 sila rujuk http://t.co/OUvEkdUY8L
20.
"nearly 80% cited financial problems as the leading cause of the marital
demise" (Carr, 2003, p.10) | http://t.co/zQFsyYQuqe
21.
feminisme mangaburkan fungsi ayah dan ibu dalam rumah tangga | hanya
semata-mata demi mendapat lebih banyak materi
22.
akhirnya meningkatlah angka single parents http://t.co/k9eNybXtq7 | dan jelas
broken home http://t.co/yUvU499gT9 http://t.co/qAjjFfHBQJ
23.
banyak juga studi-studi yang menperingatkan | sangat sulit untuk memadukan ibu
dan karir sekaligus | http://t.co/mu5t6N2u3m
24.
sebagai tambahan, US yang melahirkan gerakan feminisme saja | sudah banyak
bermunculan gerakan anti-feminisme sebagai gantinya
25.
di US, sudah banyak wanita sadar bahwa feminisme mengorbankan keluarga | mereka
ingin kembali menjalankan peran ibu rumah tangga
26.
karena seberapa banyak waktu pun yang didedikasikan untuk mendidik anak | tiada
pernah akan ada waktu yang cukup untuknya
27.
"saya ibu sekaligus karyawan, anak saya baik-baik saja" | di-sambi
aja sudah baik, apalagi bila fulltime-mother? tentu sangat baik
28.
lalu pertanyaan prinsipil | "apakah Islam melarang wanita bekerja?" |
"apakah wanita tidak boleh berpendidikan tinggi?"
29.
dalam Islam hukum wanita bekerja itu mubah (boleh) | sedangkan menjadi
"ibu dan pengelola rumah tangga" itu kewajiban
30.
jadi sah-sah saja wanita memilih bekerja | namun beres juga kewajibannya |
tentu bila dia lebih memilih yang wajib, itu yang utama
31.
hidup memang perkara pilihan | dan Islam memerintahkan untuk memaksimalkan
waktu ibu untuk anak-anaknya | urusan uang biar ayahnya
32.
bagaimana dengan wanita yang ditinggal suami apapun alasannya | maka bekerja
menafkahi anak tentu amal pahala besar baginya
33.
maka karir terbaik wanita | adalah menjadi ibu sepenuhnya
34.
tentang pendidikan? | tidak bosan-bosan saya sampaikan | bahwa seorang ibu
HARUS terdidik sempurna, tinggi dan luasnya
35.
bahkan wanita Muslimah WAJIB lebih terdidik daripada lelaki | karena ialah
madrasatul ula (pendidikan pertama dan utama) anak-anaknya
36.
maka jangan tanya "untuk apa pendidikan tinggi bila hanya jadi IRT?"
| jadi IRT justru perlu pendidikan tinggi
37.
karena di tangan kaum ibu generasi Muslim berada | bukan di tangan ayah
generasi Muslim dibentuk
38.
banyak wanita yang sebetulnya bisa menggapai dunia lebih dari lelaki | tapi
mereka mengorbankan segalanya demi anaknya | MULIA
39.
dari ibunda MULIA semisal itulah | menjadilah Imam Syafi'i, Imam Malik bin
Anas, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
40.
rata-rata ulama besar menghabiskan masa kecil dalam yatim | ibu merekalah yang
mendidik dan mendaras Al-Qur'an setiap waktu
41.
sembah sujud kami pada Allah yang selalu menjaga dunia dengan para ibunda MULIA
| yang mau mengorbankan semua buat kami anak-anaknya
42.
hormat khidmat kami padamu wahai ibu | yang gadaikan semua waktu tanpa sesal
dan keluh | membina kami jadi yang terbaik dalam agama
43.
pada para bunda MULIA doa kami | "Wahai Tuhanku, kasihilah keduanya,
sebagaimana keduanya TELAH MENDIDIK AKU WAKTU KECIL" (QS 17:24)
44.
kembali lagi semua masalah pilihan | part-time mother or full-time mother? |
you decide
Eh ada satu lagi perbedaan besar
antara saya (dan ibu saya) dengan Dam (dan ibu Dam):
Ibu tersenyum, menyeka
ujung mata. “Kau tidak boleh pacaran di sekolah.”
Aku menyeringai lebar. “Ibu lupa, Ibu
wanita nomer satu dalam dalam hidupku. Aku tidak akan pacaran dengan gadis mana
pun.”
Ibu mencubit lembut pipiku…
Saya setuju pada tidak pacaran
di sekolah, Ibu wanita nomer satu, namun tidak yakin akan diam saja saat
dicubit pipinya karena reflex saya akan menangkisnya haha. Dan saya sangat
menolak yang tak akan pacaran dengan gadis mana pun. Karena habis akad kan
nanti saya tetap bakal pacaran sama Ummu Ibnu Heri kan? :)
0 komentar:
Posting Komentar