|
Lautan Awan Dari Puncak Cikuray |
Pada tanggal 24 Oktober 2014
kemarin, sekali lagi Geng Koplak PAW (Pasukan Anti-Wacana) menunjukkan
taringnya—oh ya, nama geng ini sangat tidak resmi kok, ngasal hasil karangan
saya pribadi saja. Dan entah kenapa, sudah dua kali berturut-turut ini kami justru
melakukan kegiatan yang tidak umum pada waktu-waktu yang “tidak umum” pula.
Jika saat ke Papandayan kemarin bertepatan dengan Ultah Kota Bandung—dan lebih
pas untuk keluar bareng pacar atau gebetan, maka hari yang kemarin ini
kebanyakan orang-orang menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah. Padahal saya
juga belum tahu dasarnya kenapa 1 Muharram atau 1 Sura ini banyak orang
jalan-jalan pakai obor dan berpesta.
Yah, itulah kami. Sering
melakukan hal yang aneh-aneh di saat yang aneh pula. Dan sebagai informasi, ada
4 misi utama saya untuk pendakian kali ini:
1.
Mencoba merasakan puncak Cikuray.
2.
Ingin muhasabah diri pada awal tahun di tempat
yang tidak umum (jika ini bid’ah mohon dikoreksi).
3.
Menghilangkan stress pasca UTS. Yang ini gagal
total, karena semua UTS yang sedianya dilakukan minggu itu malah diundur ke
minggu berikutnya. Dan jadilah ini justru senang-senang pra-UTS -_-“
4.
Menguji coba—ciyeee—sepatu baru yang harganya
setara 13 kali bayaran saya mendongeng fisika dan matematika, dan inilah misi
utamanya.
Keberangkatan
Karena
kami ada kuliah Sistem Konversi Energi II sampai jam 5, jadilah rencana kumpul
di base camp (Kosan Ucup) waktunya
ba’da maghrib. Satu persatu anggota rombongan berkumpul, mulai dari saya, lalu
Madun, Fahmi, dan Ilham. Oh ya, Reza tidak jadi ikut karena jadi panitia futsal
katanya. Dan ada orang baru di cerita ini: Arif Nugroho (Anu) dan Amir. Cek
spek, cek kendaraan, dan lain-lain dilakukan sampai jam 18.30 WIB. Tidak lupa
kami shalat Maghrib sekaligus Isya’ dengan dijama’. Seperti biasa, sebelum
berangkat ada dokumentasi dulu. Nih:
|
Persiapan di Base Camp |
|
Pak Herman (penjaga kosan
Ucup),”Waduh, mau ngungsi ke mana atuh ini Sep?”
|
|
Perhatikan yang lagi jongkok, lihat
warna masker yang dipegangnya, unyu!
|
|
Akhirnya Pak Herman malah diminta buat memotret kami yang full team. Sebelah
kiri: saya, Amir, Madun. Sebelah kanan: Ucup, Ilham, Anu, Fahmi. |
Tepat sebelum adzan, kami pun
berangkat. Saya membonceng Ucup, Amir membonceng Anu (dengan sepeda motor
Tobibi, motornya si Anu tidak layak pakai soalnya), Fahmi dengan Ilham, dan
Madun sendirian (duh Dun, coba kau ajak si dia) 3 jam mengarungi Bandung-Garut.
|
Di Dago pun juga dipotret sama si Fahmi -_-
|
|
Dan yang ini di Pom Bensin Jalan Ahmad Yani.
Dipotret juga -_-
|
Singkat
cerita sampailah kami di gang yang akan mengantarkan kami ke Pos 0. Jalannya
cuy, ngeri sedap. Saat itu sekitar pukul 22.00 WIB. Gelap, nanjak, berkabut
tebal, licin, juga dingin. Dingin, sedingin hatiku u,u hahaha. Nih
penampakannya:
|
Batunya
pas buat terapi getaran, untungnya saya bonceng hehe
|
|
Ilham dan Fahmi |
|
Penampakan pertama sepatu saya :v |
|
Istirahatkan motor dulu |
|
Foto jalan dulu |
|
Gara-gara motor tidak kuat, saya termasuk mereka yang jalan ke parkiran |
Memulai Pendakian
Akhirnya, setelah perjuangan
panjang sampailah kami di Pos 0 pada pukul 23.00 WIB. Melemaskan badan, istirahat,
makan, dan briefing terakhir dari Kak Madun. Juga doa yang (harusnya) dipimpin
Syaikh Arif Al-Kentiri. Lalu saat menaruh helm di parkiran juga pendataan, saya
sempat bertanya pada yang menjaga,”A’, kira-kira kalau sampai puncak berapa jam
ya?”
“Kalau
sudah biasa ya sekitar 5 jam, tapi buat pemula 7-8 jam A’,” jawabnya. Uaaaaseeem, kalo kami mulai jalan jam
23.30+7jam (asumsi kami pemula), maka kami baru sampai puncak pukul 06.30. Lah,
itu mau sholat shubuh saja sudah pasti diketawain setan, kok mau ngejar sunrise. Tak apalah, usaha dulu saja!
|
“Mas,
ojo mas. Iki mie ne mambu.” (Mas, jangan mas. Ini mie-nya sudah basi). Kata
si Fahmi saat saya melihatnya membuka bungkusan mie-nya. Maksudnya biar saya
enggak minta gitu.
|
|
Pas banget, mirip korban banjir di
Delta Sungai Nil
|
|
Saking laparnya, tisu pun dimakan |
|
Warung di parkiran |
Tepat pukul
23.30 perjalanan pun di mulai. Awalnya hanya rimbun semak-semak perkebunan teh.
Beberapa kali saya minta berhenti karena belum bisa mengikat tali sepatu dengan
benar, maklum sepatu baru. Namun
setelah beberapa saat, saya bisa mengikatnya dengan tepat sehingga perjalanan
lanjut terus.
Setelah perkebunan teh, masuklah
kami di daerah pinggiran hutan tropis. Di kanan dan kiri pohon-pohon perdu dan
rumput ilalang. Begitu sejauh sekitar 200 meter. Lalu, sampailah kami di hutan
hujannya. Ah, menyenangkan sekali pendakian malam ini. namun, meski dilakukan
malam hari, badan terasa begitu gerah hingga akhirnya beberapa personel memilih
untuk membuka jaketnya, termasuk saya. Dan yang paling menyebalkan, Ucup yang
berjalan paling depan berkali-kali buang gas. Sepertinya dia alergi cuaca
dingin. Tapi yang jadi masalah, saya adalah urutan kedua dari depan alias tepat
di belakangnya ketika irama “merdu” nan mengganggu itu terjadi. Sial! -_-
Setelah berjalan beberapa ratus
meter, mulailah tanjakan semakin sering. Benar kata orang-orang, Cikuray ini punya
karakteristik unik: 3D. Dengkul, Dada, dan Dagu seringkali bertemu pada satu
titik. Dan track menantang seperti
inilah yang saya cintai, hingga tanpa sadar saya telah melaju paling depan
dengan lompatan dan berlari. Ucup yang baru kali ini naik gunung sepertinya
perlu pembiasaan dulu, dengan asistensi dari Kak Madun. Saya? Sangat egois
dengan terus melaju sampai-sampai Madun berteriak,”Santai Her!”
|
Para pejalan malam |
|
Istirahat dulu cuy |
Yasinan
Lalu, di sekitar Pos 2 atau 3
saya mendengar sayup-sayup orang sedang—entah ngapain, saya sih dengarnya
seperti orang-orang merapal mantra. Tentu saya agak gimana juga, hingga
bertanya pada yang di belakang saya (Amir atau anu, saya lupa),”Cuk, iki aku thok sing krungu opo kowe yo
krungu?” (Sobat sejati, ini saya saja yang dengar atau kau juga
mendengarnya?”
“He? Krungu opo Nde?” (Ha?
Denger apa kawan?) tentu agak merinding juga, untungnya setelah beberapa
langkah kawan-kawan lain juga mendengarnya. Fiuuuh, kirain ada lelembut yang godain saya. Kami terus
melangkah dengan penuh kewaspadaan dan pikiran saya focus pada persiapan atas
apa pun yang mungkin kami hadapi di depan, bahkan jika itu gerombolan dukun
yang sedang dugem. Hingga akhirnya misteri itu pun terkuak. Ternyata ada
serombongan pendaki yang sedang duduk-duduk sambil membaca Surah Yasin. Saya
pikir mereka sedang suranan,
merayakan Tahun Baru Hijriah. Ya sudah, saya gak mau cawe-cawe karena belum tahu dasarnya. Hingga setelah agak jauh
Madun dan Ucup berkata bahwa mereka sedang “menolong” kawannya yang kesurupan.
Alamaaaaak, apa pula ini!
Si Ilham berkomentar bahwa
kesurupan itu kemungkinan besar aslinya adalah hipotermia, sedang saya justru
membongkar ingatan tentang masalah ruqyah. Benarkan ruqyah kok membaca Surah
Yasin? Kenapa tidak An-Nas? Ah, entahlah… yang pasti kami sekarang makin
berhati-hati dan tidak membiarkan pikiran kosong sedikit pun. Saya pun lebih
memilih membaca hapalan surah saya yang seadanya daripada mikir yang lain-lain.
Efeknya sih bagus, bikin focus. Tapi karena efek sampingnya bikin ngos-ngosan,
saya pun menyerah :p
Kami terus berjalan, istirahat,
berjalan, istrihat, dan seterusnya. Hingga suatu ketika saya merasa melihat ada
headlamp unik yang mengarah kepada
saya. Unik, karena seolah ada 2 titik sumber cahaya. Dan anehnya, posisinya
dekat di atas tanah seolah pemakainya sedang tengkurap di balik semak-semak.
Wah, ngapain dah nih orang, begitu pikir saya. Jangan-jangan mau nyolong
sepatu baru saya nih! Eh ternyata itu hanya seekor kucing hutan berukuran
besar yang matanya bercahaya, fiuuuh. Kirain…
Puncak
Setelah badan loyo dan tangan
kedinginan (saya sok tangguh dengan tidak pakai sarung tangan), kami pun
akhirnya tiba di puncak. Jam 04.00 WIB, dan itu artinya kami hanya membutuhkan
waktu 4,5
jam! Wow!
|
Capek Cup? Kapok naik gunung? :p |
Alhamdulilah
wa syukurillah, sampai juga. Ada dua hal yang membuat kami begitu cepat saya
pikir. Pertama, perjalanan malam menjanjikan jalanan yang kosong sehingga tidak
harus antri dan tanjakan yang jauh di depan tidak terlihat sehingga rasa putus
asa bisa diminamilisir. Kedua, anggota kami rijal
only, no cewek sama sekali. Lalu, Ilham dan saya sebagai pencapai puncak
pertama segera mendirikan tenda. Baru yang lain-lain menyusul. Dan sisa waktu
satu jam ini kami pakai istirahat sebelum shubuh. Beberapa masuk tenda sedang
saya cukup berbaring di atas ponco dan menikmati langit penuh bintang (yang
lagi-lagi) tanpa bulan. Karena bulannya
nun jauh di sana :)
Hingga akhirnya tepat setengah 5
kami pun shalat shubuh dan mulai menikmati sunrise
serta pemandangannya.
|
Lautan di atas awan 1 |
|
Lautan di atas awan 2 |
|
Lautan di atas awan 3 |
|
Lautan di atas awan 4 |
|
Lautan di atas awan 5 |
|
Lautan di atas awan 6 |
|
Para kawan sejawat |
|
Tangan saya sopan lho itu |
|
Si Anu dimaklumi ya, agak berat beban hidupnya dia :v |
|
Menatap Papandayan |
|
Anu: "Duka pangkal nestapa, cinta pangkal sengsara" |
|
Impian jomblo |
|
:) |
|
:) | |
|
Ucapan dari saya buat yang ultah hari ini :9 |
|
Ini ucapan si Madun buat "mbak"-nya |
|
Tadinya mau sensor mukanya sih |
|
Sebuah harap (dari kami semua untuk "dia"(masing-masing) yang di sana) |
|
Karbo lover |
|
Sandal saya di pinjem si Amir |
|
Tuh, bayangan si Cikuray yang segitiga sempurna |
|
Dua orang ini, ckckckck |
|
Full team |
Pulang
Setelah
puas memandangi lautan awan—sebenarnya gak bakal puas sih, tapi gimana lagi
udah panas cuy—kami pun bersiap untuk turun. Nah, inilah bagian naik gunung
yang paling tidak saya sukai: turun. Entah kenapa saat turun itu bawaannya
buru-buru pengen sampai kasur hehe. Yah, taka pa, anggap saja latihan untuk
menjadi lebih sabar—dan itu sangat benar!
Kenapa? Karena saat turun
jalanan suangaaaaat ramai. Mungkin karena sabtu kemarin adalah hari kecepit,
jadilah yang naik kayak semut saja. Jadilah kami yang turun ini yang sering
mengalah, karena yang naik lebih banyak. dan selama perjalanan turun ini ada
beberapa hal yang saya cermati.
Pertama, saya bertemu dengan
anak SMP yang tangan kirinya diperban. Sepertinya patah atau terkilir, saya
kurang tahu. Yang kedua, ada pemuda yang kaki kirinya (maaf) cacat tapi masih
semangat naik dengan dibantu kawan-kawannya. Bolehlah Anda berkata dua orang
ini bodoh, karena menyusahkan diri. Tapi adakah orang yang lebih bodoh daripada
orang yang tak mau mengerti orang lain? *ciyeee, padahal gak paham lagi ngomong
apa.
Kedua, dari kemarin saya ini
melihat banyak sampah bertebaran. Entahlah, sepertinya manusia sampah yang suka
nyampah di gunung itu memang penyakit laten para pendaki karbitan deh. Yang
penting sampah kami enggak dibuang sembarangan. Dan terakhir saya melihat
mereka yang naik dengan membawa (saya duga) pacarnya. Wow, saya pikir gak akan
sampai pubcak sih. Wong ceweknya manja begitu haha.
|
Seven Dwarfs (?) |
|
Kebun Teh cuy |
|
Karena sepatu ini, kaki saya jadi hepi :9 |
|
Mulus, cuma sedikit lembab hehe |
|
Tuh jalanan ke Pos 0 |
|
Idem |
|
Idem |
Sampai di pos, berbenah, kami
pun mengarungi jalanan lagi. Dan tetap, agenda mampir di warung Pak Asep tak
lupa kami laksanakan. Dengan Ucup di depan, dan saya membonceng.
Oh ya, selama naik motor si Ucup
naik motor seperti orang mabuk dah. Entahlah, mungkin efek minum 2 gelas Pop
Ice di warung pak Asep tadi, fly mungkin
dia. Sampai helm saya yang sudah retak di bagian hiasannya pun jadi patah
gara-gara kena Drag yang besar itu.
Alhamdulillah, meski
berkali-kali harus mengendapkan adrenalin akibat clearance yang kecil dengan kendaraan sebelah, kami pun bisa sampai
kosan Ucup dengan selamat pada pukul 15.30 WIB. Istirahat sebentar, shalat
ashar, lalu saya pun pulang (awalnya mau mapir latihan PD, tapi tepar cuy hehe),
sampai rumah jam 16.00 WIB dan lanjut tidur sampai maghrib. Ternyata abis
maghrib ada janji lain, yaitu syukuran wisuda kawan saya yang seangkatan, anak
SBM yang bernama Faishal Ahmad Farrrosi—man, sudah ada yang wisuda saja padahal
saya sekarang baru fix dosennya siapa huhuhu.
|
Keluarga Semarang Putra Ganesha 2011 saat syukwis si Faris (panggilan dia) |
Sampai kosan jam 22.30 WIB lalu
besok paginya jam 06.30 harus sudah di saraga buat latihan “Knife Disarm” ke
Purwakarta. Sungguh 3 hari libur yang istimewa!
hish, ngileran
BalasHapusindonesia dengan keindahan gunungnya menjadikan destinasi wisata bagi wisatawan mancanegara dengan seharusnya pemerintah memberikan Kursus Bahasa Inggris Di Bandung agar mereka bisa memandu wisatawan asing yang datang berliburan
BalasHapus