Sabtu, 01 November 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


Lautan Awan Dari Puncak Cikuray



               
Pada tanggal 24 Oktober 2014 kemarin, sekali lagi Geng Koplak PAW (Pasukan Anti-Wacana) menunjukkan taringnya—oh ya, nama geng ini sangat tidak resmi kok, ngasal hasil karangan saya pribadi saja. Dan entah kenapa, sudah dua kali berturut-turut ini kami justru melakukan kegiatan yang tidak umum pada waktu-waktu yang “tidak umum” pula. Jika saat ke Papandayan kemarin bertepatan dengan Ultah Kota Bandung—dan lebih pas untuk keluar bareng pacar atau gebetan, maka hari yang kemarin ini kebanyakan orang-orang menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah. Padahal saya juga belum tahu dasarnya kenapa 1 Muharram atau 1 Sura ini banyak orang jalan-jalan pakai obor dan berpesta.

                Yah, itulah kami. Sering melakukan hal yang aneh-aneh di saat yang aneh pula. Dan sebagai informasi, ada 4 misi utama saya untuk pendakian kali ini:

1.       Mencoba merasakan puncak Cikuray. 

2.       Ingin muhasabah diri pada awal tahun di tempat yang tidak umum (jika ini bid’ah mohon dikoreksi).

3.       Menghilangkan stress pasca UTS. Yang ini gagal total, karena semua UTS yang sedianya dilakukan minggu itu malah diundur ke minggu berikutnya. Dan jadilah ini justru senang-senang pra-UTS -_-“

4.       Menguji coba—ciyeee—sepatu baru yang harganya setara 13 kali bayaran saya mendongeng fisika dan matematika, dan inilah misi utamanya.


Keberangkatan

                Karena kami ada kuliah Sistem Konversi Energi II sampai jam 5, jadilah rencana kumpul di base camp (Kosan Ucup) waktunya ba’da maghrib. Satu persatu anggota rombongan berkumpul, mulai dari saya, lalu Madun, Fahmi, dan Ilham. Oh ya, Reza tidak jadi ikut karena jadi panitia futsal katanya. Dan ada orang baru di cerita ini: Arif Nugroho (Anu) dan Amir. Cek spek, cek kendaraan, dan lain-lain dilakukan sampai jam 18.30 WIB. Tidak lupa kami shalat Maghrib sekaligus Isya’ dengan dijama’. Seperti biasa, sebelum berangkat ada dokumentasi dulu. Nih:

Persiapan di Base Camp


Pak Herman (penjaga kosan Ucup),”Waduh, mau ngungsi ke mana atuh ini Sep?”



Perhatikan yang lagi jongkok, lihat warna masker yang dipegangnya, unyu!


Akhirnya Pak Herman malah diminta buat memotret kami yang full team. Sebelah kiri: saya, Amir, Madun. Sebelah kanan: Ucup, Ilham, Anu, Fahmi.

                Tepat sebelum adzan, kami pun berangkat. Saya membonceng Ucup, Amir membonceng Anu (dengan sepeda motor Tobibi, motornya si Anu tidak layak pakai soalnya), Fahmi dengan Ilham, dan Madun sendirian (duh Dun, coba kau ajak si dia) 3 jam mengarungi Bandung-Garut.



                          Di Dago pun juga dipotret sama si Fahmi -_-

Dan yang ini di Pom Bensin Jalan Ahmad Yani. Dipotret juga -_-




                 Singkat cerita sampailah kami di gang yang akan mengantarkan kami ke Pos 0. Jalannya cuy, ngeri sedap. Saat itu sekitar pukul 22.00 WIB. Gelap, nanjak, berkabut tebal, licin, juga dingin. Dingin, sedingin hatiku u,u hahaha. Nih penampakannya:

Batunya pas buat terapi getaran, untungnya saya bonceng hehe

Ilham dan Fahmi

Penampakan pertama sepatu saya :v

Istirahatkan motor dulu

Foto jalan dulu

Gara-gara motor tidak kuat, saya termasuk mereka yang jalan ke parkiran


 


Memulai Pendakian

                Akhirnya, setelah perjuangan panjang sampailah kami di Pos 0 pada pukul 23.00 WIB. Melemaskan badan, istirahat, makan, dan briefing terakhir dari Kak Madun. Juga doa yang (harusnya) dipimpin Syaikh Arif Al-Kentiri. Lalu saat menaruh helm di parkiran juga pendataan, saya sempat bertanya pada yang menjaga,”A’, kira-kira kalau sampai puncak berapa jam ya?”

                “Kalau sudah biasa ya sekitar 5 jam, tapi buat pemula 7-8 jam A’,” jawabnya. Uaaaaseeem, kalo kami mulai jalan jam 23.30+7jam (asumsi kami pemula), maka kami baru sampai puncak pukul 06.30. Lah, itu mau sholat shubuh saja sudah pasti diketawain setan, kok mau ngejar sunrise. Tak apalah, usaha dulu saja!


Mas, ojo mas. Iki mie ne mambu.” (Mas, jangan mas. Ini mie-nya sudah basi). Kata si Fahmi saat saya melihatnya membuka bungkusan mie-nya. Maksudnya biar saya enggak minta gitu.



Pas banget, mirip korban banjir di Delta Sungai Nil

Saking laparnya, tisu pun dimakan

Warung di parkiran



           Tepat pukul 23.30 perjalanan pun di mulai. Awalnya hanya rimbun semak-semak perkebunan teh. Beberapa kali saya minta berhenti karena belum bisa mengikat tali sepatu dengan benar, maklum sepatu baru. Namun setelah beberapa saat, saya bisa mengikatnya dengan tepat sehingga perjalanan lanjut terus.

                Setelah perkebunan teh, masuklah kami di daerah pinggiran hutan tropis. Di kanan dan kiri pohon-pohon perdu dan rumput ilalang. Begitu sejauh sekitar 200 meter. Lalu, sampailah kami di hutan hujannya. Ah, menyenangkan sekali pendakian malam ini. namun, meski dilakukan malam hari, badan terasa begitu gerah hingga akhirnya beberapa personel memilih untuk membuka jaketnya, termasuk saya. Dan yang paling menyebalkan, Ucup yang berjalan paling depan berkali-kali buang gas. Sepertinya dia alergi cuaca dingin. Tapi yang jadi masalah, saya adalah urutan kedua dari depan alias tepat di belakangnya ketika irama “merdu” nan mengganggu itu terjadi. Sial! -_-

                Setelah berjalan beberapa ratus meter, mulailah tanjakan semakin sering. Benar kata orang-orang, Cikuray ini punya karakteristik unik: 3D. Dengkul, Dada, dan Dagu seringkali bertemu pada satu titik. Dan track menantang seperti inilah yang saya cintai, hingga tanpa sadar saya telah melaju paling depan dengan lompatan dan berlari. Ucup yang baru kali ini naik gunung sepertinya perlu pembiasaan dulu, dengan asistensi dari Kak Madun. Saya? Sangat egois dengan terus melaju sampai-sampai Madun berteriak,”Santai Her!” 

Para pejalan malam

Istirahat dulu cuy




Yasinan

                Lalu, di sekitar Pos 2 atau 3 saya mendengar sayup-sayup orang sedang—entah ngapain, saya sih dengarnya seperti orang-orang merapal mantra. Tentu saya agak gimana juga, hingga bertanya pada yang di belakang saya (Amir atau anu, saya lupa),”Cuk, iki aku thok sing krungu opo kowe yo krungu?” (Sobat sejati, ini saya saja yang dengar atau kau juga mendengarnya?”

“He? Krungu opo Nde?” (Ha? Denger apa kawan?) tentu agak merinding juga, untungnya setelah beberapa langkah kawan-kawan lain juga mendengarnya. Fiuuuh, kirain ada lelembut yang godain saya. Kami terus melangkah dengan penuh kewaspadaan dan pikiran saya focus pada persiapan atas apa pun yang mungkin kami hadapi di depan, bahkan jika itu gerombolan dukun yang sedang dugem. Hingga akhirnya misteri itu pun terkuak. Ternyata ada serombongan pendaki yang sedang duduk-duduk sambil membaca Surah Yasin. Saya pikir mereka sedang suranan, merayakan Tahun Baru Hijriah. Ya sudah, saya gak mau cawe-cawe karena belum tahu dasarnya. Hingga setelah agak jauh Madun dan Ucup berkata bahwa mereka sedang “menolong” kawannya yang kesurupan. Alamaaaaak, apa pula ini!

                Si Ilham berkomentar bahwa kesurupan itu kemungkinan besar aslinya adalah hipotermia, sedang saya justru membongkar ingatan tentang masalah ruqyah. Benarkan ruqyah kok membaca Surah Yasin? Kenapa tidak An-Nas? Ah, entahlah… yang pasti kami sekarang makin berhati-hati dan tidak membiarkan pikiran kosong sedikit pun. Saya pun lebih memilih membaca hapalan surah saya yang seadanya daripada mikir yang lain-lain. Efeknya sih bagus, bikin focus. Tapi karena efek sampingnya bikin ngos-ngosan, saya pun menyerah :p

                Kami terus berjalan, istirahat, berjalan, istrihat, dan seterusnya. Hingga suatu ketika saya merasa melihat ada headlamp unik yang mengarah kepada saya. Unik, karena seolah ada 2 titik sumber cahaya. Dan anehnya, posisinya dekat di atas tanah seolah pemakainya sedang tengkurap di balik semak-semak. Wah, ngapain dah nih orang, begitu pikir saya. Jangan-jangan mau nyolong sepatu baru saya nih! Eh ternyata itu hanya seekor kucing hutan berukuran besar yang matanya bercahaya, fiuuuh. Kirain…

Puncak

                Setelah badan loyo dan tangan kedinginan (saya sok tangguh dengan tidak pakai sarung tangan), kami pun akhirnya tiba di puncak. Jam 04.00 WIB, dan itu artinya kami hanya membutuhkan waktu 4,5 jam! Wow!

Capek Cup? Kapok naik gunung? :p
 



              Alhamdulilah wa syukurillah, sampai juga. Ada dua hal yang membuat kami begitu cepat saya pikir. Pertama, perjalanan malam menjanjikan jalanan yang kosong sehingga tidak harus antri dan tanjakan yang jauh di depan tidak terlihat sehingga rasa putus asa bisa diminamilisir. Kedua, anggota kami rijal only, no cewek sama sekali. Lalu, Ilham dan saya sebagai pencapai puncak pertama segera mendirikan tenda. Baru yang lain-lain menyusul. Dan sisa waktu satu jam ini kami pakai istirahat sebelum shubuh. Beberapa masuk tenda sedang saya cukup berbaring di atas ponco dan menikmati langit penuh bintang (yang lagi-lagi) tanpa bulan. Karena bulannya nun jauh di sana :)
                Hingga akhirnya tepat setengah 5 kami pun shalat shubuh dan mulai menikmati sunrise serta pemandangannya.




Lautan di atas awan 1

Lautan di atas awan 2

Lautan di atas awan 3

Lautan di atas awan 4

Lautan di atas awan 5

Lautan di atas awan 6

Para kawan sejawat

Tangan saya sopan lho itu

Si Anu dimaklumi ya, agak berat beban hidupnya dia :v

Menatap Papandayan

Anu: "Duka pangkal nestapa, cinta pangkal sengsara"

Impian jomblo

:)

:)
Ucapan dari saya buat yang ultah hari ini :9






Ini ucapan si Madun buat "mbak"-nya

Tadinya mau sensor mukanya sih
Sebuah harap (dari kami semua untuk "dia"(masing-masing) yang di sana)


Karbo lover

Sandal saya di pinjem si Amir
Tuh, bayangan si Cikuray yang segitiga sempurna

Dua orang ini, ckckckck

Full team


Pulang

                Setelah puas memandangi lautan awan—sebenarnya gak bakal puas sih, tapi gimana lagi udah panas cuy—kami pun bersiap untuk turun. Nah, inilah bagian naik gunung yang paling tidak saya sukai: turun. Entah kenapa saat turun itu bawaannya buru-buru pengen sampai kasur hehe. Yah, taka pa, anggap saja latihan untuk menjadi lebih sabar—dan itu sangat benar!

                Kenapa? Karena saat turun jalanan suangaaaaat ramai. Mungkin karena sabtu kemarin adalah hari kecepit, jadilah yang naik kayak semut saja. Jadilah kami yang turun ini yang sering mengalah, karena yang naik lebih banyak. dan selama perjalanan turun ini ada beberapa hal yang saya cermati.

                Pertama, saya bertemu dengan anak SMP yang tangan kirinya diperban. Sepertinya patah atau terkilir, saya kurang tahu. Yang kedua, ada pemuda yang kaki kirinya (maaf) cacat tapi masih semangat naik dengan dibantu kawan-kawannya. Bolehlah Anda berkata dua orang ini bodoh, karena menyusahkan diri. Tapi adakah orang yang lebih bodoh daripada orang yang tak mau mengerti orang lain? *ciyeee, padahal gak paham lagi ngomong apa.

                Kedua, dari kemarin saya ini melihat banyak sampah bertebaran. Entahlah, sepertinya manusia sampah yang suka nyampah di gunung itu memang penyakit laten para pendaki karbitan deh. Yang penting sampah kami enggak dibuang sembarangan. Dan terakhir saya melihat mereka yang naik dengan membawa (saya duga) pacarnya. Wow, saya pikir gak akan sampai pubcak sih. Wong ceweknya manja begitu haha.


Seven Dwarfs (?)

Kebun Teh cuy

Karena sepatu ini, kaki saya jadi hepi :9

Mulus, cuma sedikit lembab hehe

Tuh jalanan ke Pos 0

Idem

Idem

                Sampai di pos, berbenah, kami pun mengarungi jalanan lagi. Dan tetap, agenda mampir di warung Pak Asep tak lupa kami laksanakan. Dengan Ucup di depan, dan saya membonceng.

                Oh ya, selama naik motor si Ucup naik motor seperti orang mabuk dah. Entahlah, mungkin efek minum 2 gelas Pop Ice di warung pak Asep tadi, fly mungkin dia. Sampai helm saya yang sudah retak di bagian hiasannya pun jadi patah gara-gara kena Drag yang besar itu.

                Alhamdulillah, meski berkali-kali harus mengendapkan adrenalin akibat clearance yang kecil dengan kendaraan sebelah, kami pun bisa sampai kosan Ucup dengan selamat pada pukul 15.30 WIB. Istirahat sebentar, shalat ashar, lalu saya pun pulang (awalnya mau mapir latihan PD, tapi tepar cuy hehe), sampai rumah jam 16.00 WIB dan lanjut tidur sampai maghrib. Ternyata abis maghrib ada janji lain, yaitu syukuran wisuda kawan saya yang seangkatan, anak SBM yang bernama Faishal Ahmad Farrrosi—man, sudah ada yang wisuda saja padahal saya sekarang baru fix dosennya siapa huhuhu.

Keluarga Semarang Putra Ganesha 2011 saat syukwis si Faris (panggilan dia)

                Sampai kosan jam 22.30 WIB lalu besok paginya jam 06.30 harus sudah di saraga buat latihan “Knife Disarm” ke Purwakarta. Sungguh 3 hari libur yang istimewa!
 

2 komentar:

  1. indonesia dengan keindahan gunungnya menjadikan destinasi wisata bagi wisatawan mancanegara dengan seharusnya pemerintah memberikan Kursus Bahasa Inggris Di Bandung agar mereka bisa memandu wisatawan asing yang datang berliburan

    BalasHapus