Saat saya dapat kesempatan ‘jalan-jalan’ ke PT Timah di Bangka sana, saya mendapat satu pelajaran menarik. Pelajaran yang saya dapat dari salah satu karyawan yang menemani saya keliling Bucket Wheel Dredge untuk mempelajari alat pertambangan lepas pantai tersebut. Jadi, di sela-sela alat pencucian di perut kapal itulah beliau banyak bercerita, dan inilah cerita beliau.
Manfaat Visi
Seringkali kita bingung ketika
ditanya,”Hidupmu maunya seperti apa?” Mungkin akan ada jawaban begini,”Ah, gue
mah mengalir aja. Seperti air, woleeeees…” Lalu beliau, Pak Gandhy,
menceritakan tentang contoh yang paling mudah dipahami para jomblo seperti saya
ini, kriteria istri.
“Jadi gini Mas, bayangin kalau
Mas enggak punya kriteria jelas tentang pendamping hidup Mas. Mas anggap saja
nanti dia akan datang sendiri. Ada cewek A, suka. Ada cewek B, bingung. Datang
cewek C, ngelirik. Itulah kenapa mereka yang seperti itu gak dapet-dapet (Asem,
semoga ini tidak sedang menyindir saya hahaha). Memang kriteria ini gak usah
terlalu strick macam memilih
spesifikasi barang teknik. Tapi setidaknya ada bayangan, maunya nanti gimana,
gitu”, kata beliau panjang lebar. Beliau yang angkatan tahun 2000 ini masih
okelah ngobrol sama saya, belum terlalu jauh jaraknya.
“Nah Pak, kalau contoh
konkritnya gimana?” tanya saya. Maklum anak teknik, to the point hehehe. Untungnya beliau juga anak teknik, Jurusan
Teknik Pertambangan tepatnya.
“Kalau saya Mas, saya buat
analisis kondisi dulu. Kalau anak mesin bilang apa itu…”
“DR & O Pak, Design Requirement and Objective,” sahut
saya.
“Nah itu, ada Design Requirement-nya dulu. Misal nih,
saya kan anak tambang. Peluang buat kerja ke lapangan itu sangat besar, dan
saya tidak mau LDR, maka saya sudah dapat satu kriteria: mau di ajak merantau. Nah,
dari situ juga, saya bisa menentukan jurusan apa istri saya itu. Yang kira-kira
profesinya tidak men-syaratkan harus tinggal di kota besar. Maka saya pilih
dokter. Bukan pegawai bank. Karena dokter itu kalau mau praktek tinggal pasang
plang di depan rumah. Kalau memang orang kampung situ tidak mau membayar, ya
tidak apa-apa. Yang penting istri saya senang dan tidak bosan, urusan uang biar
saya saja.”
“Wah, Bapak penganut aliran anti-babby sitter nih hehehe,” sahut
saya.
“Lho, lha iya to Mas. Masak
bapaknya insinyur ibunya dokter anaknya sama pembantu? Atau kalau memang dia
mau kerja ya monggo. Biar saya yang
di rumah, bersih-bersih rumah, ngasuh anak, masak, gak papa. Jangan semuanya egois
mau menangnya sendiri. Harus bagi tugas.”
“Wah, boleh juga logikanya
hahaha. Nah, yang kedua apa Pak?”
“Ah ya, yang kedua, saya tidak
mau yang kalau tidur ngorok. Saya ini sangat menghormati tidur, bayangin kerja
di pertambangan gini, di lapangan, capek. Kalau malamnya tidak nyenyak,
performa saya akan turun besoknya. Kalau sehari dua hari oke, kalau seumur
hidup? Bisa kacau hidup saya. Kan nikah itu cukup sekali seumur hidup. Memang mau
nikah buat coba-coba doang?”
“Dan
yang terakhir, dia harus mengutamakan saya nantinya. Kan di agama kita gitu kan
ngomongnya, setelah urusan agama dia harus patuh pada suami?” saya pun
manggut-manggut takzim, ngomongin hal ginian dari yang sudah menjalani memang
lebih jelas dan tidak bikin menye. Padat, penuh hikmah. Kalau dengan yang
sama-sama jomblo suka melantur, itulah kenapa saya malas bahas ginian
sebenarnya. Fiqh sholat aja belum khatam dan tidak ada niat untuk memperdalam,
eh semangat banget mikir fiqh nikah -_-“
“Nah, begitu mas. Itu contohnya,
dan Alhamdulillah saya dapat tuh. Kalau kita sudah menetapkan kriteria, kita
jadi sudah punya pegangan ke depannya. Gampangnya, Mas gak akan buang-buang
waktu dan tenaga buat bingungin terlalu banyak sample, karena sample secara
sendirinya akan lebih cepat tersaring. Mas tahu
apa yang diinginkan, itu namanya visi kan?”
“Ibaratnya, dalam main bola itu
kita tentukan dulu tujuan kita: gawang musuh. Lalu, segala daya upaya bisa
lebih focus. Di sini ada dua elemen penting, gawang dan musuh. Karena,
kita juga punya gawang, jangan sampai malah masukin bola ke gawang sendiri kan?
Hahahaha…”
Mendefinisikan Visi
Di
atas, kita telah melihat manfaat dari memiliki visi: kita tahu usaha apa saja
yang efektif untuk mencapai visi itu. Sekarang, saya akan menceritakan
pelajaran yang saya dapat dari khotbah Shalat Jum’at di Masjid Salman kemarin (30-01-2015). Untungnya
HP saya sekarang ada Ms. Word-nya, jadi bisa mencatat hehehe. (Khutbah adalah
majelis ta’lim juga, jadi beberapa ulama berpendapat bolehnya mencatat jika
takut lupa)
Khatib bercerita, bahwa ada
seorang mahasiswa yang menjadikan kelulusan dari ITB sebagai tujuan hidupnya,
cita-citanya, visinya. Lalu ada pula seseorang yang menjadikan jabatan sebagai
cita-citanya. Demikian seterusnya.
Jika demikian, ketika mahasiswa
tersebut lulus, maka tak perlu ada hal lain yang harus dilakukan. Karena cita-citanya
telah tercapai. Pun dengan orang yang mencita-citakan jabatan tersebut. Yang perlu
mereka lakukan mungkin cukup memberi ijazah atau SK Pengangkatan-nya pigura,
lalu dipajang di ruang tamu. Logis bukan?
Oleh karenanya, satu hal penting
yang harus dilakukan ketika membuat tujuan, cita-cita, atau visi, adalah
mengevaluasi apakah hal tersebut benar-benar
visi ATAU sekedar sarana untuk mencapai visi yang sesungguhnya. Karena ketika
kita salah mendefinisikan cita-cita, akan salah pula langkah kita ke depannya. Dalam
analogi sepak bola tersebut, apakah tujuan kita memenangkan pertandingan atau
menjadi top scorrer akan membedakan
tingkah kita, meskipun keduanya bukan cita-cita yang buruk. Atau justru kita
hanya bertujuan untuk menendang bola ke depan?
Bagi seorang muslim hal ini
sangatlah krusial, karena kita memercayai adanya kehidupan setelah kematian. Kehidupan
yang abadi. Bayangkan, hidup di dunia ini pendek, namun menentukan hidup kita
yang lebih panjang. Dalam bahasa kerennya, inilah critical time kita. Salah mendefinisikan visi, salah pula dalam
melangkah. Salah dalam melangkah, salah pula hidup kita di ‘waktu kritis’ kita
ini. Salah di ‘waktu kritis’ ini, salah pula kehidupan abadi nanti.
*Dan saya sangat miris dengan orang-orang
yang KATANYA menjadikan demokrasi sekedar sarana perjuangan, namun kini seolah
menjadikannya tujuan perjuangan. Lalu mencerca mereka yang memang memilih tidak
ikut-ikutan karena takut tidak memiliki hujjah akan keputusannya menceburkan
diri dalam syubhat tersebut. Para qiyadah dan kader generasi awal sebenarnya
paham hal itu, tapi yang generasi akhir-akhir ini kayaknya kurang belajar
dengan para seniornya. Tapi akhi, meski aku bukan ‘ikhwan’, kalian tetap
ikhwanku…
Jadi monggo, mumpung masih bisa melakukan RE-visi, kita lihat kembali visi kita. Apakah itu benar-benar visi sejati atau sekedar sarana mencapai visi sejati tersebut? Apakah itu sekedar
berhenti di urusan duniawi, atau melangkah jauh sampai di urusan ukhrowi? Hanya
diri yang telah memahami ilmu yang bisa menjawab hal tersebut dengan baik dan
benar.
NB: Buat yang
menjadikan nikah sebagai tujuan hidup, pikir lagi deh. Hidup kok desperate
banget to Mas Bro, mbok energi dan waktu yang ada dipakai untuk berkarya bagi
umat. Nanti kalau sudah waktunya, di saat kualitas diri telah dinilai cukup
oleh Allah, pasti akan tiba kok masanya. Kan berkarya dalam lingkup luas itu
lebih menempa diri daripada focus pada nikahnya. Setidaknya, kalau gagal
nikahnya kita sudah punya karya buat sarana ke surga. Kalau focus ke nikahnya
doang, terus gagal, ya desperate hahaha. Nikah gak jadi, karya gak ada,
sia-sia. Kan nikah harusya jadi sarana
buat ke surga saja. Begitu kata salah satu teman saya yang sudah pengalaman.
DOWNLOAD SEKARANG JUGA...GRATIS! AYOO BURUAN DOWNLOAD TERBARU DAN TERBAIK, SAAT INI MUDAH SEKALI UNTUK BISA MENONTON FILM DRAMA KOREA, DOWNLOAD SEKARANG JUGA APLIKASI MYDRAKOR, sekarang nonton drama korea bisa di smartphone. Download sekarang juga aplikasi MYDRAKOR di googleplay gratis, film dan drama terbaru.
BalasHapushttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/