Senin, 02 Februari 2015

Posted by Heri I. Wibowo | File under : ,


                Dalam ucapan ikrar perjalanan, aku tahu apa itu rencana. Bahwa rencana haruslah cukup matang agar tak timbul kekacauan. Namun ia juga tak boleh hebat dan detil sangat supaya tak berubah jadi beban. Rencana tetaplah sebuah rencana. Tinggal langkah kita yang akan menentukan, menjadi kenyataan atau sekedar wacana. Inilah yang membedakan apakah ia sebuah cita-cita, atau hanya mimpi belaka.

                Dalam setiap usaha mewujudkan cita, aku mengerti tentang kolaborasi doa serta usaha. Bahwa setiap hal akan bertambah manis, bukan apakah kita mencapainya atau tidak. Namun tentang usaha dan doa tak henti yang dilakukan. Tentang betapa dedikasi mampu melebihi batas asa, dan doa adalah sebuah penjaga. Akan hati yang saling bertaut, dalam sebuah ikrar perjalanan menemukan diri. Meski itu berarti mengurangi waktu peja mata, meski itu artinya berpuasa lagi. Bahwa menemukan diri bisa jadi merupakan pertanyaan tersulit dalam hidup ini.


                Dalam perjalanan merengkuhnya, aku memahami tentang arti safar tak sekedar sebagai jalan-jalan penuh kesenangan. Betapa banyak hal yang membuat kita lebih mengerti hakikat hidup, bukan dari bualan penuh omong kosong di meja debat para politisi. Bukan pula sekedar teori yang tertulis di buku tebal di pinggir perpustakaan. Bahwa hidup ini sendiri adalah sebuah buku, dan tempat yang kita sambangi adalah halaman-halamannya. Bahwa perjalanan layaknya diri yang sedang membuka halaman berikutnya. Bahkan aku kini sadar, betapa sering mata melewatkan sesuatu yang seharusnya dilihat, telinga menulikan diri terhadap sesuatu yang layak didengar, dan hati terlalu keras untuk mengerti. Perjalanan, membuat indra lebih peka. Bahkan satu obrolan dengan kenalan baru memberikan cakrawala paradigma jalan agar terbuka lebih lebar, dan cerita seorang nenek di sampingmu membuat rindu pada Ibunda membuncah. Safar, bagiku lebih mirip pelajaran serta ujian.

                Dalam jauh dan panjangnya jalur pendakian Sembalun, aku belajar arti pendakian sejati. Ini bukanlah tentang penaklukan puncak semata, bukan pula sekedar ajang adu jumawa. Bahwa pendakian lebih dari itu, kawan. Sebagaimana sering terucap dari mulut,”Ini adalah sebuah perjalanan suci. Perjalanan untuk lebih mengenal diri, kemudian mengenal Yang Menciptakan diri ini.” Sebuah perjalanan cinta, yang mengajarkan arti cinta sesungguhnya. Yang tak seharusnya diisi hal-hal remeh semacam coklat atau untaian puisi picisan belaka. Jauhnya perjalanan mengasah kemampuan menghitung diri, lalu melakukan kalibrasi. Betapa sering kita mendustakan nikmat Tuhan?

                Dalam sempitnya tenda yang masih harus diisi keril seukuran tubuh sendiri, aku berusaha memahami arti berbagi. Tentang  sesuatu yang kita sebut keikhlasan dan kejernihan hati, meski dingin dan penat mengaburkan logika diri. Lalu kau akan belajar bersyukur, atas tempat tidur yang bisa membuat kakimu lurus membujur. Atas selimut hangat, baju bersih, dan udara yang bersahabat. Lalu, kembali melakukan kalibrasi diri,”Betapa beruntungnya diri ini dibanding mereka yang di luar sana?” Karena sempitnya tenda cukup dirasa dalam hitungan hari, bagaimana dengan mereka yang tak mampu bermimpi selain apakah aku akan bisa makan esok hari?

                Dalam jalur pendakian ke puncak yang berkelok, aku sedang melawan diri. Antara terburu mencapai atas, atau terlalu santai menikmati istirahat. Bahkan ujian untuk membatasi ego diri sangat terasa, ketika kau jumawa akan kekuatan fisik semata. Ini bukan tentang seberapa cepat kau melangkah, atau seberapa jauh kau mampu merengkuh. Ini, lebih dari itu. Ini, tentang melangkah bersama. Tentang sumpah bahwa berangkat bertiga, di puncak bertiga, dan sampai rumah pun bertiga. Aku, dan kalian berdua. Dan setelah berdoa, hanya tekad dan disiplin yang mampu menjaga.

                Dalam jalur pendakian turun, aku bertarung dengan keterbatasan diri. Bahkan ia yang terkadang disebut orang terlalu ceroboh  dan berani ini, memiliki satu keterbatasan diri: Tinggi. Ya, aku sedang melawan keengganan diri untuk terus melangkah, dengan jurang menganga di kanan dan kiri. Namun, aku malu untuk terlalu manja, maka aku pun terus melangkah. Dan satu, aku belajar minta maaf, karena telah memperlambat langkah kita.

                Dalam indahnya pemandangan Segara Anak, aku semakin mengerti satu lagi. Negeri ini memanglah surga yang tiada duanya di dunia. Tak ada negeri lain seindah Nusantara kurasa. Betapa ia tak hanya menyimpan indahnya alam atau melimpahnya sumber daya semata. Negeri ini menyimpan kekayaan budaya yang selalu ramah pada siapa saja. Bahwa nilai kejujuran, kesederhanaan, serta kerendahan hati sangat terasa di alam yang damai. Tak ada lagi jabatan, politik, atau sampah-sampah lain yang mengubah seorang manusia menjadi serigala bagi yang lainnya. Maka, bagaimana kita bisa menjaga negeri ini jika tak mengenalnya?

“Negeri ini indah sekali Tuhan. Bantu kami menjaganya. Aamiin…”
-Zafran, ‘5 cm’-

                Dalam perjalanan turun menembus rimba Senaru, aku mempelajari arti ketuntasan. Bahwa setiap pekerjaan berhak untuk diselesaikan. Bahwa naik ke puncak hanyalah seperempat perjalanan. Seperempat yang lain adalah turun, dan separuhnya adalah mengambil pelajaran darinya. Bahwa terkadang lari itu diperlukan untuk mengaburkan lelah, dan istirahat hanya diperlukan di temat-tempat tertentu. Memang turun tidak seberat naik, namun turun tetap layak mendapat focus secara sempurna. Karena, setelah sampai di puncak tak ada jalan lain kecuali turun.

                Dalam pendakian ini kawan, aku belajar banyak hal tentang kehidupan. Bahwa perdebatan tak mesti merekahkan persaudaraan. Bahwa kerjasama tak berarti suatu kelemahan. Dan disiplin bukan sekedar teriakan di saat agitasi yang penuh kepalsuan. Inilah hidup yang sesungguhnya, hidup sebagai manusia, hidup sebagai laki-laki. Terimakasih kawan, kalian mengajarkan arti persahabatan. Kalian mengajarkan arti perjalanan. Dan kalian mengajarkan betapa layak negeri ini untuk dicintai dan dijaga.

                Rinjani, kau membuat kami sadar, betapa kaki kami harus menjejak lebih jauh tiap jengkal tanah negeri ini. Mata yang harus memandang lebih banyak kekayaan bangsa ini. Telinga yang harus mendengar petuah bijak orang-orang tua negeri ini. Dan hati yang lebih banyak meresapi hikmah yang telah Tuhan Ciptakan di atas tanah yang diberkati.

“Banyak hal datang dan pergi, namun persahabatan haruslah abadi.”

-Heri I. Wibowo, aku-

NB: Maaf jika temanya Rinjani lagi :)


2 komentar:

  1. Gunung Rinjani ya. :)

    Kemarin mau kesana ga jadi karena kesibukan lain yang mendadak, sepertinya fun banget ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. He eh bang, Rinjani emang banyak bonusnya.

      Wah, ayo bang, agendakan lagi (y)

      Hapus