Senin, 14 Juli 2014

Posted by Heri I. Wibowo | File under :


               

                Entah sudah berapa kilometer kaki saya harus melangkah lagi. Menembus pusaran-pusaran pasir yang diterbangkan angin gurun, dengan dahaga yang tak terkira. Apalagi untuk kerongkongan manusia khatulistiwa seperti saya ini. Sejauh mata memandang hanya beberapa desa hancur yang saya lihat. Teronggok pula sisa-sisa kendaraan yang hangus terbakar, selongsong peluru yang menyaingi jumlah kerikil, atau beberapa binatang liar yang khas ditemui di daerah tak berpenghuni. Kota hantu ini, menurut kawan baru saya belum lama terbentuk.

“Desa ini hancur ketika tentara pemerintah berusaha merebutnya dari kami, saudaraku. Alih-alih menyerbu dengan pasukan darat, mereka lebih suka melemparkan roket-roketnya. Dan malam itu, kau bisa makan kambing panggang bahkan tanpa menyembelihnya hahaha,” kata kawan baru saya dengan begitu entengnya. Tidak pahamkah dia jika candaannya membuat saya harus menahan diri untuk tidak muntah?


                Saya hanyalah satu dari beberapa gelintir relawan yang masih setia untuk berjalan-jalan di negeri yang telah dicabik perang ini. Sebuah perang antara mereka yang memegang kekuasaan, dengan mereka yang melihat kekuasan itu telah menjadi kesewenang-wenangan. Sebuah kesewenang-wenangan yang tidak hanya melulu urusan pembagian kekuasan dan keadilan, namun kini telah menyeret urusan keyakinan. Dan di sinilah saya, bersama beberapa gelintir orang tersebut. Di sebuah negeri yang tersaput duka perang. Negeri ini tidak terlalu jauh dari negeri sejenis yang begitu ramai beritanya di televisi negara saya, namun entah kenapa negeri ini seolah terlupa. Mungkin karena tidak menguntungkan secara politis maupun ekonomi jika mengangkatnya. Dan kami di sini bukan untuk membela salah satu pihak—meski secara keyakinan itu sangat mustahil—namun untuk meringankan beban para korban perang sesungguhnya—warga sipil.

“Saudaraku, masih jauhkah perjalanan kita?” tanya saya.

“Hahai, sudah lelahkah kau saudaraku? Mari, mari kita istirahat dulu,” sahutnya. Wajah kawan baru saya ini tidak lebih seperti wajah pemuda sebangsanya. Bahkan jika tidak sedang memanggul Kalashnikov dan lirikan waspada setiap melewati batas desa baru, saya akan dengan senang hati mengajaknya pulang kampung dan mengenalkannya sebagai pemain bola dari seberang.

                Sembari berbagi bekal dan menegur sapa pada rombongan yang lain, saya melihat pemuda tadi duduk menyendiri di batas desa. Di atas tumpukan reruntuhan rumah.

“Salam, sedang apa kau saudaraku?” tanya saya sambil mengulurkan sebotol air mineral.

“Salam, saudaraku. Seperti biasa, aku sedang berjaga. Siapa tahu ada yang tidak senang dengan kehadiran kita hehe,” jawabnya sambil menyambut botol air mineral dari saya. Meskipun diucapkan dengan ringan dan nada jenaka, tetap saja kata-katanya selalu membuat saya menelan ludah terkejut.

“Eh, yaya aku paham maksudmu saudaraku. Namun, sepertinya kau tidak melihat sekitar sini. Kulihat kau menerawang jauh ke arah tujuan kita. Dan kata komandan, kau bahkan berlari dari tempat berjaga untuk sekedar mengajukan diri mengawal kami kan? Hahaha,” saya mulai menggodanya.

“Ternyata rumor bahwa orang dari negeri kalian begitu perhatian tidak salah. Mungkin karena pandangan kami terhalang oleh hidung besar kami ini!” kami pun tertawa terbahak-bahak atas leluconnya itu. Akhirnya, ketika tawa kami mereda ia pun melanjutkan.

“Setiap orang memiliki kisahnya sendiri saudaraku. Bahkan di tengah situasi yang mungkin kau pikir hanya berkisah pada urusan mesiu, amunisi, darah, dan kematian,” jawabnya ringan. Tidakkah dia sadar kata-katanya terlalu menakutkan untuk orang seperti saya? Yang datang dari suatu negeri yang katanya surga dunia?

 “Sebelum perang keparat ini berkecamuk,” kawan saya ini menghela napas, seolah ada beban berat yang akan dibagi, ”aku memiliki teman dari kecil. Seorang gadis. Dia tidaklah begitu cantik, pemarah, juga saat kecil selalu memanggilku ‘Si Tukang Tidur’. Namun entah bagaimana aku tahu saudaraku,…” kata-katanya terpotong oleh tanda dari pemimpin rombongan bahwa kini saatnya melanjutkan perjalanan. Sebagai perintis jalan, pemuda tadi minta izin kepada saya sambil mulai menyandang senjatanya. Namun akhirnya saya berkata, bahwa saya masih ingin mendengarkan keseluruhan ceritanya.

“Saudaraku, apa yang kau tahu eh?” tanya saya. Setelah berdeham dan tersenyum simpul, ia pun melanjutkan.

“Sebelumnya aku minta maaf jika aku bercerita dengan suara yang terlalu pelan dan tanpa memandang wajahmu saudaraku.”

“Tidak masalah,” kata saya sambil mengedikkan bahu.

“Ya, aku tahu bahwa aku selalu ingin mendengar omelannya. Aku selalu rindu saat-saat dia selalu mencubit lenganku jika aku tertidur di sekolah dasar. Dan akhirnya aku pun tahu, aku mencintainya,” entah bagaimana saya melihat di wajahnya yang jenaka, matanya berkaca. Dan saya kini sadar mengapa dia selalu mendongak—untuk mencegah air matanya jatuh.

“Saat itu kami sudah mengikat janji setia seperti layaknya muda-mudi saat ini. Kami menjalani hari-hari kami dengan berangkat kuliah bersama, masuk kelas, lalu pulang bersama. Begitu setiap hari, tak ada main bersama atau apa lagi. Karena ayahnya adalah orang yang paham dan ketua yayasan sebuah lembaga pengkajian di distrik kami. Namun kami waktu itu belum begitu tertarik dengan aturan-aturan keyakinan kami. Lalu, perang ini terjadi…”

                Saya melihat kini dia menunduk, menyerah. Menyerah pada air mata yang akhirnya jatuh.

“Jangan bilang-bilang ke orang-orang di belakang sana kalau aku menangis saudaraku. Bisa jadi bahan bercandaan di parit pertahanan nanti hehe,” katanya sambil menyeka dengan bahunya.

“Eh, sampai di mana tadi? Ah ya, awalnya kami kira perang ini tak akan besar. Hingga akhirnya kami sadar, ini bukan sekedar pertengkaran antara raja dengan rakyatnya. Ini lebih jauh dari itu, ini tentang sesuatu yang lebih aku cintai dari pada gadis tadi. Ini lebih daripada cintaku pada diriku sendiri. Akhirnya, aku pun mengangkat senjata karena keyakinan kami memanggil jiwa raga setiap pemeluknya!” kini saya melihat matanya garang memandang kejauhan. Hilang sudah wajah jenaka maupun wajah mellow tadi.

“Akhirnya, kami sepakat untuk menjalankan pernikahan. Itu setengah jam menjelang kepergianku ke kamp pelatihan, dan dua hari menjelang kepergiannya ke kamp pengungsian. Kamp yang hari ini akan kau datangi saudaraku,” katanya sambil menoleh kepada saya. Sungguh, ada yang berbeda pada pandangannya kali ini. Saya tidak tahu apa itu…

“Pernikahan itu begitu singkatnya, hingga sekedar mengecup keningnya pun aku tidak sempat. Setahun terakhir, aku hanya tahu bahwa dia masih hidup dari informasi yang kudapat. Informasi dari ayahnya. Oh ya, ayahnya dan aku bertugas di front yang sama, namun beliau gugur tiga bulan yang lalu. Jadilah aku sebenarnya tidak tahu keadaan istriku itu semenjak tiga bulan yang lalu…”

                Saya sungguh kehabisan kata-kata dalam menanggapi cerita ini. Bahkan ransel berisi obat-obatan seberat lima puluh kilogram ini tak lebih berat dari rasa sesak yang hadir di dada mendengar cerita kawan baru saya ini.

“Yaaah, kata kalian hidup adalah pilihan bukan saudaraku? Akhir perang ini buatku cuma dua: mati sebagai martyr atau tetap hidup dan bersama membangun rumah kecil di kebun anggur warisan bapak. Berjalan mesra pada satu senja dengan anak-anak kami, dan menjalani hidup berdua hingga tua…”

                Akhirnya sisa perjalanan kami isi dengan ia yang banyak bertanya. Tentang negeri asal saya, tentang bagaimana penduduknya, dan bagaimana cerita keluarga saya sendiri. Matanya berbinar takjub ketika kami ceritakan di sana sepanjang mata memandang hanyalah hamparan hijau sawah dan hutan bambu.

                Dan sampailah kami di kamp pengungsian yang dimaksud. Setelah menunjukkan surat jalan kepada penjaga bersenjata di sana, kawan baru saya tadi berdiri saja di gerbang depannya. Tidak ingin beranjak.

“Aku tadi bertanya kepada saudara di sini (sambil menunjuk pemuda bersenjata yang menjadi penjaga gerbang) apakah istriku ada. Lalu ia menyuruhku menunggu di dalam kamp sambil beristirahat. Namun entah kenapa aku ingin menunggunya di sini. Karena aku tak yakin bisa siap dengan berita yang ada jika berita itu di sampaikan sedangkan aku sudah di dalam sana,” katanya sambil tersenyum.  

                Lalu dengan langkah yang anggun seorang gadis muda yang luar biasa manisnya berjalan tersaruk-saruk sambil dituntun oleh wanita yang lebih tua. Maka melihat binar di mata kawan baru saya tadi, saya tahu itulah istrinya. Dengan tahu diri saya pun menyingkir, dan adegan yang terlihat selanjutnya sungguh membuat saya hanya sanggup ternganga.

                Setelah cukup dekat, wanita tua tadi terlihat memaksa si gadis muda untuk menghampiri suaminya seorang diri. Sambil menunduk ia pun mendekat. Lalu pemuda kawan saya tadi pun jatuh terduduk, tertawa demikian bahagianya. Tawa yang menjadikan mereka tontonan. Tawa yang mengundang senyum semua yang melihatnya.

                Akhirnya ia pun berdiri dan memandangi gadis yang menunduk cemberut di depannya, malu menjadi tatapan banyak orang. Lalu gadis tadi pun mendongak, memandang lekat wajah suaminya. Masih dengan cemberut. Namun lama-lama tersenyum dan menunduk lagi, terlihat bulir-bulir kristal bening mengalir bagai sungai kasih tak terkira di wajahnya. Perlahan, ia pun mengangkat kembali wajahnya sembari mengelus lembut pipi suaminya yang lebat oleh cambang dan kusut akibat debu pertempuran.

                Sampai di sana mereka pun kembali mematung, hingga sang pemuda berkata lirih akan sesuatu dan sang gadis pun dengan senyum merekah menanggapinya. Lalu sang pemuda berkata lagi, kali ini sang gadis hanya mengangguk sambil menunduk. Ketika sang pemuda hendak berpaling, si gadis memanggilnya lalu berkata beberapa patah kata. Sang suami menggeleng, namun si gadis bersikeras hingga menangis. Dan akhirnya, adegan diakhiri dengan dibimbingnya tangan sang pemuda oleh tangan si gadis untuk mengelus pipi lembutnya.

                Setelah itu, sang pemuda menghampiri saya.

“Salam, saudaraku. Sepertinya perjumpaan kita hari ini akan segera berakhir. Aku telah berjanji kepada komandanku bahwa aku akan segera kembali menuju pos awalku karena hanya dizinkan untuk mengantar kalian. Dan tugasku ini tidak akan selesai sampai setidaknya enam bulan lagi. Dan kebetulan ada konvoi pasukan logistic yang akan ke garis depan, jadi mungkin aku bisa menumpang di antara tumpukan gandum dan minyak goreng hahaha,” katanya ringan.

“Tunggu saudaraku, bisakah setidaknya kau ceritakan apa yang kalian bicarakan tadi?”

“Yah, konvoi akan berangkat setengah jam lagi. Baiklah, mari sambil duduk. Jadi tadi aku tertawa karena aku demikian bersyukur dengan pertemuan kami. Setelah setengah jam kebersamaan saat pernikahan kami dulu, inilah saat pertama kami berjumpa. Lalu aku pun memberinya berita mengenai ayahnya yang telah gugur. ‘Ayah telah di surga,’ begitu katanya. Aku pun begitu bahagia memiliki istri seperti dirinya, istri yang begitu mengerti makna perjuangan ini. Lalu aku berkata tentang perintah untuk segera kembali karena ijinku hanya mengawal kalian sampai di sini. ‘Selamat berjuang Ksatriaku, aku akan selalu mendoakanmu,’ begitu katanya sambil menunduk. Saat aku berpaling, dia pun memanggil namaku. Ia bertanya kenapa aku tidak menyentuhnya, memeluknya, atau, ah sudahlah. Kami pun berdebat hingga air matanya semakin deras. ‘Kalau begitu, biar aku pinjam tanganmu,’ katanya lagi. Dan seperti kau lihat saudaraku, dia menyentuhkan tanganku yang kasar dan kapalan ini ke pipinya yang sangat halus. Lalu, aku pun bergegas meninggalkannya.”

“Kenapa kau tak mau menyentuhnya, saudaraku?” tanyaku heran.

“Sama dengan alasan aku tak mau masuk ke dalam kamp,” sahutnya ringan sembari tersenyum.

“Maksudmu?”

“Aku takut tak sanggup meninggalkannya…”

NB: Cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata.

2 komentar:

  1. Bismillah.. gan, follow balik blogku yo gan.. keren ceritane.. sippp.. (padahal durung moco)

    BalasHapus
    Balasan
    1. lha wes diwaca rung saiki? -_-

      FYI, iki saka statuse Fathi haha

      Hapus