Kamis, 29 Januari 2015

Posted by Heri I. Wibowo | File under : , , ,



Sejak saya kecil, saya memahami sesuatu yang sangat aneh menurut saya sekarang. Entah bagaimana, dalam pikiran saya terpatri suatu dikotomi antara menjadi seorang yang hebat secara fisik dengan menjadi cemerlsng secara intelektual. Bahwa keduanya adalah hal yang berbeda, bahkan bertentangan. Dalam pikiran saya, orang yang pintar itu haruslah berkacamata, kurus kering atau justru kegemukan, tidak bisa olahraga, lemah, dan gampang sakit karena terlalu banyak belajar sehingga lupa “menyayangi” tubuh. Dan orang yang hebat fisiknya itu cenderung tidak sanggup untuk mengerti isi bacaan, apalagi menghapal.


Ada banyak factor yang membuat saya berpikir seperti itu. Ada yang karena melihat tokoh-tokoh di TV, ada pula yang dari kehidupan nyata. Sering kita melihat para ilmuan atau siswa pandai dan rajin di TV digambarkan sangat cupu, lemah, dan tak tertarik pada aspek kekuatan fisikal.  Selain itu, saat masih SD perbedaan usia satu atau dua tahun sangat terlihat perbedaannya dalam sifat-sifat fisik. Oleh karenanya, tak jarang mereka yang tinggal kelas memiliki kondisi fisik yang lebih daripada kawan-kawannya. Saat main bola mereka berlari lebih cepat, saat berkelahi mereka lebih tahan pukulan, dan saat mengangkat barang mereka lebih kuat. Dari sini saya mengambil sebuah kesimpulan konyol: prestasi fisik berbanding terbalik dengan prestasi akademik! Jadi jika Anda ingin pintar di kelas, sebaiknya Anda berhenti mengasah kemampuan fisik.

Namun kini, saya sadar bahwa hal tersebut sangat salah. Ucapan,”Sekarang tuh jamannya pake otak, otot aja yang digedein, payah!” adalah perkataan sampah orang-orang malas. Mengapa?

*Oh ya, sebelum baca lebih jauh, tulisan saya ini khusus untuk laki-laki ya!

1.                   Kita Ini Laki-Laki

Ya, sesimpel itu sebenarnya untuk alasan pertama ini. Dari zaman dahulu kala, para pria telah memiliki kodrat sebagai pemimpin. Hal ini sangat jelas ada dalam kitab suci saya. Dan karena telah dibebani sebagai pemimpin itulah, laki-laki tak seharusnya lemah. Karena seorang pemimpin itu seharusnya melindungi. Baik dalam perang maupun rumah tangga.
sumber: http://ifcamedia.org/wavelengths/wp-content/uploads/2013/04/Masculinity.jpg


Dalam gaya bahasa artofmanliness,

If the Protector role represents the core of masculinity, then physical strength forms its very nucleus.

2.                   Kita Mewarisi Genetika Terbaik

Saya tak pernah memercayai teori evolusi yang mengatakan bahwa monyet bisa berubah jadi manusia. Atau yang lebih konyol dari itu, nenek moyang ayam adalah T-Rex! Man, masa iya saya makan kadal -_-

Namun, ada satu ungkapan dari pengagum Darwin yang berbunyi:

“It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is most adaptable to change.
In the struggle for survival, the fittest win out at the expense of their rivals because they succeed in adapting themselves best to their environment.”

Bayangkan hal tersebut, secara logis kita adalah keturunan dari orang-orang terdahulu yang selamat dari segala macam bencana, ganasnya alam, binatang buas, pun dengan peperangan. Pendahulu kita pastinya adalah mereka yang tak hanya tangguh atau cerdas, namun mereka adalah yang paling adaptable. Dan saya pikir, ini bukanlah pembenaran bahwa sekarang kita bisa bermalas-malasan dengan alasan bahwa kita beradaptasi dengan kondisi kehidupan yang makin mudah ini. Justru ini adalah suatu ‘beban’ bagi kita, bahwa kita telah mewarisi genetika yang paling baik. Mereka yang tak hanya paling kuat, tangguh, cerdas, atau kaya. Kita, adalah keturunan dari yang terbaik. Yang mampu memadu-padankan semua yang terbaik dalam dirinya. Dan mereka yang ‘memang tak layak hidup’ tentulah tak akan sampai bisa berkembang biak. Ya, itulah kenyataan betapa kerasnya kehidupan para laki-laki zaman dahulu.

“So, what are you doing with that genetic inheritance?
Playing video games?
Sitting all day while stuffing your face with taquitos?”


sumber: http://th00.deviantart.net/fs70/PRE/i/2013/036/2/9/warriors_by_hashem37927-d5tygyt.jpg

So, masih anggap cowok sekarang harus kinyis-kinyis seperti di drama korea? Man!

3.                   Fisik Yang Terlatih Akan Menguatkan Mental


Ada satu hal yang saya sangat saya suka di dunia ini. Ketika keringat mengalir deras akibat lari, badan pegal akibat push up, dada megap-megap saat renang, atau ‘musuh bayangan’ yang saya ciptakan terkapar di hadapan saya setelah shadow fighting, lalu mandi sore, dan malamnya ketika tak ada tugas bisa duduk bersandar sambil membaca ditemani segelas susu coklat hangat adalah salah satu nikmat dunia. Memberikan ketenangan dan kejernihan otak untuk bisa berpikir lebih. Atau sekedar menulis buat blog seperti saat ini.

Ya, fisik yang terlatih bagaimana pun saya rasakan menguatkan mental saya. Setiap rasa sakit atau lelah, saya pikir juga menguatkan toleransi saya terhadap stress.

“Similarly, the biggest determining factor in whether or not a candidate for the Navy SEALs passes training is his ability to stay cool under stress and avoid falling into that fight-or-flight response most of us drop into when we’re being shot at. Developing ways to counteract the negative response to stress helps us stay in control of our bodies so that we can maintain the high performance needed to do well in any situation. That is real mental toughness.”


4.                   Badan Yang Tangguh Akan Membuat Lebih Bebas

Pernah berpikir betapa banyak kegiatan yang hanya bisa kita lakukan jika badan kita tak hanya kuat, namun juga terlatih? Apalagi sekedar otak yang mumpuni saja?

Ya, lihat saja. Bagaimana kita bisa mencumbu embun pagi di puncak gunung jika tak memiliki fisik dan mental yang tangguh? Bagaimana bisa membela ‘gadis’-mu jika tak pernah latihan beladiri (ehem, kode :p)? Bagaimana bisa menjabat tangan klien atau relasi bisnis dengan mantap jika postur tubuh tidak oke dan batuk-batuk terus? Bagaimana bisa mengerjakan soal ujian dengan santai jika hidung meler? Atau bagaimana bisa sholat dengan nikmat jika tubuh gampang sakit akibat kena air dingin? Dan bagaimana bisa membantu Ibu jika angkat belanjaan saja sudah menye? Man!

Menatap Puncak Rinjani
Nah kan, banyak hal yang akan lebih sempurna jika selain memiliki otak yang cemerlang juga mempunyai fisik yang terlatih. Mulai dari kesenangan, petualangan, bisnis, hubungan interpersonal, berbakti pada ortu, bahkan ibadah.

Bayangkan saja ‘dia’ (yang sudah halal) memegangi tanganmu yang kokoh dan liat di keramaian, lalu kau pun berbisik,”Tak apa, kau aman bersamaku. Insyaa Allah…” 

5.                   Itu Perintah Agama Islam

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda” Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.        

TAKHRIJ HADITS:             
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).
Dishahihkan oleh Syaikh al-Bani rahimahullah dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 5228).

Memang dalam lanjutannya disebutkan pada keduanya ada kebaikan, namun tidakkah kita tidak ingin jadi yang lebih dicintai? Dan memang pula, definisi kuat di sini bisa saja berarti luas, namun tidakkah kita ingin kuat pula secara fisik? Karena Islam adalah agama para ksatria yang tak pernah takut pada apapun selain Allah. Maka tidakkah kita patut menjalani ritus para ksatria tersebut? Para ksatria tak boleh lemah atau bodoh. Jika hanya kuat secara fisik, mereka tak akan jadi jenderal perang. Dan jika lemah secara fisik, justru mereka tak akan diizinkan berperang.

Dan lagi, tidakkah melatih fisik dan mengasah otak artinya kita sedang mensyukuri karunia dari Allah?

Selain itu, banyak sekali hadits yang menganjurkan seorang mukmin berlatih baik fisik, otak, maupun mental. Dan celaan bagi mereka yang bermalas-malasan.


Kesimpulan

                Jadi, kesimpulan dari tulisan saya yang panjang hari ini adalah tak seharusnya ada dikotomi antara fisik dan otak. Bahwa yang terbaik adalah kita melatih dan mengasah keduanya. dikotomi tersebut hanyalah mejadi pembatas kita. Memang, tidak semua laki-laki bisa menjadi sekuat yang lain. Namun, seorang laki-laki akan selalu bisa menjadi lebih kuat dari dirinya yang sekarang. Tak ada kesempurnaan dalam suatu kepincangan pemisahan, camkan itu!

                Lihatlah penghulu para Nabi dan Rasul, Muhammad shalallahu’alaihi wassalam. Jika membaca biografi beliau, maka tak akan ada yang meragukan kekuatannya saat bergulat, daya tahannya saat berenang, kehebatannya saat berperang, keahliannya menunggang kuda, namun pada saat yang sama kecerdasan otaknya berhasil menjadikan beliau laki-laki yang paling berpengaruh di Jazirah Arab dulu dan dunia sekarang. Beliau sukses dalam berperan sebagai pasukan tempur, jenderal perang, pedagang, da’i, ayah, pemimpin politik, negosiator, bahkan atlet. 

                   Atau bagi kalian yang mengaku bermadzhab Syafi'i, tengoklah Imam Madzhab kalian. Selain cerdas dalam berijtihad, hebat dalam menghapal, beliau juga tangguh dalam berkuda serta ahli dalam memanah. 

Maka, masih mau melakukan dikotomi antara otak dan fisik?

Bahkan saya pikir, mereka yang menciptakan dikotomi ini perlu di-ruqyah.

Bacaan:

0 komentar:

Posting Komentar