Banyak hal di dunia yang semakin
aneh akhir-akhir ini. Mungkin karena kiamat semakin dekat, mungkin juga karena
efek dari hukum entropi selalu bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Namun,
kalau saya pikir hal ini bisa saja karena orang-orang jaman sekarang terlalu
banyak mengonsumsi MSG, dan bahkan mungkin orang-orang aneh tersebut menjadikan MSG sebagai cemilan.
Hmm, pasti pembaca bingung
mengapa saya memulai tulisan kali ini dengan sebuah sarkasme. Saya memulai
dengan sarkasme, karena ada orang-orang di luar sana yang memang menjadi target
yang pas akan hal ini—saya pikir. Salah satunya, orang yang menggunakan logika
aneh yang BELUM saya pahami. Seperti yang langsung menyalahkan harga tiket
murah sebagai penyebab kecelakaan pesawat. Atau yang lebih ‘keren’, ini: http://m.kompasiana.com/post/read/595715/3/telanjang-memang-bagian-dari-adat-istiadat-indonesia.html
Ehm, baik, berikut saya copas-kan
isinya:
Telanjang
Memang Bagian Dari Adat Istiadat Indonesia
“Besok penutupan acara Miss World.
Yang katanya (baca: hasutannya) kelompok agamawan itu adalah Whore Contest.
Kontes Pelacur. Miss world adalah ajang pornografi dan pornoaksi. Makanya harus
diperangi, dibubarkan dan sebagainya. Orang mengaku beriman yang seenak
jidatnya bilang perempuan berprestasi adalah pelacur. Sementara mereka ini
melacurkan agama demi uang, nasi bungkus, jabatan, dan kekuasaan.
Porno, tergantung otak yang melihatnya. Kalau otaknya sudah porno, maka gedung DPR terlihat seperti bra. Wanita cerdas terlihat seperti pelacur. Yang perlu dikalibrasi disini adalah otak porno nya. Bukan objek yang dianggap porno tanpa mengacu pada standard manusia normal wajar tidak berotak mesum mengenai definisi pornografi.
"mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;"
Kalimat di atas adalah tujuan UU Pornografi.
Dimana, masyarakat yang beretika itu relatif. Etikanya pedalaman papua tidak sama dengan etika nya Bali, tidak sama dengan etikanya Jakarta, tidak sama dengan etikanya Arab. Sehingga, dalam menerapkan standard mana yang porno mana yang tidak, kita harus menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, melindungi seni budaya, adat istiadat dan ritual keagamaannya masing-masing.
Jangan umat Hindu dipaksa-paksa harus menerapkan kaidah islam dalam penerapan kehidupan sehari-harinya dengan alasan islam adalah agama mayoritas. Padahal, di agama mayoritas ini, berada pada masyarakat yang memiliki latar belakang budayanya sendiri-sendiri, yang mengakibatkan sudut pandang berbeda terhadap objek yang dituduhkan sebagai porno, cabul maupun maksiat ini.
Umat islam dengan latar belakang budaya Jawa, akan melihat ibu-ibu mencuci pakaian di sungai berbalutkan selembar kain batik dengan sudut pandang biasa saja. Orang Jawa di kampung-kampung memang begitu. Sementara kaum ngArab akan njenggirat-njenggirat (baca: terkaget-kaget sambil kejang-kejang) melihat pemandangan yang dianggap porno ini, dan berpotensi mengamuk-ngamuk.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Porno, tergantung otak yang melihatnya. Kalau otaknya sudah porno, maka gedung DPR terlihat seperti bra. Wanita cerdas terlihat seperti pelacur. Yang perlu dikalibrasi disini adalah otak porno nya. Bukan objek yang dianggap porno tanpa mengacu pada standard manusia normal wajar tidak berotak mesum mengenai definisi pornografi.
"mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan; menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;"
Kalimat di atas adalah tujuan UU Pornografi.
Dimana, masyarakat yang beretika itu relatif. Etikanya pedalaman papua tidak sama dengan etika nya Bali, tidak sama dengan etikanya Jakarta, tidak sama dengan etikanya Arab. Sehingga, dalam menerapkan standard mana yang porno mana yang tidak, kita harus menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, melindungi seni budaya, adat istiadat dan ritual keagamaannya masing-masing.
Jangan umat Hindu dipaksa-paksa harus menerapkan kaidah islam dalam penerapan kehidupan sehari-harinya dengan alasan islam adalah agama mayoritas. Padahal, di agama mayoritas ini, berada pada masyarakat yang memiliki latar belakang budayanya sendiri-sendiri, yang mengakibatkan sudut pandang berbeda terhadap objek yang dituduhkan sebagai porno, cabul maupun maksiat ini.
Umat islam dengan latar belakang budaya Jawa, akan melihat ibu-ibu mencuci pakaian di sungai berbalutkan selembar kain batik dengan sudut pandang biasa saja. Orang Jawa di kampung-kampung memang begitu. Sementara kaum ngArab akan njenggirat-njenggirat (baca: terkaget-kaget sambil kejang-kejang) melihat pemandangan yang dianggap porno ini, dan berpotensi mengamuk-ngamuk.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Orang Papua, tidak akan serta merta berpikir porno jika melihat orang tidak pakai baju. Karena latar belakang budaya, adat istiadatnya memang demikian. Oleh karenanya, otaknya memang tidak mesum dan serta merta melabeli orang lain sebagai pelacur, hanya karena berpakaian sedikit terbuka.
Budaya Indonesia memang sudah
telanjang begini. Adat istiadat suku bangsa Indonesia, memang sudah berlatar
belakang telanjang begini. Makanya otaknya tidak serta merta porno hanya karena
melihat kontestan miss world memakai pakaian sedikit berbeda.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Jika kita melihat-lihat foto-foto bangsa Indonesia tempo dulu yang disimpan di beberapa musium di Belanda, kita akan melihat adat istiadat budaya bangsa kita yang asli. Terlepas dari adanya pergeseran nilai-nilai, namun sejarah, budaya, adat istiadat bangsa, adalah fakta kekayaan Republik Indonesia yang sangat berharga.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Jika kita melihat-lihat foto-foto bangsa Indonesia tempo dulu yang disimpan di beberapa musium di Belanda, kita akan melihat adat istiadat budaya bangsa kita yang asli. Terlepas dari adanya pergeseran nilai-nilai, namun sejarah, budaya, adat istiadat bangsa, adalah fakta kekayaan Republik Indonesia yang sangat berharga.
Ini adalah pemandangan sehari-hari
masyarakat Jawa tempo dulu. Saat ini, ibu-ibu sudah tidak lagi berpakaian
seperti ini jika mencuci pakaian. Namun, karena latar belakang kehidupan, adat
istiadat dan budayanya demikian, maka jika ada wanita pakai kain dengan pakaian
sedikit terbuka seperti ini, maka masyarakat tidak melihatnya sebagai porno,
apalagi pembawa kemaksiatan.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Wanita Batak jaman dahulu seperti
ini pakaiannya. Jika saat ini orang Batak melihat ibu-ibu di kampung masih
seperti ini pakaiannya, maka pola pikir tidak serta merta melabeli wanita
seperti ini sebagai porno apalagi maksiat.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Kegiatan di pasar di Bali seperti
ini. Tidak ada yang berpikir porno, mesum apalagi maksiat. Itulah sebabnya
orang-orang Bali saat ini tidak terkaget-kaget, tidak otomatis berpikir porno,
mesum apalagi maksiat jika melihat orang pakai bikini.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Adat istiadat dan budaya Sulawesi
Selatan memang asal muasalnya demikian. Bukan porno, apalagi maksiat.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Latar belakang adat istiadat dan budaya Indonesia memang sudah begini. Tidak
perlu ditutup-tutupi. Tidak perlu dihapus-hapus. Jangan dilupakan. Fotonya ada
di berbagai musium di Belanda. Dan tersebar di internet. Terima saja faktanya.
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Saya bangga jadi orang Indonesia.”
Budaya Indonesia tidak perlu diubah menjadi budaya Arab.
Saya bangga jadi orang Indonesia.”
Nah,
untuk menanggapi hal tersebut, ada senior yang sangat cerdas komentarnya:
1. Teknologi
canggih itu bukan budaya indonesia, itu budaya eropa. mereka yang mengalami
revolusi industri, kita ngga. jangan diubah dong budaya indonesia jadi budaya eropa.
revolusi industri, kita ngga. jangan diubah dong budaya indonesia jadi budaya eropa.
2.
kita ini
ngapain sih pake celana panjang dan celana dalam? itu budaya eropa! mestinya
kita ini sarungan saja. bahkan mestinya ya ngga pake celana dan sarung!
(nggandul aja..)
3.
kalian juga
anak teknik, pengkhianat bangsa! mestinya lebih mengutamakan belajar bahasa
sansekerta, main gamelan dong! Budaya leluhur harus dilestarikan. Malah belajar
teknik! Dasar kacung industri!
4.
Memang, asal
ngomong dan bikin logika sendiri itu enak sih.. hahaha, ngga usah pake mikir
ngga usah pake otak hahahaha
Terimakasih buat Mas Fajar Firman
atas komentar cerdasnya :)
Jika
ada budaya yang lebih baik, lebih sesuai fitrah, tentu kita tak selayaknya
menolak budaya yang lebih baik tersebut bukan? Karena hal itu sama dengan
kolot. Ketika ada hal yang lebih baik, tentulah kita harus mengaplikasikannya
semampu kita. Karena itulah yang dimaksud dengan kemajuan, perkembangan, yang
merupakan tujuan inti dari belajar.
Bodoh-bodohannya
begini, kita itu diciptakan Tuhan tanpa bulu, sisik, atau kulit tebal
sebagaimana Badak Bercula Satu. Nah, oleh karenanya Tuhan menyuruh kita
berpakaian. Coba tanyakan pada orang yang sehat akalnya, tentulah kebanyakan
akan mengatakan hal yang sama.
Nah, monggo disimpulkan sendiri dengan kasus orang2 yang terjebak akan dua hal ini:
1. Apapun yang masa lalu itu pasti bagus, meski itu artinya kau menyembah batu.
2. Semua yang arab itu jelek. Makanya, ketika islam ternyata diturunkan Allah di arab, maka islam pun ikut jelek."
NB: “Pokoknya
arab2an ngga boleh (sama sekali), tapi klo barat2an, korea2an its ok.”
Kang Fadhli, mentor saya.
i like this posting :D
BalasHapusdi share jos bang :v
Hapus